Di
sana, jauh di dalam gumpalan awan yang memutih. Jauh dari warna pelangi dan
jauh dari sederetan guyuran hujan. Terekam namamu yang mengelilingi fikiranku.
Berputar-putar dalam benakku. Serta memanggil-manggil namaku. Kamu... ya, kamu
yang slalu membentak dalam sanubariku. Melebihi derasnya anomali air yang slalu
setia pada panasnya mentari. Tidak... kamu malah melebihinya. Bahkan melebihi
indahnya purnama ketika malam menyunggingkan senyumnya. Menoreh bingkisan putih
tepat di hadapanku. Dan tanpa sadar aku menulis namamu di dinding kaca tepat
dihadapanku. Sebuah nama yang berhasil membolak-balikkan hatiku. Sebuah nama
yang berhasil menjatuhkan butiran-butiran rindu di penghujung malamku. Sebuah
nama yang aku sendiri tanpa sadar slalu menyebutnya.
Dia...
Indahnya
melebihi lintasan pelangi setiap hujan. Hujan yang mengguyurkan perasaan yang
tenang dan tentram setiap saatnya. Ah... tak perlu kukatakan lagi tentang dia,
tentang dia yang nanti kau, kalian bahkan aku sendiri tak bisa membayangkannya.
Hanya saja aku bisa merasakan sosoknya yang benar-benar ada dan nyata tepat
dihadapanku. Melengkungkan senyumnya yang merona melebihi lukisan kanvas di
senja yang tak berwarna.
Aku
merindukannya...
Ah,
aku terlalu merindukan sosoknya yang di sana. Terlalu merindukan sosoknya yang
menjadi pelabuhan kehampaanku. Aku terlalu menrindukannya...
Merindukannya dengan sosok kesederhanaannya.
Jakarta, 18 Nov’14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar