Senin, 14 Juli 2014

Dan Lagi



Aku mendengus pelan. Ini kali kedua aku melihat sosok itu berdiri disana. Memang dia tidak memandang ke arahku namun aku tau sebenarnya dia sudah lama menunggu disana. Aku melangkah lunglai, meninggalkan sosok itu sendiri disana. Tidak, ini bukanlah saat yang tepat untuk menemuinya. Biarlah, toh nanti akan ada saat yang tepat aku memperlihatkan diriku padanya.

***
“Nadia, aku ingin menemuimu di tempat biasa. Aku harap kau bisa memenuhi panggilanku, kali ini aja.”

Dengan sepenuh tenanga aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa pesan itu bukanlah dari Tio, mantan pacarku yang meninggalkanku demi wanita lain. Tapi tidak, aku tau persis setiap detail kalimat yang slalu Tio ajukan padaku hingga aku hapal bagaimana setiap alurnya.

Ku eratkan jaket beludru yang mulai kusam ketubuhku. Setidaknya jaket ini bisa melindungi tubuhku yang mulai kedinginan. Ku pandangi langit yang mulai menghitam disana, suara gemuruh mulai bersahutan dimana-mana. Aku tidak peduli, rasanya pesan singkat Tio tadi pagi seolah menjadi kekuatanku untuk menemuinya. Ku telusuri sepanjang jalan dengan hati tak menentu. Fikiranku jauh melayang memikirkan bagaimana sosok Tio sekarang. Tiga tahun aku sudah tidak menemuinya semenjak dia memutuskanku. Sungguh, bagaimanapun sikapnya waktu itu tapi sampai detik ini aku tidak bisa memungkiri diriku kalau aku masih mencintainya. Aku masih menyanyanginya meskipun aku tau bahwa kini dia telah memilih wanita yang lain. tidak mengapa bagiku, biarpun perasaan ini ku simpan sendiri.

Langkahku berhenti. Mataku menatap kearah sosok disana. Tio, laki-laki itu sudah banyak berubah. Tubuhnya kini semakin tinggi, wajahnya juga semakin tampan dan pribadinya yang berwibawa terlihat jelas dari matanya. Aku berusaha menahan jantungku yang berdetak kencang. Aku tidak ingin hanya karna perasaan konyolku semuanya menjadi kacau. Tidak, tidak ingin.

“Tio,” seseorang wanita yang tidak jauh umurnya denganku mendekati Tio.

Aku menghentikan langkahku. Bergeser ke dinding yang menutupi separuh tubuhku. Sepertinya Tio dan wanita itu saling kenal.

“Rara?” Tio agak sedikit kaget.

“Kenapa? Kok kaget?” imbuh wanita tersebut.

Tio dan wanita yang namanya Rara tersebut saling berbincang-bincang. Aku menjauhi mereka. Rasanya tidak ingin menggangu mereka yang sedang asik dengan suasana masing-masing. Disana, meskipun hanya memandang punggung Tio aku sudah merasa cukup dengan perasaanku saat ini.

***

“Hampir lima jam aku nungguin kamu semalam tapi kamu benar-benar gak datang. Aku hampir kecewa Nad. Dan kali ini tolong jangan buat aku kecewa. Datanglah, aku benar-benar merindukanmu.”

Tuhan. Terlalu munafikkah aku jika ku katakan aku tidak merindukannya.? Terlalu munafikkah aku jika ku katakan aku tidak mencintainya.? Terlalu munafikkah aku jika aku belum bisa menggantikannya dengan siapapun.? Terlalu munafikkah aku Tuhan.? Sungguh, biarkan kali ini aku memunafiki perasaanku untuk menemuinya.

Ku telusuri jalanan sepi sendiri. Tidak peduli apa kata mereka yang memperhatikanku disepanjang jalan. Tidak peduli dengan tatapan aneh mereka disetiap langkah kakiku. Aku tidak peduli. Kali ini aku ingin menemui Tio yang sudah lama ingin ku temui. Akan ku katakan padanya semua apa yang kurasakan. Akan ku katakan padanya aku tidak bisa melupakannya. Akan ku katakan padanya kalau aku sungguh ingin slalu berada disampingnya. Dan aku tidak akan pernah melepasnya sampai kapanpun.

Disana, masih di tempat yang sama. Tio, dengan paras yang masih sama duduk sembari menatap keluar ruangan. Pandangannya tidak sedikitpun beralih pada orang lain. aku lagi-lagi harus menahan degup jantungku. Berusaha menormalkan keadaan dengan sebaik mungkin. Aku tidak ingin Tio tau apa yang sedang ku fikirkan saat ini. Ku dekati Tio. Sosok itu mungkin belum sadar dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

“Yo,” panggilku pelan.

Tio sedikit kaget. Ia memperhatikanku seksama. Matanya sama sekali  tidak beralih dariku.

“Kenapa?” aku berusaha biasa-biasa saja.

“Kamu... kamu sudah banyak berubah Nad. Kamu makin cantik,” ujar Tio menghadapku. Matanya sedikit menyipit.

Aku tertawa pelan. “Masih kaya dulu kok, kumel,” jawabku. “Coba aja dulu aku gak kumel, kamu bakal gak putusin aku,” aku tertawa.

Wajah Tio berubah. “Maafkan aku Nad, aku sama sekali gak bermaksud menyinggungmu dengan masa lalu.” Tio seperti larut kemasa lalu.

“Gak apa-apa. Itu kan dulu toh aku sekarang udah beda, seperti katamu, aku makin cantik.” Aku berusaha tertawa meskipun sebenarnya perasaan sakit itu kembali diam-diam menggerogoti hatiku.  

Tio tertawa. “Iya, kamu benar Nad.”

“Kenapa? Kamu nyesel putus dari aku?” ledekku.

Tio diam. Ia seperti memikirkan sesuatu.

“Udahlah Yo, aku cuman canda kok. Gak usah difikirin,” gubrisku. Tidak perlu mengungkit kisah masa lalu jika itu hanya membuatku semakin terluka.

Tio meraih tanganku. “Nad, ada yang ingin aku sampaikan sama kamu,” mata Tio meredup.

Benarkah? Mungkinkah Tio ingin memulai kembali hubungan yang baru denganku?

“Apa?” tanyaku. Sentuhan hangat Tio seperti tidak ingin ku lepaskan. Aku juga ingin mengatakan sesuatu padanya. Bukan sesuatu, banyak sangat banyak malah.

“Aku minta maaf dengan apa yang udah pernah terjadi diantara kita Nad. Sungguh, aku sangat menyesal dengan apa yang udah aku lakuin ke kamu,” Tio menggenggam erat tanganku.

Seperti sebuah magnet menelusuri aliran darahku. “Aku sudah lama memaafkanmu Yo. Sudahlah, semuanya sudah terjadi tinggal bagaimana kita memperbaiki masing-masing aja,” aku menarik tanganku. Tidak enak jika Tio masih memperlakukanku seperti baru pertama kami berpacaran, meskipun sebenarnya aku menyukai hal tersebut tapi harga diriku tidak boleh sama dimatanya.

Ku lihat Tio meraih sesuatu dari dalam tasnya. “Aku...” Tio ragu-ragu mengatakan sesuatu padaku.

“Aku duluan,” tahanku. Yah, aku harus berani sekarang.

Tio menatapku lekat.

“Aku...” aku menahan napas panjang. “Aku...” ku hembuskan napas yang tadi dengan berat. “Sudahlah, kamu aja yang duluan.”

“Hem... “ Tio masih bingung. Akhirnya ia mengeluakan sesuatu kemudian mengulurkan kehadapanku. “Minggu depan aku nikah. Aku harap kamu bisa datang,” Tio dengan senyum sumringah memperlihatkan sederet giginya yang rapi.

Jantungku berhenti berdegup. Mataku nanar. Mulutku bungkam. Aku bingung. Apa yang harus ku katakan sekarang. Semuanya sudah terlambat. Semuanya sudah berakhir. Aku berusaha menenangkan getaran aneh di hatiku. Semuanya terasa sempit sekali bahkan untuk bernapas saja aku tidak bisa. Ku perhatikan undangan dihadapanku, nama Tio dan Tania tertera disana. Inikah maksud Tio ingin menemuiku? Menyakitkan.

Ku tahan sakit hatiku dengan menekan dadaku pelan. Aku tidak ingin Tio melihat air mataku yang jatuh. Aku tidak ingin Tio melihatku rapuh karnanya. Aku tidak ingin Tio melihatku lemah karnanya.

“Kamu tadi mau bilang apa Nad,” Tio masih sempat menanyakan apa yang ingin ku katakan tadi.

Aku menggeleng pelan. Ku raih undangan tersebut. “A... aku cuman mau bilang. Aku ada urusan mendadak,” bohongku. Aku beranjak dari tempat dudukku.

“Beneran?”

Aku mengangguk membelakangi Tio. “Selamat atas pernikahanmu Yo,” ucapku. Air mataku tumpah.




















Tidak ada komentar: