Senin, 24 Juni 2013

SAAT HATI INGIN BERPALING


            “Kakak benar mencintaiku?” suaraku datar menatap punggung dihadapanku. Angin malam yang dingin menerpa sebagian depan jilbabku. Ku rasakan hela napas yang mulai memburu karna malam yang semakin larut. Pertanyaan itu menghantarkanku pada sebuah fikiran yang meragukan, entah apa.
            “Kamu slalu menanyakan hal itu setiap kita bertemu, kenapa?” tatapannya lurus memperhatikan jalanan. Tangannya sigap mengendalikan rem pedal motor, mengikuti setiap alur jalan raya. “Aku sangat mencintaimu melebihi siapapun itu, kamu tau itu kan?”
            Ya, aku slalu tau jawaban yang dia utarakan setiap kali pertanyaan itu mengalir dari bibirku. Itu dan itu lagi. “Aku sangat mencintaimu”. Pelan-pelan wajahku meringkut pada kabut malam, pada jilbab yang ku pakai. Ku tatap langit yang tak berbintang disana, suratan apa ini?. Aku ingin secepatnya mengakhiri hubungan ini. Segera menghilang seiring senja yang berganti dengan malam. Tapi bagaimana? Perasaan rasa sanggup yang ku tekatkan belum bisa ku utarakan. Ku perhatikan wajahnya dari kaca spion, meski tertutup helm aku bisa melihat, bisa merasakan senyumnya yang tulus. Setulus perhatian cintanya yang slalu utuh untukku.
            “Maafkan aku” ucapku datar dan pelan, hampir tak terdengar. Rasa sesak kembali menghantam dadaku.

***
            Lia, mencintai seseorang dengan kekurangannya memang sangat-sangat sulit. Tapi itulah, kita bisa belajar menerima, belajar sabar”. Ku sandarkan punggungku ketembok kamar. Pandanganku terus menatap pesan yang sudah lama ku simpan di draf  HP ku. Benarkah harus begitu? Tapi benar-benar sulit rasanya jika harus mencintai seseorang yang tidak dicintai. Begitu sulit untuk terus bertahan dengan keegoisan sendiri. “Kamu tidak mengerti? Atau aku yang tidak  mengerti?”
            “Kenapa Li?”. Marli, sahabat baikku menegur.
            “Galau Mar” jawabku datar. Marli memang berbeda denganku, ia slalu membawa masalah dalam diam. Meskipun kadang kala raut wajahnya tidak bisa membohongiku.
            “Kak Maulana lagi?”
            Aku mengangguk.
            Ia duduk disampingku. “Dia baik, lalu kenapa lagi?”
            “Entahlah, aku juga bingung” ku perhatikan sms yang baru masuk. Layar HP ku menunjukkan nama kak Maulana disana. “Jangan lupa solat yah J
            “Yakinkan dirimu pada keputusanmu. Apapun itu, nantinya kamu yang akan menghadapinya” kata-kata bijak begitu saja mengalir. Kata-kata Marli seolah pisau yang siap menusukku kapanpun.
            “Dia baik Mar, sungguh sangat baik. Tapi ada sesuatu yang membuatku tidak merasa pantas untuknya” ku lihat Tika yang sedang berbicara dengan seseorang melalui HP nya. Marli juga melakukan hal yang sama. Kami bertiga memang sahabat dekat.
            “Coba kamu lihat dia” Marli dan aku sama-sama memperhatikan Tika yang sedang mengomeli seseorang di HP nya. Dia berjalan mondar-mandir didepan lemari. Entah kenapa dia jarang sekali berbicara lembut dengan kekasihnya. “Bukankah dia berbeda denganmu?”
            Aku menghela napas. Ku dengarkan setiap bait-bait kata yang diucapkan Tika. Lagi-lagi marah. Aku dan Tika memang berbeda, aku slalu berbicara lembut dengan kekasihku bahkan kami jarang bertengkar malah sama sekali tidak pernah ada masalah. Sedangkan dia malah sebaliknya, tapi anehnya dia tetap bertahan malah mungkin semakin sayang.
            “Hal apa yang membuatmu telah berubah?” sorot mata Marli begitu serius. “Jangan katakan kalau kamu menyukai seseorang?”
            Aku menjauhkan pandanganku. “Adakah yang salah jika mencintai orang lain?”
            Mata Marli menyipit. “Oh God”

***
            “Kenapa kak?”. Mata sendu itu tidak berhenti menatapku yang baru saja keluar dari gerbang kontrakan. “Ada yang salah?”
            Ia menggeleng pelan, “kamu makin hari makin cantik”
            “Oh, benarkah?”, aku mencoba tersenyum. Aku mendekatinya, malam ini ia berjanji mengantarku ke kampus. Kebiasaan yang slalu ia tawarkan. Ku pandangi sosok itu, kenapa rasanya hubungan ini hambar? Kenapa seolah bukan sosok itu yang ku inginkan saat ini berdiri tersenyum disana?.
            “Kok bengong? Hayo, entar telat loh”
            “Eh-oh iya kak” aku segera naik keatas motornya. Tidak baik membiarkannya terlalu lama untuk menunggu. Motornya melaju seiring pandanganku yang mulai menghambur.
            Tangan itu tiba-tiba saja menyentuh tasku, membuatku kaget. “Ada yang kamu fikirkan? Dari tadi aku perhatikan melamun?”
            “Wah... kakak terlalu memperhatikanku” segera ku buat suasana sedikit mencair. “Aku tidak memikirkan apa-apa”
            “Matamu tidak bisa berbohong Lia, aku sudah mengenalmu sebelas bulan yang lalu”
            Ah, benar. Kami sudah menjalin hubungan selama itu. Tidak terasa hampir saja setahun lamanya. “Kakak terlalu baik” ku tatap wajah itu dari kaca spion mencoba mendapatkan reaksinya.
            “Itu karna aku sangat mencintaimu”. Lagi-lagi ia melontarkan jawaban yang sama.
            “Kakak tidak bosan denganku?” pertanyaan konyol itu tiba-tiba saja mengalir.
            Baru saja ia ingin menjawab sebuah motor mendadak berhenti didepan kami.
            “Astaga...” aku berdecit kaget. Motor yang dibawanya hampir saja menabrak motor yang baru melaju dihadapan kami.
            “Maaf” ia mencoba menstabilkan diri. Lalu menarik napas dalam-dalam.
            “Kakak terlau terburu-buru. Kita hampir saja kecelakaan” ku perbaiki posisi dudukku. Ku tepuk punggungnya, mencoba menenangkan. Mudah-mudahan pertanyaanku tadi bisa dilupakannya. Segera. Motor yang ingin menabrak kami meminta maaf dan berlalu pergi.
            “Kamu harus cepat sampai kekampus” sosok itu membuatku terbangun dari lamunan. “Sekarang jam berapa?” tungkasnya.
            Segera ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. “Sepuluh menit lagi” ujarku jelas.
            “Kita segera sampai” lalu motor itu pun dengan segera melaju.

***
            Sebuah sms masuk, “Lia... J
            Segera ku hentikan tulisanku. Mataku tidak berhenti menatap sms yang baru saja masuk. Sepetinya ini bukanlah mimpi. “Iya Senja... J segera ku kirim balasanku.
            “Sedang apa?”
            “Biasa, ingin bermain dengan dunia maya. Bertemu dengan sahabat-sahabat lama”
            “Hem... sudah makan?”
            Lama sekali ku perhatikan sms darinya. Kenapa jadi begini?. “Hamdalah, Senja sudah makan?”
            “Sudah, tadi sore”
            “Kangen kamu J
            “Wkwkwkwk.... yang benar?”
            “Kamu menertawaiku, ada yang lucu yah?”. Aku kesal dengan jawabannya.
            “Karna bahagia mendengarkannya makanya Senja tertawa”
            “Oh, jadi kalau kamu bahagia kamu pasti tertawa”. Pertanyaanku secepatnya melayang.
            “Tidak juga. Senja terlalu bahagia”
            “Ku harap begitu”, jawabanku sedikit ketus.
            “Senja juga kangen Lia J
            Tidak ku hiraukan jawaban terakhirnya, sedikit kesal tapi ada juga rasa bahagia. Mengapa kamu tidak mengerti dengan perasaan ini?. Ku lempar HP ku keatas kasur. Fikiranku bergelut dengan sendirinya.
            “Kamu tidak pernah meminta maaf setiap kali berbuat salah” suara disampingku mengejutkan. Tika duduk diatas kasur sembari menyemburkan amarahnya.
            Ku dengar suara di HP nya menjawab meskipun tidak terlalu jelas.
            Tika mendengus kesal, “aku tidak suka dengan sikap kamu yang slalu egois, harus di ingatkan. Kapan kamu berubah?”. Suara Tika kembali mereda. Antara sedih dan kecewa. Bisa ku lihat dari wajahnya yang berubah seketika.
            Aku berbalik arah, berganti posisi. Ku perhatikan Tika dengan seksama. Ia mematikan panggilannya dengan seketika lalu berbaring dengan posisi memunggungiku. Aku tahu dia berusaha menyembunyikan bulir air matanya.
            Ku dekati dia, “kenapa juga harus mempertahankan orang yang bersikap egois? Dan lagi-lagi membuatmu marah. Aku saja kesal mendengar kalian yang slalu bertengkar. Selalu saja ada yang diributkan”. Aku hampir tidak bisa menahan kata-kataku yang menurutku sudah keterlaluan. “Dia slalu membuatmu...”
            “... aku butuh sendiri” sambung Tika dengan segera.
            “Oke. Aku harap kamu memikirkan kata-kataku yang tadi”, aku bergegas keluar kamar. Ku biarkan dia sendirian.
            “Kenapa? Kok cemberut gitu?” tanya Marli yang melihatku keluar dari kamar.
            “Hanya sedikit masalah Mar”
            Marli mengangkat kedua bahunya tidak mengerti. “Masalah apa?”
            Aku meraih gelas kemudian menuangkan air putih dari dispenser, “aku kasihan melihat Tika yang tidak pernah damai dengan pacarnya. Mereka slalu bertengkar”
            “Harusnya itu jadi pelajaran buatmu”
            “Pelajaran?” keningku berkerut. “Oh, aku tau apa maksudmu. Tapi, entahlah aku terlalu bingung dengan sendirinya. Malah terlalu rumit dengan perasaan ini”
            Marli mendekatiku, “segala sesuatu itu jangan di jadikan rumit, nanti pasti bakal benar-benar jadi rumit”
            Keningku berkerut, “jangan meledekku. Aku tidak suka”
            “Bukan gitu Lia, aku cuman ingin kamu mengerti”
            “Tentang apa?”
            “Hati dan perasaanmu”
            “Ah...” aku mendengus pelan. Gelas yang berisi air ditanganku segera ku teguk habis.

***
            “Untukmu” setangkai mawar merah tepat berada dihadapanku. “Sengaja ku bawakan untukmu” ia mengulurkan mawar merah itu padaku.
            Aku sungguh tidak terlalu suka dengan hal yang berbau romantis, apalagi mawar.
            “Kenapa? Kamu tidak suka?” ada nada kecewa yang ku dengar darinya. “Aku membeli mawar ini sampai kehujanan”. Ia menatap mawar di tangannya sendu.
            Ku lihat bajunya yang basah karna hujan. Mawar merah itu segera ku raih, “trimakasih kak” ujarku. Aku tidak ingin membuatnya bersedih. Entah sudah berapa banyak  mawar yang diberikannya untukku dan ini adalah mawar yang kesekian kalinya yang ku terima. Ku pandangi sosok itu dalam, sebuah aksara melengkung dimata hitamnya. Aku bisa merasakannya, bisa membacanya. Ku tundukkan pandanganku, semakin lama aku semakin tidak bisa menatapnya.
            “Maaf yah, malam ini aku tidak bisa mengantarmu ke kampus” wajahnya mencerminkan rasa sedih. “Malam ini aku ada acara tadi ada sms dari teman  katanya ada rapat NU”
            Aku tersenyum, “aku punya teman kak. Nanti aku bisa bareng mereka. Jadi kakak tidak usah khawatir”
            Ia tersenyum. “Aku pulang dulu ya”
            Aku segera mengangguk, “hati-hati ya kak. Jangan lupa kabarin aku kalau udah nyampai tujuan”
            Ia mengangguk lalu bergegas menaiki motornya dan melaju pergi.
            Ku rasakan sesuatu yang menancap ulu hatiku setelah kepergiannya. Sesak dan sakit. Mawar ditanganku ku perhatikan dengan jelas. Senyum tulus itu seolah menyapaku disana. Berbisik pelan, mengatakan sesuatu yang tak jelas. Memintaku agar tetap merawatnya hingga layu. Bagaimana ini?. Aku melangkah lesu menaiki anak tangga satu persatu.
            “Mawar nya indah kak”
            Entah siapa yang memuji mawar merahku. Yang dapat ku rasakan saat ini adalah kebingungan. Dan... entahlah.

***  
            “Besok Lia ada acara?”
            Ku tatap layar HP ku, ada pesan baru. “Tidak ada. Ada yang bisa aku bantu?”
            “Mau bantu Senja? Besok ada teman yang mau ketemu. Lia mau nemanin Senja?”
            Awalnya aku ragu untuk menjawab ‘iya’ tapi jari-jariku begitu cepatnya menjawab “Insyaallah”
            “Oke. besok ketemu  jam 9 pagi ya”
            “Insyaallah”
            Senyumku tersimpul.

***
            Kenapa dengan hari ini? Kenapa denganku?.  Aku sudah tidak jujur pada kak Maulana tentang hari ini, tentang kejadian hari ini. Ku katakan padanya aku sedang mengerjakan tugas di kosan teman dan menjelaskan padannya kalau kosan temanku sama sekali tidak ada sinyal sehingga aku sulit untuk menjawab sms dan panggilannya. Padahal tidak, aku sedang pergi dengan sahabat lamaku lebih tepatnya orang yang pernah hadir jauh sebelum kak Maulana. Orang yang slalu ada di fikiranku meskipun aku sudah menjalani hubungan dengan kak Maulana. Tapi aku berusaha dan slalu menutupi perasaanku yang terbagi menjadi dua keping. Aku tidak ingin kak Maulana tau tentang hal itu.
Masih ingat awal mula aku menanam rasa padanya sejak pandangan pertama dan itu sudah hampir dua tahun lamanya. Tapi toh itu hanya masa lalu. Pada kenyataannya aku sudah memiliki kekasih meskipun kadang kala aku merasa kalau hatiku tidak sepenuhnya untuk kak Maulana.
            Perasaan bersalah tiba-tiba berkelabut dibenakku. Bagaimanapun aku masih memikirkan kak Maulana. Bahkan tentang hari ini. Ku pandangi sosok yang sedang duduk disampingku. Ia tersenyum, senyumnya ku balas meskipun dengan perasaan getir.
            “Apa yang kau fikirkan?” tanyanya penuh selidik.
            “Perasaan bersalah” tandasku. Ku pandangi keluar jendela angkutan, dapat kurasakan lampu-lampu jalanan seolah meledekku.
            “Hei...” ia menarik lengan bajuku, “bukankah ini yang engkau inginkan? Berjalan berdua denganku”
            Aku tidak menyahut. Yah, dia memang benar. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku dengan kata bersalah. Meskipun seharian tadi ia menemaniku bermain, mengajakku ke museum, berkeliling bersama bahkan ia juga mengajakku berdiskusi tentang teman chatnya. Tapi entah kenapa setelah semua berakhir yang ada dibenakku hanya perasaan hambar. Aku tidak tau kenapa.
            Aku dan dia sama-sama diam untuk beberapa menit.
            “Kau tau, pacarku baik bahkan sangat-sangat baik” aku mendengus pelan.
            “Lalu?” selidiknya.
            “Hari ini aku telah melakukan hal yang salah, kau mungkin tau kenapa” sorot mataku menatapnya.
            “ Yah, aku tau. Aku memintamu untuk menemaniku” ia balas menatapku.
            “Sepertinya dia marah padaku” HP didalam tasku bergetar berberapa kali. Aku yakin itu panggilan dari kak Maulana. “Tapi tidak apa-apa, aku bisa mengatasinya besok, akan ku jelaskan padanya dengan berlahan dan yakin agar dia tidak marah padaku”.  Tungkasku penuh percaya diri.
            “Aku percaya padamu” yakinnya.
            Aku mengangguk, “trimakasih untuk hari ini. Aku cukup bahagia”. Aku berusaha tersenyum. Sesuatu terlintas dibenakku. Barangkali ini adalah awal dan akhir.
            Ia tersenyum, “sama-sama”
           
***
            “Kenapa sms dan teleponku tidak kamu jawab kemaren”
            Aku berbalik menatapnya, “tadi udah aku jawab. Kemaren juga udah aku jelasakan tapi kakak begitu ngotot dengan jawabanku”. Lama-lama aku menjadi kesal dan marah. “Kenapa kakak tidak pernah mengerti dan slalu saja menuduhku” suaraku meninggi.
            “Aku tidak menuduhmu Lia, aku hanya bertanya” jelasnya dengan nada datar.
            “Tapi aku bosan. Kakak seolah tidak percaya padaku”
            “Maafkan aku”. Ia menatapku, sorot matanya seolah mewakili rasa bersalahnya. Kak Maulana meraih kursi lalu duduk. Ia mencoba menenangkanku. “Maafin aku Lia”
            Sungguh, aku tidak bisa menatap matanya. Aku takut, benar-benar takut dengan rasa bersalahku. Harusnya aku yang meminta maaf padanya, menjelaskan semua. Tapi lidahku terasa begitu kelu, pahit dan sama sekali tidak bisa mengatakan yang sesungguhnya. Segera ku palingkan pandanganku darinya.
            “Kau tau Lia, aku sangat menyayangimu dan aku benar-benar takut kehilanganmu” ungkapnya.
            Kata-katanya kali ini seakan menyadarkanku. Apa yang telah ku lakukan slama ini? Begitu naifnya diriku.
            “Dan aku slalu percaya padamu” ia menunduk.
            Aku ingin melangkah mendekatinya. Ingin ku katakan bahwa aku sangat bahagia memiliki sosok sepertinya. Tapi langkah kakiku seakan ada yang menarik, sama sekali tidak bisa digerakkan. Aku bagai patung yang hanya bisa diam berdiri dan  hanya bisa mentapnya tampa bisa berbuat apa-apa. Betapa menyesalnya aku dengan perasaanku selama ini. Betapa bodohnya aku telah menghianati orang yang begitu mencintaiku. Dan betapa egoisnya aku dengan perasaan yang ku bagi dengan orang lain. Aku benar-benar menyesal. Aku berjanji pada diriku tidak akan melakukan kesalahan yang sama kembali.“Maafkan aku” bisikku kecil.
            “Lia...” panggilnya pelan
            Ah, ternyata dia masih disini. Aku bisa merasakan senyumannya. “Aku mencintaimu kak, tidak ada ruang lain di hatiku kecuali hanya untuk kakak”. Aku melangkah dengan ringan kearahnya kemudian duduk didekatnya. Sekilas aku bisa melihat anggukannya yang ringan.
            “Aku juga mencintaimu Lia. Sangat” ia tersenyum padaku.
            Ku sambut ungkapannya dengan rindu yang takkan pernah ada duanya lagi.
            Malam ini aku dan kak Maulana menghabiskan waktu dengan menatap lampu-lampu kendraan yang lalu lalang. Begini lebih indah, berdua dengannya. Esok ataupun lusa akan ku habiskan waktuku dengannya.