Senin, 10 November 2014

KAMU JAHAT, SAKITNYA TUH DISINI...!



            Namanya Candra, sosok laki-laki bagai pahlawan yang datang menghampiri. Menghiasi hidupku yang kelam tak berwarna. Dia memberi warna indah layaknya senja yang tak ingin terpisahkan dari tepi pantai. Laki-laki yang biasa namun penuh dengan guratan aksara.
Aku mengenal Candra hampir tiga tahun lamanya. Senyumnya yang merekah membuatku slalu memikirnya. Tawanya yang manja membuatku tak bisa berpaling darinya. Jujur, diam-diam aku menyukai Candra. Diam-diam aku juga memperhatikan tingkah lakunya setiap kali bersamaku. Dapat kulihat dari matanya yang teduh sepertinya dia juga menyukaiku. Entahlah, jika ini hanya perasaanku saja aku tak peduli. Yang kutau Candra slalu ada setiap kali aku membutuhkannya.
Candra yang periang dan humoris membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Bergetar layaknya genderang mau perang. Bergejolak bagai air terjun yang menetes mengenai bebatuan dibawahnya. Jika ada yang mendefinisikan sebuah kalimat ‘cinta itu buta’ maka aku adalah seorang yang buta karna cinta. Aku telah buta melihat laki-laki selain hanya Candra. Ya, hanya Candra yang menggelayut disetiap langkahnku.
*
 “Aku menyukai Candra, Na,” ujarku pada Luna. Entah karna apa aku berani membuka perasaanku yang sengaja kututupi dari Luna— sahabat karibku.
“Oh ya?” jawab Luna datar.
“Kok kamu jawabnya ‘Oh ya’ doang si Lun,” kesalku. Aku pura-pura mayun.
“Kamu aneh,” jawab Luna datar.
Aneh? Apa yang aneh dengan perasaanku. Bukankah wajar kalau aku menyukai Candra. Sosok laki-laki yang baik hati dan perhatian. “Aneh kenapa Lun?” aku masih penasaran dengan ucapannya.
Luna menyentuh kedua bahuku. Dia memperhatikanku.  “Dengar ya Mey, sampai kapanpun aku tidak akan pernah setuju kalau kamu pacaran dengan Candra,” tegas Luna membuat mataku melotot kearahnya.
“Loh, kenapa?” keningku berkerut. Aku tidak terima Luna berbicara seperti itu padaku.
“Ya.. aku gak setuju aja.”
“Setidaknya kamu punya alasan kenapa kamu gak setuju?” aku benar-benar bingung dibuatnya.
“Candra itu sahabat kamu Mey. Dan kalian sudah seperti saudara sendiri. Apa kamu tidak pernah berfikir jika suatu saat nanti kalian putus kalian gak bakal bisa jadi teman layaknya sekarang.” Luna menangkupkan tangannya ke dagu. Ia memperhatikanku dengn teramat sangat. “Teman jadi pacar itu mudah Mey, tapi yang namanya pacar jadi teman itu gak bakal bisa. Sulit banget!”
Benarkah?
Untuk beberapa menit aku diam mempertimbangkan ucapan Luna.
*
Setelah percakapanku dengan Luna beberapa hari lalu aku memutuskan untuk tidak bertemu dengan Candra. Aku ingin menenangkan perasaanku terlebih dulu. Aku takut jika nanti menememuinya perasaanku semakin tumbuh padanya. Untuk itu aku memutuskan tidak akan menemuinya sampai hatiku kembali dalam keadaan tenang.
Satu hari, dua hari, tiga hari aku masih bisa menahan rinduku padanya. Aku masih bisa tidak menemuinya. Namun setelah seminggu kemudian aku merasakan seperti ada yang hilang dari diriku. Tidak mendengar canda dan tawa Candra sehari saja rasanya hidupku terasa hambar. Ah, aku benar-benar tidak bisa kehilangan dirinya.
 Setelah seharian bertempur dengan fikiranku aku memutuskan untuk menemui Candra di kantin kampus seusai mata kuliah. Akan kutanyakan padanya tentang sesuatu yang mengendap di hatiku.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu Candra,” ujarku menatap Candra yang sedang menyeruput teh manis di tangannya.
 “Kita sudah lama saling mengenal Mey. Mau nanya doang kenapa harus minta izin segala,” jawab Candra diselingi candaan.
“Aku tidak sedang bercanda, Candra,” kali ini kupasang wajah seserius mungkin. “Ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu.”
“Oke! Tanya saja,” Candra menggeser gelas ditangannya.
Aku menarik napas pelan. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu sebuah pengungkapan. Jika Candra tidak berani mengatakan isi hatinya maka aku yang akan menanyakan secara langsung padanya. “Apa kamu menyukaiku?” ujarku. Kukuras semua keberanianku untuk mengungkapkan apa yang kurasakan selama ini.
Candra melotot. Mungkin dia belum percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan.
“Kenapa? Apa aku harus mengulanginya sekali lagi?” tanyaku.
 Candra masih tetap diam.
“Baiklah, akan kuulangi sekali lagi. Apa kamu menyukaiku Candra?” ulangku. Aku berharap penjelasanku kali ini Candra tau apa maksudku.
“A.. aku!” jawab Candra terbata.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
Candra tiba-tiba meraih tanganku. “Dengar Mey, aku memang menyayangimu tapi tidak mencintaimu.” Candra berhenti sebentar. Ia memperhatikanku sangat dalam. “Aku mencintai wanita lain, Mey.”
“Kamu... kamu mencintai wanita lain?” mataku terasa perih sekali. Jantungku berdetak tidak karuan.
Candra mengangguk.
“Jadi... selama ini?” aku benar-benar tidak sanggup melanjutkan kalimatku. Rasanya sakit sekali jika harus mendengar penjelasan darinya. Bukankah selama ini Candra slalu memberikan perhatian yang lebih padaku? Bukankah Candra slalu menjadikanku wanita nomor satu dimanapun? Candra tidak pernah membicarakan wanita lain saat bersamaku. Dan sekarang? Saat kuucapkan cinta padanya dia malah mengatakan ada wanita lain yang dia cintai. Benar-benar menyakitkan.
“Selama ini aku hanya menganggapmu sebatas teman saja, Mey. Aku menganggapmu seperti saudara sendiri.”
Kutarik tanganku dari genggamannya. Jadi? Oh God,  sakitnya tuh disini...! Kutekan dadaku yang terasa perih.
“Siapa wanita yang berhasil menaklukan hatimu, Can?” tanyaku. Aku tau aku akan semakin terluka dengan pertanyaanku.
Candra berfikir untuk beberapa detik lalu kemudian tersenyum. “Aku mencintai, Luna.”
Apa? Luna? Ah, aku pasti salah mendengar. “Luna?” ulangku. “Luna siapa maksudmu, Can?”
“Luna sahabat kamu, Mey. Aku menyukainya saat kamu mengenalkanku padanya. Dan semenjak itu aku mulai mencintainya.”
 Candra mencintai Luna? Luna sahabatku? Sahabat yang kuanggap seperti saudara sendiri. Tidak... tidak mungkin. Candra pasti sedang bercanda.
“Kamu pasti bercanda, Candra?” tanyaku. Aku berusaha menahan bendungan air mataku yang mulai jatuh. Aku tidak boleh menangis hanya karna masalah cinta.
“Aku tidak bercanda, Mey. Aku serius.”
“Oke, baiklah!” jawabku. Aku berdiri ingin meninggalkan Candra sendiri.
“Maafkan aku, Mey.” Candra berusaha menenangkanku. Dia pasti tau apa yang sedang berkecambuk dihatiku. “Tolong, jangan pergi Mey, dengarkan penjelasanku dulu.”
Aku kembali duduk. Sebaiknya aku mendengarkan penjelasan dari Candra. Toh, menghindar bukanlah solusi yang tepat.
“Kamu marah padaku, Mey?” tanya Candra setelah beberapa menit aku diam.
 Aku menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Candra. Yang jelas aku sudah jujur padamu tentang perasaanku.” Aku tersenyum kemudian memalingkan wajahku darinya. Bagaimanapun aku harus tegar dihadapannya. Aku tidak ingin terlihat lemah. Tiba-tiba perkataan Luna terngiang-ngiang di telingaku. Luna melarangku untuk mencintai sahabat sendiri dan kuakui dia benar. Aku terluka dengan perjalan cintaku yang belum di mulai namun yang lebih menyakitkan Candra mencintai Luna. Mereka berdua adalah sahabat terbaikku yang slalu ada untukku.
“Mey...” Candra memanggil namaku.
Kutatap Candra. Dia tersenyum namun senyum itu bukanlah senyum yang sama layaknya dulu. “Apa Luna tau perasaanmu?” tanyaku penasaran.
Candra mengangguk. “Kami sudah jadian, Mey. Seminggu yang lalu.”
Seminggu yang lalu? Itu artinya Luna jadian dengan Candra setelah beberapa hari kukatakan pada Luna kalau aku menyukai Candra. Setega itukah kamu padaku, Luna? Kamu pura-pura baik padaku dengan mengatakan kalau kamu tidak setuju jika aku jadian dengan Candra namun nyatanya kamu mengkhianatiku. Kamu jahat, kamu benar-benar bukan sahabat melainkan musuh dalam selimut.
“Aku yakin suatu hari nanti akan ada laki-laki yang baik hati datang padamu, Mey.”
Entahlah... sepertinya aku akan mengunci hatiku untuk sementara waktu.





*Cerpenku yang harusnya sudah dikirim eh malah salah alamat :( 
Mungkin belum rezeki :)



Tidak ada komentar: