Rabu, 08 Oktober 2014

PENANTIAN


  
Mataku belum beralih dari danau di hadapanku. Suara gemirisik ombak kecil disana membuatku semakin tidak ingin berpaling sedikitpun. Ku lihat beberapa anak kecil memainkan air sambil tertawa riang. Mereka seperti tidak ada beban. Ah, aku ingin sekali merasakan hal yang sama. Membuang semua beban dalam fikiranku yang telah lama ku pendam. Merasakan kebahagian layaknya anak kecil disana. Tapi sepertinya tidak mungkin. Ini sulit terjadi.
            “Aku masih mencintaimu,” ujarku. Aku tidak berani memandang laki-laki disampingku. Aku takut melihatnya bahkan terlalu takut mendengar jawaban darinya.
            Laki-laki disampingku menarik napas. Mungkin dia memikirkan sesuatu.
            “Aku tau apa yang kamu fikirkan tentangku, Sam,” lanjutku. Kali ini ku perhatikan sosok Sam dengan segenap keberanianku. Tiga tahun tidak bertemu dengannya tapi tidak ada sedikitpun yang berubah. Matanya, hidungnya, bibirnya dan senyumnya masih tetap sama. Ah, aku semakin tidak bisa melupakannya.
            “Aku tau apa yang kamu rasakan, Sep,” ujarnya. Ia memandangku kemudian tersenyum. “Tapi aku tidak pantas untukmu.”
            Tidak pantas untukku?
            Kata-kata itu kembali memenuhi otakku. Ucapannya kembali mengorek luka lama. Tidakkah dia tau bagaimana sakitnya hatiku saat dia memutuskanku? Meninggalkanku tanpa alasan pasti.
            “Dulu, kamu juga pernah mengatakan hal yang sama, Sam. Tidakkah kamu tau bagaimana sakitnya hatiku.? Aku sudah memendamnya selama tiga tahun lamanya. Rasanya sakit sekali,” ku jauhkan wajahku darinya. Air mataku mulai jatuh, aku menangis.
              “Aku minta maaf, Sep. Maafkan atas kesalahanku.” Ia mencoba meraih tanganku.
            “Sudahlah, aku tidak akan memaksamu. Jika kau tidak mencintaiku ya harus bagaimana? Aku tidak mungkin memaksamu.” Ku jauhkan tanganku darinya. Aku tidak ingin luka itu semakin dalam.
            “Maafkan aku, Sep,” ia menarik wajahku mendekatinya.
            Awalnya aku menolak tapi lama-lama kelamaan aku membiarkannya.
            “Sebenarnya apa yang membuatmu mencintaiku? Lihatlah, masih banyak laki-laki disana yang mencintaimu melebihi cintamu padaku,” Sam mencari-cari jawaban disela-sela mataku. Tentu, aku juga tau itu.
            “Aku tidak memiliki alasan untuk mencintaimu, Sam. Yang aku tau aku hanya mencintaimu seorang bahkan sampai saat ini,” jawabku. Ku tarik wajahku darinya. Aku tidak ingin semakin tenggelam ke dalam mata itu. Rasanya sakit sekali.
            “Aku... “ Sam mengalihkan pandangannya ke danau di sana. Ia menutup matanya berlahan. Ada yang ingin di ucapkannya.
            “Papa...” ku lihat seorang anak kecil berumur dua tahun berdiri di hadapan kami. “Nana, mau makan pa,” pintanya. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang kekanan-kekiri.
            “Tunggu sebentar ya, sayang,” tiba-tiba seorang wanita yang tidak jauh umurnya denganku menarik lengan kecil itu.
            Aku menelan ludah. Rasanya getir sekali. Ku perhatikan mereka satu persatu. Ada apa ini?
            “Kita kapan pulang, mas?” wanita itu menatap kearah kami.
            Mas?  
            Degup jantungku semakin tidak karuan. Mungkinkah?
            “Tunggu sebentar ya,” jawabnya. Sam menatapku lalu tersenyum. “Kenalkan Sep, ini Naila, istri aku. Dan... ini Nana, malaikat kecil kami,” Sam menarik Nana kepelukannya.
            Ku lihat Naila tersenyum. Senyum itu seolah mengejekku. Aku benar-benar tidak tahan. Aku ingin beranjak pergi dari sini secepatnya.
            “Apa maksudmu?” kepalaku tidak bisa di ajak kompromi lagi. Aku benar-benar pusing, ingin muntah.
            “Maaf Sep, tadi aku lupa bilang sama kamu kalau aku sengaja mengajak kamu ke sini sekalian untuk mengenalkan istri dan anakku.” Sam meraih tangan Naila untuk mendekatinya.
            Aku benci senyum itu. Senyum yang menyakitkan. “Oya?” jawabku. Rasanya aku ingin meninju Sam saat ini juga. “Kamu pasti bahagia, Sam,” ku alihkan pandanganku pada Naila.
            Naila tersenyum.
            “Selamat ya, Sam,” mau tak mau aku mengukir senyum palsu. Ku jauhkan pandanganku ke danau disana. Danau itu seakan mengejekku dengan apa yang sedang ku rasakan. Ah, tidak... biarkan saja dia meremehkanku. Toh, dia juga tidak akan bisa mengubah kecewaku saat ini.
            Setega itukah kau padaku, Sam?
            Dadaku sesak.
           
           


            

Tidak ada komentar: