Namanya Candra, sosok laki-laki bagai pahlawan yang
datang menghampiri. Menghiasi hidupku yang kelam tak berwarna. Dia memberi
warna indah layaknya senja yang tak ingin terpisahkan dari tepi pantai.
Laki-laki yang biasa namun penuh dengan guratan aksara.
Aku
mengenal Candra hampir tiga tahun lamanya. Senyumnya yang merekah membuatku
slalu memikirnya. Tawanya yang manja membuatku tak bisa berpaling darinya. Jujur,
diam-diam aku menyukai Candra. Diam-diam aku juga memperhatikan tingkah lakunya
setiap kali bersamaku. Dapat kulihat dari matanya yang teduh sepertinya dia
juga menyukaiku. Entahlah, jika ini hanya perasaanku saja aku tak peduli. Yang
kutau Candra slalu ada setiap kali aku membutuhkannya.
Candra
yang periang dan humoris membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Bergetar
layaknya genderang mau perang. Bergejolak bagai air terjun yang menetes
mengenai bebatuan dibawahnya. Jika ada yang mendefinisikan sebuah kalimat
‘cinta itu buta’ maka aku adalah seorang yang buta karna cinta. Aku telah buta
melihat laki-laki selain hanya Candra. Ya, hanya Candra yang menggelayut
disetiap langkahnku.
*
“Aku menyukai Candra, Na,” ujarku pada Luna.
Entah karna apa aku berani membuka perasaanku yang sengaja kututupi dari Luna—
sahabat karibku.
“Oh
ya?” jawab Luna datar.
“Kok
kamu jawabnya ‘Oh ya’ doang si Lun,” kesalku. Aku pura-pura mayun.
“Kamu
aneh,” jawab Luna datar.
Aneh?
Apa yang aneh dengan perasaanku. Bukankah wajar kalau aku menyukai Candra.
Sosok laki-laki yang baik hati dan perhatian. “Aneh kenapa Lun?” aku masih
penasaran dengan ucapannya.
Luna
menyentuh kedua bahuku. Dia memperhatikanku. “Dengar ya Mey, sampai kapanpun aku tidak akan
pernah setuju kalau kamu pacaran dengan Candra,” tegas Luna membuat mataku
melotot kearahnya.
“Loh,
kenapa?” keningku berkerut. Aku tidak terima Luna berbicara seperti itu padaku.
“Ya..
aku gak setuju aja.”
“Setidaknya
kamu punya alasan kenapa kamu gak setuju?” aku benar-benar bingung dibuatnya.
“Candra
itu sahabat kamu Mey. Dan kalian sudah seperti saudara sendiri. Apa kamu tidak
pernah berfikir jika suatu saat nanti kalian putus kalian gak bakal bisa jadi
teman layaknya sekarang.” Luna menangkupkan tangannya ke dagu. Ia
memperhatikanku dengn teramat sangat. “Teman jadi pacar itu mudah Mey, tapi
yang namanya pacar jadi teman itu gak bakal bisa. Sulit banget!”
Benarkah?
Untuk
beberapa menit aku diam mempertimbangkan ucapan Luna.
*
Setelah
percakapanku dengan Luna beberapa hari lalu aku memutuskan untuk tidak bertemu
dengan Candra. Aku ingin menenangkan perasaanku terlebih dulu. Aku takut jika
nanti menememuinya perasaanku semakin tumbuh padanya. Untuk itu aku memutuskan
tidak akan menemuinya sampai hatiku kembali dalam keadaan tenang.
Satu
hari, dua hari, tiga hari aku masih bisa menahan rinduku padanya. Aku masih
bisa tidak menemuinya. Namun setelah seminggu kemudian aku merasakan seperti
ada yang hilang dari diriku. Tidak mendengar canda dan tawa Candra sehari saja rasanya
hidupku terasa hambar. Ah, aku benar-benar tidak bisa kehilangan dirinya.
Setelah seharian bertempur dengan fikiranku
aku memutuskan untuk menemui Candra di kantin kampus seusai mata kuliah. Akan
kutanyakan padanya tentang sesuatu yang mengendap di hatiku.
“Ada
yang ingin kutanyakan padamu Candra,” ujarku menatap Candra yang sedang menyeruput
teh manis di tangannya.
“Kita sudah lama saling mengenal Mey. Mau
nanya doang kenapa harus minta izin segala,” jawab Candra diselingi candaan.
“Aku
tidak sedang bercanda, Candra,” kali ini kupasang wajah seserius mungkin. “Ada
hal penting yang ingin kutanyakan padamu.”
“Oke!
Tanya saja,” Candra menggeser gelas ditangannya.
Aku
menarik napas pelan. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu sebuah pengungkapan.
Jika Candra tidak berani mengatakan isi hatinya maka aku yang akan menanyakan
secara langsung padanya. “Apa kamu menyukaiku?” ujarku. Kukuras semua
keberanianku untuk mengungkapkan apa yang kurasakan selama ini.
Candra
melotot. Mungkin dia belum percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan.
“Kenapa?
Apa aku harus mengulanginya sekali lagi?” tanyaku.
Candra masih tetap diam.
“Baiklah,
akan kuulangi sekali lagi. Apa kamu menyukaiku Candra?” ulangku. Aku berharap
penjelasanku kali ini Candra tau apa maksudku.
“A..
aku!” jawab Candra terbata.
“Kenapa?”
tanyaku penasaran.
Candra
tiba-tiba meraih tanganku. “Dengar Mey, aku memang menyayangimu tapi tidak mencintaimu.”
Candra berhenti sebentar. Ia memperhatikanku sangat dalam. “Aku mencintai
wanita lain, Mey.”
“Kamu...
kamu mencintai wanita lain?” mataku terasa perih sekali. Jantungku berdetak
tidak karuan.
Candra
mengangguk.
“Jadi...
selama ini?” aku benar-benar tidak sanggup melanjutkan kalimatku. Rasanya sakit
sekali jika harus mendengar penjelasan darinya. Bukankah selama ini Candra
slalu memberikan perhatian yang lebih padaku? Bukankah Candra slalu menjadikanku
wanita nomor satu dimanapun? Candra tidak pernah membicarakan wanita lain saat
bersamaku. Dan sekarang? Saat kuucapkan cinta padanya dia malah mengatakan ada
wanita lain yang dia cintai. Benar-benar menyakitkan.
“Selama
ini aku hanya menganggapmu sebatas teman saja, Mey. Aku menganggapmu seperti
saudara sendiri.”
Kutarik
tanganku dari genggamannya. Jadi? Oh
God, sakitnya tuh disini...! Kutekan
dadaku yang terasa perih.
“Siapa
wanita yang berhasil menaklukan hatimu, Can?” tanyaku. Aku tau aku akan semakin
terluka dengan pertanyaanku.
Candra
berfikir untuk beberapa detik lalu kemudian tersenyum. “Aku mencintai, Luna.”
Apa?
Luna? Ah, aku pasti salah mendengar. “Luna?” ulangku. “Luna siapa maksudmu,
Can?”
“Luna
sahabat kamu, Mey. Aku menyukainya saat kamu mengenalkanku padanya. Dan
semenjak itu aku mulai mencintainya.”
Candra mencintai Luna? Luna sahabatku? Sahabat
yang kuanggap seperti saudara sendiri. Tidak... tidak mungkin. Candra pasti
sedang bercanda.
“Kamu
pasti bercanda, Candra?” tanyaku. Aku berusaha menahan bendungan air mataku
yang mulai jatuh. Aku tidak boleh menangis hanya karna masalah cinta.
“Aku
tidak bercanda, Mey. Aku serius.”
“Oke,
baiklah!” jawabku. Aku berdiri ingin meninggalkan Candra sendiri.
“Maafkan
aku, Mey.” Candra berusaha menenangkanku. Dia pasti tau apa yang sedang
berkecambuk dihatiku. “Tolong, jangan pergi Mey, dengarkan penjelasanku dulu.”
Aku
kembali duduk. Sebaiknya aku mendengarkan penjelasan dari Candra. Toh,
menghindar bukanlah solusi yang tepat.
“Kamu
marah padaku, Mey?” tanya Candra setelah beberapa menit aku diam.
Aku menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Candra.
Yang jelas aku sudah jujur padamu tentang perasaanku.” Aku tersenyum kemudian
memalingkan wajahku darinya. Bagaimanapun aku harus tegar dihadapannya. Aku
tidak ingin terlihat lemah. Tiba-tiba perkataan Luna terngiang-ngiang di
telingaku. Luna melarangku untuk mencintai sahabat sendiri dan kuakui dia benar.
Aku terluka dengan perjalan cintaku yang belum di mulai namun yang lebih
menyakitkan Candra mencintai Luna. Mereka berdua adalah sahabat terbaikku yang
slalu ada untukku.
“Mey...”
Candra memanggil namaku.
Kutatap
Candra. Dia tersenyum namun senyum itu bukanlah senyum yang sama layaknya dulu.
“Apa Luna tau perasaanmu?” tanyaku penasaran.
Candra
mengangguk. “Kami sudah jadian, Mey. Seminggu yang lalu.”
Seminggu
yang lalu? Itu artinya Luna jadian dengan Candra setelah beberapa hari
kukatakan pada Luna kalau aku menyukai Candra. Setega itukah kamu padaku, Luna?
Kamu pura-pura baik padaku dengan mengatakan kalau kamu tidak setuju jika aku
jadian dengan Candra namun nyatanya kamu mengkhianatiku. Kamu jahat, kamu
benar-benar bukan sahabat melainkan musuh dalam selimut.
“Aku
yakin suatu hari nanti akan ada laki-laki yang baik hati datang padamu, Mey.”
Entahlah...
sepertinya aku akan mengunci hatiku untuk sementara waktu.
*Cerpenku yang harusnya sudah dikirim eh malah salah alamat :(
Mungkin belum rezeki :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar