***
“Aku
baru patah hati kak” ungkapku pada sosok
dihadapanku. Mataku lurus menatap senar gitar ditanganku.
Mata itu
menyipit kemudian ia mengembangkan senyumnya, manis. “Terus, kalau kamu patah
hati kamu bakal biarin diri kamu tenggelam dalam kesedihan?” ia menolehku,
mengambil gitar ditanganku kemudian memainkannya.
Aku
menatap sosok itu, berfikir tentang apa yang diucapkannya. Ku tatap wajahnya
dalam, ada kebenaran dari matanya yang teduh. Ah, andai saja semudah
membalikkan telapak tangan untuk melupakan bayangan itu pastilah saat ini aku
tidak akan pernah memikirkannya lagi. Tapi, semuanya tidak seperti itu,
melupakannya tidak seindah kenyataan yang ada.
“Mes,
balik yuk?” Rara berdiri dihadapanku.
Aku
mengangguk, “aku balik dulu ya kak, besok kita main lagi”
Sosok
itu menatapku lalu mengangguk. “Benar ya?”
Aku
tersenyum, “iya”
“Engkaukah perawan itu…
Mengipaskan angin cinta…
Menafsir luka lara dari kerut
wajahku dari senyuman pahit ku…
Engkaukah perawan itu…
Yang datang dalam mimipiku…
Menyembuh luka lama dengan suara syahdu…
Meninggalkan rasa rindu…”
Dari
kejauhan meskipun samar-samar aku bisa mendengarkan lagu yang dimainkannya.
Suaranya indah, merdu dan menyentuh. Tadi, waktu aku disana sosok itu sama
sekali tidak ingin menyanyi walau sebersi keras apapun aku memintanya.
“Aku tidak
suka yang mellow mes, aku sukanya yang ngerock. Metal” jelasnya.
“enggak
apa-apa kak yang penting kakak mau nyanyi, sekali aja” pintaku berharap.
Sosok itu
justru menjawabnya dengan senyuman, dan aku langsung luluh begitu saja.
***
“Senyum-senyum
sendiri. Sms dari kak Andri yah?” goda Rara. Dengan sigap tangannya langsung
meraih HP ditanganku.
“Rara…”
teriakku tidak terima. “ Bukan kok, emang kenapa?” aku berusaha mengambil HP
darinya.
“Yah, udah
dihapus” ada kekecewaan dari nada Rara. “enggak asik lu” tungkasnya
mengembalikan HP padaku.
Aku
tersenyum puas “suruh siapa jahil gitu, lu si kepengen tau mulu gue smsan ama
siapa”
“Gue kan
temen lu Mes, wajar dong gue pengen tau”
“Wajar si,
tapi kan..?”
Belum
selesai aku menjawab, Rara menggambil posisi duduk dihadapanku. “Lu tau enggak
Mes, banyak yang berubah sama diri lu semenjak kenal kak Andri” ada nada serius
dari ucapannya.
“Berubah?”
aku menatap diriku sendiri. “Perasaan masih kayak dulu kok, gue masih
kurusankan?”
Rara
menyentuh pundakku “gue serius, bukan itu tapi yang lain”
“Terus
apaan?”
“Gue udah
nemuin Mesy yang dulu, lu tau kenapa? Semenjak lu putus ama Fendi hari-hari lu
begitu gelap. Lu sering murung, nangisin dia ampe semuanya begitu beda banget.
Trus sekarang lu balik ke diri lu sendiri dan gue senang banget lihat lu yang
sekarang”
Aku diam.
Tidak ingin rasanya mengingat kejadian yang dulu toh hal itu sudah terjadi.
Mengingatnya sama halnya menggali rasa pilu dan benci yang amat dalam. Bahkan
namanya saja aku mual mendengarnya. “Gue udah pernah ngomong sama lu, jangan
pernah ngingatin kenangan itu” aku berdiri memalingkan pandangan kearah yang lain.
“Sorry Mes,
gue bukannya mau ngingatin lu ama yang dulu tapi justru lu harus belajar dari
kejadian yang lalu”
“Nah,
kenapa sekarang lu malah ngajarin gue?”
“Gue enggak
ngajarin kok Mes” Rara malah ngambek “kan elu marah?”
Kalau Rara
mayun aku akan luluh. “Gue enggak marah Ra, gue cuman canda jangan ambil hati
gitu napa. Lu kayak baru kenal gue aja”
Rara tidak jadi mayun ia malah tersenyum “
mes, ada sms tuh dari kak Andri”
Aku meraih
HP ku dengan sigap, mengecek layarnya. Kosong. Lagi-lagi deh Rara berhasil
mengerjaiku. “Emang yah, kalau sehari ajah enggak ngerjain gue hidup lu bakal
hampa gitu”
“Ketahuan
banget yah, hehe… peace Mes” Rara mengacungkan dua jarinya ke awang-awang.
Sambil tersenyum puas.
***
Setidaknya
luka bisa disembuhkan dengan seiring bergulirnya waktu. Begitulah yang sering ku
dengar dari mereka yang pernah merasa patah hati. Mengapa tidak, aku juga dapat
mengakuinya meskipun setengah persen dari seratus pesen. Luka itu mulai menipis
dan tak terlihat lagi. Kejadian yang lalu ku anggap hanya sebatas kenangan yang
tak perlu diungkit dalam ingatan. Setidaknya masa-masa menyakitkan itu adalah
pelajaran yang mendewasakan kepribadian. Ku harap seperti itu dan biarlah semua
menjadi nostalgia.
Waktu begitu cepat berlalu, hari-hariku mulai
seperti biasa. Aku lebih sering menulis beberapa kejadian dalam hidupku yang
berubah dalam bait-bait puisi yang tidak begitu beraturan. Seperti kali ini,
aku mencoba mengeluarkan isi hati.
Dan kau,
Sebait lentera yang baru terlahir dihidupku yang rumit
Secercah cahaya rembulan yang menelusuri lorong gelapnya hati
Sepercik air hujan yang menghilangkan dahaga dalam dada
Dan kau,
Bagai senja yang hilang menghampiri sisi lainnya
Menabur senyum
Menghias sepi
“Nulis apa
Mes?” kepala Rara tiba-tiba saja muncul dihadapanku, ia mengubris tanganku yang
berusaha menutupi layar notebook.
“Apaan si
Ra?” sewotku
Rara
berhasil mengelakkan tanganku, “ya elah, gue fikir lu ngapain? Tau-taunya nulis
puisi. Buat siapa ni?” Rara menatapku.
Aku
mendengus kesal, “enggak buat siapa-siapa kok. Gue cuman pengan nulis ajah kan
udah lama enggak nulis puisi jadinya gue kangen”
Rara
menghindariku, ia duduk disalah satu sisi ranjang. Matanya menatapku seolah
menertawakan tingkahku yang dinilainya begitu konyol. “Coba deh lu baca
baik-baik trus lu hayati. Gue emang enggak puitis Mes tapi gue cukup mengerti
kalau masalah hati” Rara meletakkan kedua tangannya didada. Memberi aba-aba
yang tidak ku mengerti lalu membentuknya menjadi love. “Lu jatuh cinta ya?”
Sontak aku
kanget, apa maksud Rara?. Ku pandangi puisi yang baru ku tulis. Tidak ada yang
aneh, kata-katanya juga biasa menurutku.
“oke,
enggak apa-apa kalau lu enggak ngaku yang jelas gue udah ngerti perasaan lu”
senyum Rara jahil.
Keningku
berkerut, Perasaan?. “Ra, sini deh
gue mau jelasin ke elu. Lu taukan kalau lu sahabat gue yang paling baik sedunia,
gue emang punya perasaan tapi bukan perasaan suka, cinta atau apalah namanya”
“hahaha…
dasar yah, udah ketangkap basah masih aja ngelak”
“Rara…!”
“Lu
sebenarnya suka ma kak Andri kan? Tapi lu pura-pura enggak ngerti ama prasaan
lu sendiri”
“Astaga Ra,
gue…” HP ku tiba-tiba berdering, satu pesan masuk. Sesaat ku pandangi layarnya,
kemudian menatap Rara. Sms kak Andri.
Besok main yah
Kangen J
“Udahlah
sobat gimanapun mata itu enggak bakal pernah bohong”
Kali ini
aku akui aku kalah. Telak.
***
“Kamu
kenapa bisa putus Mes”
“Kok diam”
Sama sekali
tidak mengerti “aku enggak mau jadi selingkuhan” jawabku singkat. Hatiku terasa
begitu sakit.
“Oh… “ kak
Andri kembali memainkan gitarnya.
“Jadi
selingkuhan itu menyakitkan. Dari pada diselingkuhin mending putus aja” ku
pandangi kak Andri serius “atau enggak mending kita aja yang nyelingkuhin”
tawaku kecil. Untuk apa membenci mantan lama-lama.
Ku pandangi
kak Andri, aku merasa seakan ada yang berbeda dengan kak Andri hari ini, kemana
senyum itu? Senyum yang slalu ku tunggu-tunggu darinya. Senyum yang siap
membuat hariku kian berbeda. Senyum yang mampu menjadikan karang hatiku pecah
berhamburan. Senyum yang begitu tulus dan murni. Ah….
“HP lu
bunyi An” kak Tomi, teman dekat kak Andri menghampiri kak Andri lalu
mengulurkan sebuah HP.
“Siapa?”
Tanya kak Andri
“Biasa”
jawab kak Tomi membuatku bingung.
“Bentar
yah” kak Andri tersenyum padaku kemudian menjauh.
Aku mulai
curiga, ada sesuatu yang disembunyikannya dariku. Ku perhatikan kak Andri dari
kejauhan, mataku tak ingin lepas dari setiap kata yang diucapkannya. Kak Andri
tidak banyak berkata hanya menjawab sekedarnya saja. Tapi, mengapa aku begitu
ingin tau apa saja yang dibicarakan kak Andri dengan seseorang disana? Meskipun
hanya lewat HP tapi sepertinya ada yang mengganjal dihatiku.
“Lama ya?”
kak Andri mengambil posisi duduknya ditempat semula. Ia lalu meraih gitarnya
kemudian memainkannya kembali. “Kamu kenapa? Kok diam, enggak kayak
kemaren-maren. Cerewet, hehe…” tawanya.
masa bodo, kesalku dalam hati. Dua kali kak
Andri membuatku kesal hari ini. Pertama
masalah mantan, kedua karna kak Andri menjauhiku sewaktu menelpon tadi. Ah, aku
benar-benar kesal.
“Mesya…Mesya…Mesya…”
panggilan yang sering kak Andri lakukan padaku. Ia meletakkan gitarnya,
kemudian menarik sisi bajuku.
Aku masih
tetap diam. Ku pandangi HP ku, semenjak tadi sewaktu kak Andri menjauhiku aku
memainkan Fb lewat HP. Ku buka nama Fb kak Andri kemudian melihat-lihat
fhotonya. Ku lihat kak Andri bersama seseorang disana, tidak terlalu mesra tapi
senyum itu, senyum yang slalu kak Andri tunjukkan padaku mengapa ia membaginya
pada orang lain? Atau jangan-jangan senyum disana lebih dari sekedar senyum
biasa. Ku pandangi kak Andri, hatiku terasa sedikit teriris.
“Kamu
kenapa?” kak Andri mencoba meraih HP ditanganku. “Dari tadi kakak panggil kamu
diam aja, kenapa?”
Beruntung,
aku langsung mengeluarkan Fb dari HP sebelum kak Andri berhasil mengambil HPku.
“Kan kakak
udah pernah bilang, enggak boleh main HP kalau lagi sama kakak. Masa kamu
lupa?”
Aku
tersenyum kaku, “ iya kak, aku enggak bakal lupa kok”
“Nah gitu
dong, kan enak” kak Andri tersenyum
Dan aku
kembali terjatuh dalam senyum itu.
***
“Aku suka kakak” pengakuan yang bodoh memang
tapi itulah kenyataannya. aku tidak bisa menyimpan rasa ini sendiri, aku telah
memendamnya selama mengenalinya, lama sudah ku pendam.
Suara
diseberang sana mendengus.
Aku tak
peduli apa yang ku rasa kali ini. “Aku tau tentang kakak slama ini. Tapi
bagaimanapun perasaan itu benar-benar
sakit kalau dipendam”. Ku rasakan aliran
darahku yang mengalir semakin deras. Jantungku berdetak lagi dan lagi. “Maaf
kak, aku merusak suasana hati kakak”
“Enggak
apa-apa”
Ah,
suaranya merdu sekali. Jawabannya seakan menjadikan dunia gelapku terang.
“Suka itu
hak setiap orang, tapi apa kamu benar-benar menyukai kakak….?” Dia membawa
suasana dengan bercanda.
Aku
mengangguk sendiri. “Ya” yakinku
“Kenapa harus
kakak”
“Aku enggak
tau kak, yang pastinya aku suka sama kakak” spontan jawaban itu mengalir dari
bibirku. “Kakak... kakak suka sama aku?” ku hembus nafasku panjang. Mataku
terpejam, antara takut dan penasaran akan jawaban kak Andri.
Kak Andri lalu
diam untuk beberapa menit “kakak harap kamu yakin dengan perasaanmu”
Lalu suasana diantara kami mulai berubah semenjak malam itu.
Lalu suasana diantara kami mulai berubah semenjak malam itu.
***
Siapa yang
dapat menyangka kejadian indah menjadi suram?
Siapa yang
tau kejadian bahagia menjadi memilukan?
Siapa juga
yang tau kalau hati yang berbunga-bunga kembali bergguguran?
Dan itulah
yang aku rasakan saat ini.
“Kak
Andri emang suka sama lu Mes, tapi dia enggak mau nyakitin lu” wajah indah Rara
seolah merasakan kesedihanku.
Ku tatap Rara
yang ikut duduk disampingku.
“Gue tau dari
kak Tomi. Dia cerita ke gue tentang kak Andri katanya dia sayang sama lu tapi
dia enggak mungkin bisa miliki lu, lu tau sendirikan dia udah...”
“... punya
pacar maksud lu. Gue udah tau lama tapi gue enggak tau kenapa gue tetep pengen
dekat ma dia. Gue ngerasa nyaman ajah bareng dia Ra” ku usahakan air mataku
tidak keluar. “Ra, sebenarnya gue dah tau lama kak Andri punya pacar malah gue
pernah lihat fhoto bareng mereka d FB” kenangku mengingat kejadian waktu itu.
Tapi entah kenapa aku tetap saja menginginkan sosok itu, malah merindukannya.
“Sabar say” Rara
mengelus-ngelus kepala dan pundakku.
“Mungkin udah
takdir gue, jadi ngapain juga nyesel toh gue yang salah udah tau punya pacar
masih ajah kepengen dekat yah ginikan akhirnya. Nyesak, sakit dan pastinya
nyesal banget” aku berusaha setegar mungkin.
“Udah, lu
enggak boleh ngomong gitu, seharusnya lu bersukur udah ada seorang kakak yang
sayang sama lu, iya kan?”
Aku tersenyum.
“Iya “ jawabku berusaha senyum.
“Kakak... kakak suka sama aku?” kembali tanya itu terkenang difikiranku.
***
“Besok kak
Andri nikah”
Seperti sebuah
petir di siang bolong aku mendengar kabar yang mengejutkan itu. Aku merasa
tidak bisa mendengar apap-apa lagi selain hanya kata nikah dan nama kak Andri.
Mataku menatap fokus kearah Rara.
“Nikah?”
ungkapku pelan namun sangat sakit.
“He’eh” Rara
mengusap bahuku. Matanya meyakinkan tanyaku.
Aku pura-pura
masuk kekamar mandi. “Gue mau nyuci muka dulu” tandaskku perih. Langkahku
lunglai, kepalaku terasa amat sangat berat. Ada apa ini? Mengapa sesakit ini?
Toh aku dan kak Andri tidak ada hubungan apa-apa tapi kenapa rasanya sakit. Ku
tekan dadaku agar perih ini hilang. Percuma saja, malah akan semakin sakit. Air
mataku tidak bisa diajak kompromi, begitu saja mengalir dan terus mengalir. Ku
putar kran agar tangisku tidak terdengar oleh Rara. Aku tak tau apa yang harus
ku lakukan saat ini. Bingung.
“Lu ngapain
Mes?” Rara mengendor-gedor kamar mandi beberapa kali.
Segera ku
hapus air mataku dan mencuci muka. “Gue lagi nyuci muka”
“Lama banget,
jangan bilang kalau lu nangis” teriak Rara.
“Gue enggak
nangis kok” elakku. Segera ku buka pintu kamar mandi. Tak ku pedulikan tatapan
aneh Rara.
Rara menarik
tanganku, “tuh kan, lu nangis”
Kali ini aku
benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa, air mataku begitu saja mengalir. “Gue
enggak bisa Ra, gue udah nyoba sabar tapi sama sekali enggak berhasil. Rasanya
sakit banget disini” ku usap-usap dadaku yang perih
“Lu harus
kuat, harus tabah” Rara ikut menangis
***
Dan kali ini tiada lagi hari yang sama
Saat matahari terbit
Semua kosong bahkan terasa hampa
Hilang sudah
Senyum itu punah menjadi tangis
Biarlah,
Kelak laksana malam kan ditemani sang purnama
Bahkan bintang juga kan bersinar
Ku save puisi
terakhirku. Malam ini aku memandang langit diluar jendela. Balkon kamarku
terasa sepi, ku tatap HP ku tak ada lagi nada sms yang biasanya mengganggu
sunyiku. Mungkin saja seseorang itu bukanlah matahari yang benderang untukku,
bukan juga purnama barangkali suatu hari nanti bintang-bintang kecil disana
berkumpul menjadi satu cahaya yang indah. Lalu menghampiriku dengan sinarnya
yang tulus.
Ku tatap
kembali layar notebook ku, kenangan itu takkan pernah hilang. Dua sisi yang
berbeda namun datang dengan niat yang tulus. Kemudian pergi selamanya. Selamat tinggal kenangan bisikku sendu.
:) sebuah nostalgia lama :)
:) trimakasih telah mengajarkanku apa itu arti kasih sayang yang sesungguhnya :)