“Kakak benar mencintaiku?” suaraku
datar menatap punggung dihadapanku. Angin malam yang dingin menerpa sebagian
depan jilbabku. Ku rasakan hela napas yang mulai memburu karna malam yang
semakin larut. Pertanyaan itu menghantarkanku pada sebuah fikiran yang
meragukan, entah apa.
“Kamu slalu menanyakan hal itu setiap
kita bertemu, kenapa?” tatapannya lurus memperhatikan jalanan. Tangannya sigap
mengendalikan rem pedal motor, mengikuti setiap alur jalan raya. “Aku sangat
mencintaimu melebihi siapapun itu, kamu tau itu kan?”
Ya, aku slalu tau jawaban yang dia
utarakan setiap kali pertanyaan itu mengalir dari bibirku. Itu dan itu lagi. “Aku sangat mencintaimu”. Pelan-pelan
wajahku meringkut pada kabut malam, pada jilbab yang ku pakai. Ku tatap langit
yang tak berbintang disana, suratan apa
ini?. Aku ingin secepatnya mengakhiri hubungan ini. Segera menghilang
seiring senja yang berganti dengan malam. Tapi bagaimana? Perasaan rasa sanggup
yang ku tekatkan belum bisa ku utarakan. Ku perhatikan wajahnya dari kaca
spion, meski tertutup helm aku bisa melihat, bisa merasakan senyumnya yang
tulus. Setulus perhatian cintanya yang slalu utuh untukku.
“Maafkan aku” ucapku datar dan
pelan, hampir tak terdengar. Rasa sesak kembali menghantam dadaku.
***
“Lia,
mencintai seseorang dengan kekurangannya memang sangat-sangat sulit. Tapi
itulah, kita bisa belajar menerima, belajar sabar”. Ku sandarkan punggungku
ketembok kamar. Pandanganku terus menatap pesan yang sudah lama ku simpan di
draf HP ku. Benarkah harus begitu? Tapi
benar-benar sulit rasanya jika harus mencintai seseorang yang tidak dicintai. Begitu
sulit untuk terus bertahan dengan keegoisan sendiri. “Kamu tidak mengerti? Atau
aku yang tidak mengerti?”
“Kenapa Li?”. Marli, sahabat baikku
menegur.
“Galau Mar” jawabku datar. Marli
memang berbeda denganku, ia slalu membawa masalah dalam diam. Meskipun kadang
kala raut wajahnya tidak bisa membohongiku.
“Kak Maulana lagi?”
Aku mengangguk.
Ia duduk disampingku. “Dia baik,
lalu kenapa lagi?”
“Entahlah, aku juga bingung” ku
perhatikan sms yang baru masuk. Layar HP ku menunjukkan nama kak Maulana
disana. “Jangan lupa solat yah J”
“Yakinkan dirimu pada keputusanmu.
Apapun itu, nantinya kamu yang akan menghadapinya” kata-kata bijak begitu saja
mengalir. Kata-kata Marli seolah pisau yang siap menusukku kapanpun.
“Dia baik Mar, sungguh sangat baik.
Tapi ada sesuatu yang membuatku tidak merasa pantas untuknya” ku lihat Tika
yang sedang berbicara dengan seseorang melalui HP nya. Marli juga melakukan hal
yang sama. Kami bertiga memang sahabat dekat.
“Coba kamu lihat dia” Marli dan aku sama-sama
memperhatikan Tika yang sedang mengomeli seseorang di HP nya. Dia berjalan
mondar-mandir didepan lemari. Entah kenapa dia jarang sekali berbicara lembut
dengan kekasihnya. “Bukankah dia berbeda denganmu?”
Aku menghela napas. Ku dengarkan
setiap bait-bait kata yang diucapkan Tika. Lagi-lagi marah. Aku dan Tika memang
berbeda, aku slalu berbicara lembut dengan kekasihku bahkan kami jarang
bertengkar malah sama sekali tidak pernah ada masalah. Sedangkan dia malah
sebaliknya, tapi anehnya dia tetap bertahan malah mungkin semakin sayang.
“Hal apa yang membuatmu telah
berubah?” sorot mata Marli begitu serius. “Jangan katakan kalau kamu menyukai
seseorang?”
Aku menjauhkan pandanganku. “Adakah
yang salah jika mencintai orang lain?”
Mata Marli menyipit. “Oh God”
***
“Kenapa kak?”. Mata sendu itu tidak
berhenti menatapku yang baru saja keluar dari gerbang kontrakan. “Ada yang
salah?”
Ia menggeleng pelan, “kamu makin hari
makin cantik”
“Oh, benarkah?”, aku mencoba
tersenyum. Aku mendekatinya, malam ini ia berjanji mengantarku ke kampus.
Kebiasaan yang slalu ia tawarkan. Ku pandangi sosok itu, kenapa rasanya
hubungan ini hambar? Kenapa seolah bukan sosok itu yang ku inginkan saat ini
berdiri tersenyum disana?.
“Kok bengong? Hayo, entar telat loh”
“Eh-oh iya kak” aku segera naik
keatas motornya. Tidak baik membiarkannya terlalu lama untuk menunggu. Motornya
melaju seiring pandanganku yang mulai menghambur.
Tangan itu tiba-tiba saja menyentuh
tasku, membuatku kaget. “Ada yang kamu fikirkan? Dari tadi aku perhatikan
melamun?”
“Wah... kakak terlalu
memperhatikanku” segera ku buat suasana sedikit mencair. “Aku tidak memikirkan
apa-apa”
“Matamu tidak bisa berbohong Lia, aku
sudah mengenalmu sebelas bulan yang lalu”
Ah, benar. Kami sudah menjalin
hubungan selama itu. Tidak terasa hampir saja setahun lamanya. “Kakak terlalu
baik” ku tatap wajah itu dari kaca spion mencoba mendapatkan reaksinya.
“Itu karna aku sangat mencintaimu”. Lagi-lagi
ia melontarkan jawaban yang sama.
“Kakak tidak bosan denganku?”
pertanyaan konyol itu tiba-tiba saja mengalir.
Baru saja ia ingin menjawab sebuah
motor mendadak berhenti didepan kami.
“Astaga...” aku berdecit kaget. Motor
yang dibawanya hampir saja menabrak motor yang baru melaju dihadapan kami.
“Maaf” ia mencoba menstabilkan diri.
Lalu menarik napas dalam-dalam.
“Kakak terlau terburu-buru. Kita
hampir saja kecelakaan” ku perbaiki posisi dudukku. Ku tepuk punggungnya,
mencoba menenangkan. Mudah-mudahan pertanyaanku tadi bisa dilupakannya. Segera.
Motor yang ingin menabrak kami meminta maaf dan berlalu pergi.
“Kamu harus cepat sampai kekampus”
sosok itu membuatku terbangun dari lamunan. “Sekarang jam berapa?” tungkasnya.
Segera ku lihat jam yang melingkar
di pergelangan tanganku. “Sepuluh menit lagi” ujarku jelas.
“Kita segera sampai” lalu motor itu pun
dengan segera melaju.
***
Sebuah sms masuk, “Lia... J”
Segera ku hentikan tulisanku. Mataku
tidak berhenti menatap sms yang baru saja masuk. Sepetinya ini bukanlah mimpi. “Iya Senja... J” segera ku kirim balasanku.
“Sedang
apa?”
“Biasa,
ingin bermain dengan dunia maya. Bertemu dengan sahabat-sahabat lama”
“Hem...
sudah makan?”
Lama sekali ku perhatikan sms darinya.
Kenapa jadi begini?. “Hamdalah, Senja
sudah makan?”
“Sudah,
tadi sore”
“Kangen
kamu J”
“Wkwkwkwk....
yang benar?”
“Kamu
menertawaiku, ada yang lucu yah?”. Aku
kesal dengan jawabannya.
“Karna
bahagia mendengarkannya makanya Senja tertawa”
“Oh,
jadi kalau kamu bahagia kamu pasti tertawa”. Pertanyaanku secepatnya melayang.
“Tidak
juga. Senja terlalu bahagia”
“Ku
harap begitu”, jawabanku
sedikit ketus.
“Senja
juga kangen Lia J”
Tidak ku hiraukan jawaban terakhirnya,
sedikit kesal tapi ada juga rasa bahagia. Mengapa kamu tidak mengerti dengan
perasaan ini?. Ku lempar HP ku keatas kasur. Fikiranku bergelut dengan
sendirinya.
“Kamu tidak pernah meminta maaf
setiap kali berbuat salah” suara disampingku mengejutkan. Tika duduk diatas
kasur sembari menyemburkan amarahnya.
Ku dengar suara di HP nya menjawab
meskipun tidak terlalu jelas.
Tika mendengus kesal, “aku tidak
suka dengan sikap kamu yang slalu egois, harus di ingatkan. Kapan kamu
berubah?”. Suara Tika kembali mereda. Antara sedih dan kecewa. Bisa ku lihat
dari wajahnya yang berubah seketika.
Aku berbalik arah, berganti posisi.
Ku perhatikan Tika dengan seksama. Ia mematikan panggilannya dengan seketika lalu
berbaring dengan posisi memunggungiku. Aku tahu dia berusaha menyembunyikan
bulir air matanya.
Ku dekati dia, “kenapa juga harus
mempertahankan orang yang bersikap egois? Dan lagi-lagi membuatmu marah. Aku
saja kesal mendengar kalian yang slalu bertengkar. Selalu saja ada yang
diributkan”. Aku hampir tidak bisa menahan kata-kataku yang menurutku sudah
keterlaluan. “Dia slalu membuatmu...”
“... aku butuh sendiri” sambung Tika
dengan segera.
“Oke. Aku harap kamu memikirkan
kata-kataku yang tadi”, aku bergegas keluar kamar. Ku biarkan dia sendirian.
“Kenapa? Kok cemberut gitu?” tanya
Marli yang melihatku keluar dari kamar.
“Hanya sedikit masalah Mar”
Marli mengangkat kedua bahunya tidak
mengerti. “Masalah apa?”
Aku meraih gelas kemudian menuangkan
air putih dari dispenser, “aku kasihan melihat Tika yang tidak pernah damai
dengan pacarnya. Mereka slalu bertengkar”
“Harusnya itu jadi pelajaran buatmu”
“Pelajaran?” keningku berkerut. “Oh,
aku tau apa maksudmu. Tapi, entahlah aku terlalu bingung dengan sendirinya.
Malah terlalu rumit dengan perasaan ini”
Marli mendekatiku, “segala sesuatu
itu jangan di jadikan rumit, nanti pasti bakal benar-benar jadi rumit”
Keningku berkerut, “jangan
meledekku. Aku tidak suka”
“Bukan gitu Lia, aku cuman ingin
kamu mengerti”
“Tentang apa?”
“Hati dan perasaanmu”
“Ah...” aku mendengus pelan. Gelas
yang berisi air ditanganku segera ku teguk habis.
***
“Untukmu” setangkai mawar merah
tepat berada dihadapanku. “Sengaja ku bawakan untukmu” ia mengulurkan mawar
merah itu padaku.
Aku sungguh tidak terlalu suka dengan
hal yang berbau romantis, apalagi mawar.
“Kenapa? Kamu tidak suka?” ada nada
kecewa yang ku dengar darinya. “Aku membeli mawar ini sampai kehujanan”. Ia
menatap mawar di tangannya sendu.
Ku lihat bajunya yang basah karna
hujan. Mawar merah itu segera ku raih, “trimakasih kak” ujarku. Aku tidak ingin
membuatnya bersedih. Entah sudah berapa banyak mawar yang diberikannya untukku dan ini adalah
mawar yang kesekian kalinya yang ku terima. Ku pandangi sosok itu dalam, sebuah
aksara melengkung dimata hitamnya. Aku bisa merasakannya, bisa membacanya. Ku
tundukkan pandanganku, semakin lama aku semakin tidak bisa menatapnya.
“Maaf yah, malam ini aku tidak bisa
mengantarmu ke kampus” wajahnya mencerminkan rasa sedih. “Malam ini aku ada
acara tadi ada sms dari teman katanya
ada rapat NU”
Aku tersenyum, “aku punya teman kak.
Nanti aku bisa bareng mereka. Jadi kakak tidak usah khawatir”
Ia tersenyum. “Aku pulang dulu ya”
Aku segera mengangguk, “hati-hati ya
kak. Jangan lupa kabarin aku kalau udah nyampai tujuan”
Ia mengangguk lalu bergegas menaiki
motornya dan melaju pergi.
Ku rasakan sesuatu yang menancap ulu
hatiku setelah kepergiannya. Sesak dan sakit. Mawar ditanganku ku perhatikan
dengan jelas. Senyum tulus itu seolah menyapaku disana. Berbisik pelan,
mengatakan sesuatu yang tak jelas. Memintaku agar tetap merawatnya hingga layu.
Bagaimana ini?. Aku melangkah lesu
menaiki anak tangga satu persatu.
“Mawar nya indah kak”
Entah siapa yang memuji mawar
merahku. Yang dapat ku rasakan saat ini adalah kebingungan. Dan... entahlah.
***
“Besok
Lia ada acara?”
Ku tatap layar HP ku, ada pesan
baru. “Tidak ada. Ada yang bisa aku
bantu?”
“Mau
bantu Senja? Besok ada teman yang mau ketemu. Lia mau nemanin Senja?”
Awalnya aku ragu untuk menjawab
‘iya’ tapi jari-jariku begitu cepatnya menjawab “Insyaallah”
“Oke.
besok ketemu jam 9 pagi ya”
“Insyaallah”
Senyumku tersimpul.
***
Kenapa dengan hari ini? Kenapa
denganku?. Aku sudah tidak jujur pada
kak Maulana tentang hari ini, tentang kejadian hari ini. Ku katakan padanya aku
sedang mengerjakan tugas di kosan teman dan menjelaskan padannya kalau kosan temanku
sama sekali tidak ada sinyal sehingga aku sulit untuk menjawab sms dan
panggilannya. Padahal tidak, aku sedang pergi dengan sahabat lamaku lebih tepatnya
orang yang pernah hadir jauh sebelum kak Maulana. Orang yang slalu ada di
fikiranku meskipun aku sudah menjalani hubungan dengan kak Maulana. Tapi aku
berusaha dan slalu menutupi perasaanku yang terbagi menjadi dua keping. Aku
tidak ingin kak Maulana tau tentang hal itu.
Masih
ingat awal mula aku menanam rasa padanya sejak pandangan pertama dan itu sudah
hampir dua tahun lamanya. Tapi toh itu hanya masa lalu. Pada kenyataannya aku
sudah memiliki kekasih meskipun kadang kala aku merasa kalau hatiku tidak
sepenuhnya untuk kak Maulana.
Perasaan bersalah tiba-tiba
berkelabut dibenakku. Bagaimanapun aku masih memikirkan kak Maulana. Bahkan
tentang hari ini. Ku pandangi sosok yang sedang duduk disampingku. Ia tersenyum,
senyumnya ku balas meskipun dengan perasaan getir.
“Apa yang kau fikirkan?” tanyanya
penuh selidik.
“Perasaan bersalah” tandasku. Ku
pandangi keluar jendela angkutan, dapat kurasakan lampu-lampu jalanan seolah
meledekku.
“Hei...” ia menarik lengan bajuku,
“bukankah ini yang engkau inginkan? Berjalan berdua denganku”
Aku tidak menyahut. Yah, dia memang
benar. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku dengan kata bersalah. Meskipun
seharian tadi ia menemaniku bermain, mengajakku ke museum, berkeliling bersama
bahkan ia juga mengajakku berdiskusi tentang teman chatnya. Tapi entah kenapa
setelah semua berakhir yang ada dibenakku hanya perasaan hambar. Aku tidak tau
kenapa.
Aku dan dia sama-sama diam untuk
beberapa menit.
“Kau tau, pacarku baik bahkan
sangat-sangat baik” aku mendengus pelan.
“Lalu?” selidiknya.
“Hari ini aku telah melakukan hal
yang salah, kau mungkin tau kenapa” sorot mataku menatapnya.
“ Yah, aku tau. Aku memintamu untuk
menemaniku” ia balas menatapku.
“Sepertinya dia marah padaku” HP
didalam tasku bergetar berberapa kali. Aku yakin itu panggilan dari kak
Maulana. “Tapi tidak apa-apa, aku bisa mengatasinya besok, akan ku jelaskan
padanya dengan berlahan dan yakin agar dia tidak marah padaku”. Tungkasku penuh percaya diri.
“Aku percaya padamu” yakinnya.
Aku mengangguk, “trimakasih untuk
hari ini. Aku cukup bahagia”. Aku berusaha tersenyum. Sesuatu terlintas
dibenakku. Barangkali ini adalah awal dan
akhir.
Ia tersenyum, “sama-sama”
***
“Kenapa sms dan teleponku tidak kamu
jawab kemaren”
Aku berbalik menatapnya, “tadi udah
aku jawab. Kemaren juga udah aku jelasakan tapi kakak begitu ngotot dengan
jawabanku”. Lama-lama aku menjadi kesal dan marah. “Kenapa kakak tidak pernah
mengerti dan slalu saja menuduhku” suaraku meninggi.
“Aku tidak menuduhmu Lia, aku hanya
bertanya” jelasnya dengan nada datar.
“Tapi aku bosan. Kakak seolah tidak
percaya padaku”
“Maafkan aku”. Ia menatapku, sorot
matanya seolah mewakili rasa bersalahnya. Kak Maulana meraih kursi lalu duduk.
Ia mencoba menenangkanku. “Maafin aku Lia”
Sungguh, aku tidak bisa menatap
matanya. Aku takut, benar-benar takut dengan rasa bersalahku. Harusnya aku yang
meminta maaf padanya, menjelaskan semua. Tapi lidahku terasa begitu kelu, pahit
dan sama sekali tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya. Segera ku palingkan
pandanganku darinya.
“Kau tau Lia, aku sangat
menyayangimu dan aku benar-benar takut kehilanganmu” ungkapnya.
Kata-katanya kali ini seakan menyadarkanku.
Apa yang telah ku lakukan slama ini? Begitu naifnya diriku.
“Dan aku slalu percaya padamu” ia
menunduk.
Aku ingin melangkah mendekatinya.
Ingin ku katakan bahwa aku sangat bahagia memiliki sosok sepertinya. Tapi
langkah kakiku seakan ada yang menarik, sama sekali tidak bisa digerakkan. Aku
bagai patung yang hanya bisa diam berdiri dan
hanya bisa mentapnya tampa bisa berbuat apa-apa. Betapa menyesalnya aku
dengan perasaanku selama ini. Betapa bodohnya aku telah menghianati orang yang
begitu mencintaiku. Dan betapa egoisnya aku dengan perasaan yang ku bagi dengan
orang lain. Aku benar-benar menyesal. Aku berjanji pada diriku tidak akan
melakukan kesalahan yang sama kembali.“Maafkan
aku” bisikku kecil.
“Lia...” panggilnya pelan
Ah, ternyata dia masih disini. Aku
bisa merasakan senyumannya. “Aku mencintaimu kak, tidak ada ruang lain di hatiku
kecuali hanya untuk kakak”. Aku melangkah dengan ringan kearahnya kemudian
duduk didekatnya. Sekilas aku bisa melihat anggukannya yang ringan.
“Aku juga mencintaimu Lia. Sangat”
ia tersenyum padaku.
Malam ini aku dan kak Maulana
menghabiskan waktu dengan menatap lampu-lampu kendraan yang lalu lalang. Begini
lebih indah, berdua dengannya. Esok ataupun lusa akan ku habiskan waktuku
dengannya.