Jumat, 15 Agustus 2014

Tidak Seharusnya



Aku menarik napas dalam. Pandanganku nanar menatap kedepan. Ini bukan sebuah pemandangan yang aneh yang pertama ku lihat sendiri. Ini untuk kesekian kalinya. Aku mencoba untuk menyadarkan diriku sendiri. Siapa aku Yang berhak untuk memfonis dua insan yang sedang berduaan di sana sekarang? Apa aku harus mendatangi mereka dengan mengatakan sesuatu yang jika kata-kata ku nanti malah membuatku aneh di depan meareka.
            Aku menarik langkah kaki menjauh dari sana. Tapi tidak bisa, rasanya aku semakin tersiksa saja dengan keadaan mereka disana. Menyebalkan. Mengapa harus aku yang seperti ini? Toh, orang-orang disekitar mereka hanya acuh tak acuh. Ku beranikan diri mendekati pasangan itu. Aku berhenti sejenak lalu mendengus.
            “Tidak seharusnya kalian berduaan disini,” spontan saja aku berkomentar.
            Sepasang dihadapanku memandangiku.
            “Kalian tau, apa yang kalian lakukan itu tidak baik di lihat orang lain,” lanjutku. Lebih tepatnya membuatku risih.
            “Apa maksudmu?” wanita itu bertanya. Ia memperhatikanku aneh. Laki-laki disampingnya diam.
            “Aku tidak suka melihatnya, lebih tepatnya begitu,” jawabku.
            “Lah, masalah kami apa? Toh banyak juga yang lain disini?” wanita itu tidak terima.
            Aku tau itu. Memang banyak pasangan yang lain disana namun aku lebih tertarik untuk mendekati mereka.
            “Kalian tau, disini tempat umum. Lebih baik kalian bubaran saja, sikap kalian berduaan itu tidak pantas untuk dilihat yang lain. Terlebih lagi kamu, lihatlah dirimu.” Ku pandangi wanita itu lekat.
            Wanita itu juga melakukan hal yang sama. Ia menatap dirinya. Mungkin dia tau apa yang ku maksud.
            “Sudahlah. Kalau kamu masih tetap dengan pendirianmu aku tidak segan-segan menarikmu untuk keluar dari sini,” kali ini aku tegas. Aku semakin tidak enak hati dibuatnya.
            “Apa?” wanita itu tidak terima. “Kamu siapa? Kok seenaknya aja ngomong gitu?” wanita itu berdiri. “Mas, kamu kenapa diam aja?” wanita itu menatap laki-laki disisinya tadi.
            Ku lihat laki-laki itu tidak bergeming.
            “Mas, kamu kenapa diam aja?” wanita itu menarik lengan laki-laki tersebut. Ia memukul pundak laki-laki disampingnya dengan kesal. Tidak terima mengapa dia diam saja.
            “Maaf Nai, dia kakakku. Jadi aku gak bisa membela kamu karna apa yang dikatakan kakak aku tadi benar. Kita tidak seharusnya berduaan di tempat umum seperti ini. Apa lagi dengan pakaianmu yang terbuka begitu. Kakakku pasti lebih tidak terima.” Laki-laki itu berkomentar.
Wanita yang namanya Nai itu melotot tidak percaya. “A... a... apa?” Nai tercekat. Ia tidak tau harus berkomentar apa lagi.
Plaakkk!
Tamparan kecil mendarat di pipi kiri Rei. Adek bungsuku yang baru ku dapati sedang berduaan dengan wanita yang namanya Nai. Nai beranjak meninggalkanku dan Rei tanpa sepatah katapun. Aku medekati Rei memperhatikan pipinya yang agak memerah. Aku tau dia merasa sakit.
“Gimana? Enakkan?” tanyaku. Aku memperhatikan Rei seksama. Ia mengelus-ngelus pipinya yang sakit.
“Lumayan,” jawabnya pelan.
“Enakan di tampar apa di jeburin ke kobaran api?” tanyaku hati-hati. Aku tidak ingin Rei, adek bungsuku itu tersindir dengan kata-kataku.
“Mungkin dua-duanya kak,” ia menatapku. “Tapi dijeburin kedalam api itu lebih menyakitkan dan menyiksa.” Ia memperhatikanku.
“Kakak sudah sering menasehatimu Rei, kalau kamu mau kenalan dengan wanita bukan begini caranya. Nanti, kakak bakal kasih tau kamu cara yang tepat,” ujarku.
“Tapi...” ia masih bisa mengelak.
“Kenapa?”
“Sudahlah kak, gak ada manfaatnya kalau berdebat dengan kakak sekarang.” Rei pasti sudah tau apa kata-kata terakhir yang akan aku ucapkan padanya.
Kuliah yang baik dulu, sholatnya diperbaiki dan banyak baca buku yang bermanfaat. Toh, kalau mau kenal sama wanita jangan sekarang. Nanti akan ada saat yang tepat. Ingat, wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Jadi berusahalah untuk menjadi yang baik agar dapat yang baik.
Aku memperhatikan Rei seksama. Adek bungsuku yang menjadi harapan besar dalam keluargaku tadi tidak sengaja ku temui di pusat perbelanjaan di kota besar ini. Aku yang sendiri ingin membeli buku persiapan skripsi mendapatinya sedang berduaan duduk berhadap dengan seorang wanita disebuah cafe tepat dihadapanku. Dengan perasaan berkecambuk aku akhirnya mendekatinya dengan pandangan tidak suka. Aku tau Rei tadi ketakutan sehingga dia lebih banyak diam. Sedangkan wanita yang namanya Nai itu mungkin tidak tau kalau aku adalah kakak Rei.
“Kamu pasti laper, kak pesanin makanan yah?” tawarku.
Rei menggeleng. “Maaf yah kak, aku udah bikin kakak marah,” Rei menatapku.
Aku tersenyum.

  


Tidak ada komentar: