Aku
mendengus pelan. Ini kali kedua aku melihat sosok itu berdiri disana. Memang
dia tidak memandang ke arahku namun aku tau sebenarnya dia sudah lama menunggu
disana. Aku melangkah lunglai, meninggalkan sosok itu sendiri disana. Tidak,
ini bukanlah saat yang tepat untuk menemuinya. Biarlah, toh nanti akan ada saat
yang tepat aku memperlihatkan diriku padanya.
***
“Nadia, aku ingin
menemuimu di tempat biasa. Aku harap kau bisa memenuhi panggilanku, kali ini
aja.”
Dengan
sepenuh tenanga aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa pesan itu bukanlah
dari Tio, mantan pacarku yang meninggalkanku demi wanita lain. Tapi tidak, aku
tau persis setiap detail kalimat yang slalu Tio ajukan padaku hingga aku hapal
bagaimana setiap alurnya.
Ku
eratkan jaket beludru yang mulai kusam ketubuhku. Setidaknya jaket ini bisa
melindungi tubuhku yang mulai kedinginan. Ku pandangi langit yang mulai
menghitam disana, suara gemuruh mulai bersahutan dimana-mana. Aku tidak peduli,
rasanya pesan singkat Tio tadi pagi seolah menjadi kekuatanku untuk menemuinya.
Ku telusuri sepanjang jalan dengan hati tak menentu. Fikiranku jauh melayang
memikirkan bagaimana sosok Tio sekarang. Tiga tahun aku sudah tidak menemuinya
semenjak dia memutuskanku. Sungguh, bagaimanapun sikapnya waktu itu tapi sampai
detik ini aku tidak bisa memungkiri diriku kalau aku masih mencintainya. Aku masih
menyanyanginya meskipun aku tau bahwa kini dia telah memilih wanita yang lain.
tidak mengapa bagiku, biarpun perasaan ini ku simpan sendiri.
Langkahku
berhenti. Mataku menatap kearah sosok disana. Tio, laki-laki itu sudah banyak
berubah. Tubuhnya kini semakin tinggi, wajahnya juga semakin tampan dan pribadinya
yang berwibawa terlihat jelas dari matanya. Aku berusaha menahan jantungku yang
berdetak kencang. Aku tidak ingin hanya karna perasaan konyolku semuanya
menjadi kacau. Tidak, tidak ingin.
“Tio,”
seseorang wanita yang tidak jauh umurnya denganku mendekati Tio.
Aku
menghentikan langkahku. Bergeser ke dinding yang menutupi separuh tubuhku. Sepertinya
Tio dan wanita itu saling kenal.
“Rara?”
Tio agak sedikit kaget.
“Kenapa?
Kok kaget?” imbuh wanita tersebut.
Tio
dan wanita yang namanya Rara tersebut saling berbincang-bincang. Aku menjauhi
mereka. Rasanya tidak ingin menggangu mereka yang sedang asik dengan suasana
masing-masing. Disana, meskipun hanya memandang punggung Tio aku sudah merasa
cukup dengan perasaanku saat ini.
***
“Hampir lima jam
aku nungguin kamu semalam tapi kamu benar-benar gak datang. Aku hampir kecewa
Nad. Dan kali ini tolong jangan buat aku kecewa. Datanglah, aku benar-benar
merindukanmu.”
Tuhan.
Terlalu munafikkah aku jika ku katakan aku tidak merindukannya.? Terlalu munafikkah
aku jika ku katakan aku tidak mencintainya.? Terlalu munafikkah aku jika aku
belum bisa menggantikannya dengan siapapun.? Terlalu munafikkah aku Tuhan.? Sungguh,
biarkan kali ini aku memunafiki perasaanku untuk menemuinya.
Ku
telusuri jalanan sepi sendiri. Tidak peduli apa kata mereka yang
memperhatikanku disepanjang jalan. Tidak peduli dengan tatapan aneh mereka
disetiap langkah kakiku. Aku tidak peduli. Kali ini aku ingin menemui Tio yang
sudah lama ingin ku temui. Akan ku katakan padanya semua apa yang kurasakan. Akan
ku katakan padanya aku tidak bisa melupakannya. Akan ku katakan padanya kalau
aku sungguh ingin slalu berada disampingnya. Dan aku tidak akan pernah
melepasnya sampai kapanpun.
Disana,
masih di tempat yang sama. Tio, dengan paras yang masih sama duduk sembari
menatap keluar ruangan. Pandangannya tidak sedikitpun beralih pada orang lain.
aku lagi-lagi harus menahan degup jantungku. Berusaha menormalkan keadaan
dengan sebaik mungkin. Aku tidak ingin Tio tau apa yang sedang ku fikirkan saat
ini. Ku dekati Tio. Sosok itu mungkin belum sadar dengan kehadiranku yang
tiba-tiba.
“Yo,”
panggilku pelan.
Tio
sedikit kaget. Ia memperhatikanku seksama. Matanya sama sekali tidak beralih dariku.
“Kenapa?”
aku berusaha biasa-biasa saja.
“Kamu...
kamu sudah banyak berubah Nad. Kamu makin cantik,” ujar Tio menghadapku. Matanya
sedikit menyipit.
Aku
tertawa pelan. “Masih kaya dulu kok, kumel,” jawabku. “Coba aja dulu aku gak
kumel, kamu bakal gak putusin aku,” aku tertawa.
Wajah
Tio berubah. “Maafkan aku Nad, aku sama sekali gak bermaksud menyinggungmu
dengan masa lalu.” Tio seperti larut kemasa lalu.
“Gak
apa-apa. Itu kan dulu toh aku sekarang udah beda, seperti katamu, aku makin
cantik.” Aku berusaha tertawa meskipun sebenarnya perasaan sakit itu kembali
diam-diam menggerogoti hatiku.
Tio
tertawa. “Iya, kamu benar Nad.”
“Kenapa?
Kamu nyesel putus dari aku?” ledekku.
Tio
diam. Ia seperti memikirkan sesuatu.
“Udahlah
Yo, aku cuman canda kok. Gak usah difikirin,” gubrisku. Tidak perlu mengungkit
kisah masa lalu jika itu hanya membuatku semakin terluka.
Tio
meraih tanganku. “Nad, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu,” mata Tio
meredup.
Benarkah? Mungkinkah
Tio ingin memulai kembali hubungan yang baru denganku?
“Apa?”
tanyaku. Sentuhan hangat Tio seperti tidak ingin ku lepaskan. Aku juga ingin
mengatakan sesuatu padanya. Bukan sesuatu, banyak sangat banyak malah.
“Aku
minta maaf dengan apa yang udah pernah terjadi diantara kita Nad. Sungguh, aku
sangat menyesal dengan apa yang udah aku lakuin ke kamu,” Tio menggenggam erat
tanganku.
Seperti
sebuah magnet menelusuri aliran darahku. “Aku sudah lama memaafkanmu Yo. Sudahlah,
semuanya sudah terjadi tinggal bagaimana kita memperbaiki masing-masing aja,”
aku menarik tanganku. Tidak enak jika Tio masih memperlakukanku seperti baru
pertama kami berpacaran, meskipun sebenarnya aku menyukai hal tersebut tapi
harga diriku tidak boleh sama dimatanya.
Ku
lihat Tio meraih sesuatu dari dalam tasnya. “Aku...” Tio ragu-ragu mengatakan
sesuatu padaku.
“Aku
duluan,” tahanku. Yah, aku harus berani sekarang.
Tio
menatapku lekat.
“Aku...”
aku menahan napas panjang. “Aku...” ku hembuskan napas yang tadi dengan berat. “Sudahlah,
kamu aja yang duluan.”
“Hem...
“ Tio masih bingung. Akhirnya ia mengeluakan sesuatu kemudian mengulurkan
kehadapanku. “Minggu depan aku nikah. Aku harap kamu bisa datang,” Tio dengan
senyum sumringah memperlihatkan sederet giginya yang rapi.
Jantungku
berhenti berdegup. Mataku nanar. Mulutku bungkam. Aku bingung. Apa yang harus
ku katakan sekarang. Semuanya sudah terlambat. Semuanya sudah berakhir. Aku berusaha
menenangkan getaran aneh di hatiku. Semuanya terasa sempit sekali bahkan untuk
bernapas saja aku tidak bisa. Ku perhatikan undangan dihadapanku, nama Tio dan
Tania tertera disana. Inikah maksud Tio ingin menemuiku? Menyakitkan.
Ku
tahan sakit hatiku dengan menekan dadaku pelan. Aku tidak ingin Tio melihat air
mataku yang jatuh. Aku tidak ingin Tio melihatku rapuh karnanya. Aku tidak
ingin Tio melihatku lemah karnanya.
“Kamu
tadi mau bilang apa Nad,” Tio masih sempat menanyakan apa yang ingin ku katakan
tadi.
Aku
menggeleng pelan. Ku raih undangan tersebut. “A... aku cuman mau bilang. Aku ada
urusan mendadak,” bohongku. Aku beranjak dari tempat dudukku.
“Beneran?”
Aku mengangguk membelakangi Tio. “Selamat atas pernikahanmu Yo,” ucapku. Air mataku tumpah.