Selasa, 04 November 2014

Kutinggalkan dia karna Dia



Laki-laki itu datang layaknya semilir angin yang berhembus lalu menghangatkan jiwaku yang kelu. Laki-laki itu datang layaknya pelangi yang mewarnai hidupku yang abu. Laki-laki itu datang layaknya pecandu yang membuatku semakin rindu. Laki-laki yang istimewa bahkan lebih dari segalanya. Laki-laki yang slalu memberikanku senyum saat terluka. Laki-laki yang membuatku tertawa ketika sedang gundah. Laki-laki  istimewa yang membuatku semakin bangga mengenalnya. Laki-laki yang tampil apa adanya yang slalu ada kapanpun dan dimanapun aku berada. Laki-laki yang tabah dan penuh semangat. Laki-laki dengan kesederhanaannya. Laki-laki yang mencintaiku apa adanya. Namun, laki-laki istimewa itu semakin lama semakin tidak terlihat istimewa. Laki-laki itu semakin terlihat biasa saja. Kau tau mengapa? Karna aku menemukan pencuri hatiku yang sesungguhnya. Bukan laki-laki itu melainkan Dia. Dia yang telah mencurinya hingga aku memutuskan untuk meninggalkan cintainya dengan segenap kemampuanku.
*
            Masih ku ingat awal perkenalam kita dulu. Dengan kedua bola matamu yang sipit serta tawamu yang terdengar melengking aku sempat berfikir bahwa kamu adalah laki-laki yang berbeda.  Yah, berbeda dalam segala hal. Dan malam itu, dengan berbagai rayuan kau mengajakku menikmati bintang di taman. Akupun mengikuti pintamu.  
“Uhibbuki...” ujarmu padaku malam itu. Setangkai mawar merah kau ulurkan tepat berada dihadapanku.
Antara yakin dan ragu dengan pendengaranku, kuperhatikan wajahmu yang malu-malu. Rona merah di pipimu membuatmu terlihat lucu.
“Kamu tidak suka mawar?” tanyamu membuyarkan lamunanku.
Ku perhatikan wajahmu dengan teramat sangat. “Aku mau mendengar ucapanmu sekali lagi,” pintaku tanpa memperdulikan padanganmu. Ku lihat kau menunduk. “Aku mau mendengar sekali lagi,” ulangku.
“U... U... uhibbuki,” dengan terbata kau mengeja perkataanmu. Ah, begitu lugunya dirimu malam itu.
“Sejak kapan kamu menyukaiku?” tanyaku. Sebagai wanita tentu saja aku penasaran mengapa dia mencintaiku, kenapa dia memilihku.
“Aku tidak memiliki alasan yang tepat untuk menjawabnya. Yang ku tau, aku menyukaimu dan mencintaimu.” Matamu menerobosku. Mengikat sebuah aksara yang melengkung didalamnya. Lalu, aksara itu berubah menjadi butiran-butiran bewarna jingga yang hanya aku saja bisa memilikinya.
Malam itu, aku menerimamu dengan senyum manis yang terus menghiasi bibirmu.
*
Setahun lamanya aku menjalani hubungan denganmu. Suka dan duka slalu kita hadapi bersama. Kau slalu mengisi ruang hatiku yang kosong. Memberikan semangat ketika aku mulai terjatuh. Mengajakku mengitari samudra luas meski hanya lewat imajinasiku. Kau laki-laki yang slalu ada disampingku kapanpun. Kau hadir dengan segala kesederhanaanmu.
Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Pancaran dari wajahmu membuatmu tidak seperti dulu lagi. Kau asing bahkan terasa sangat asing. Ada yang berbeda darimu. Ada yang lain darimu. Ada sesuatu yang membuatmu begitu aneh dimataku. Entahlah, aku hanya merasakannya.
“Kamu terlihat aneh belakangan ini. Apa ada yang salah denganku?” tanyamu padaku. Seperti malam biasanya, kau slalu datang ke rumahku untuk mengobrol. Menghabiskan beberapa jam hanya untuk memberikan lelucon.
Aku menggeleng pelan. “Tidak ada yang aneh,” jawabku. Aku berbohong. Kenapa perasaan ini terasa hambar?
“Wajahmu berbeda dari biasanya. Apa kamu sakit?” kau mendekatiku.
“Sebaiknya kamu duduk disana saja,” aku menggeser dudukku.
“Kenapa?” tanyamu heran.
Aku tidak menjawab tanyamu.
“Bailkah,” kau mengalah dan kembali ke tempat dudukmu.
“Ada yang ingin ku katakan padamu,” aku menarik napas pelan. Kualihkan pandanganku pada minuman di hadapanku. Aku terlalu takut dengan matamu yang mencari-cari jejak kebenaran disana. “Aku... aku...” rasanya tidak sanggup lagi untuk melanjutkan ucapanku.
“Katakanlah, apa yang sebenarnya terjadi. Barangkali semua akan menjadi lebih baik kalau kamu jujur,” ujarmu padaku seakan semuanya akan menjadi lebih baik jika aku jujur.
Dosa apa yang kau lakukan hingga aku  menginginkan hal yang tak mungkin kau inginkan? Tapi aku tidak bisa memunafiki hatiku. Setiap kali aku menatapmu lautan api itu terpanjang disana. Seakan menarikku dan melahapku dalam semenit saja. Aku benar-benar takut. Aku ingin berlari dan bersembunyi agar semuanya baik-baik saja seperti sebelumnya. Sebelum aku mengenalmu.
“Apa kamu mencintaiku?” tanyaku. Aku tau itu bukanlah pertanyaan, toh aku sudah sering mendengar kau mengucapkan kata cinta setiap kali kita bertemu.
Kau mengangguk sebelum aku melanjutkan tanyaku. “Aku mencintaimu. Dan, sangat mencintaimu,” kau mengulumkan senyum padaku. Senyum yang tak pernah hilang dari bibirmu.
“Bagaimana jika seandainya ku katakan aku tidak pernah mencintaimu.” Yah, sebaiknya aku harus jujur saat ini. Tidak perlu ada yang di sembunyikan lagi.Aku tau kau pasti sangat terkejut dengan jawabanku.
“Maksudmu?” heranmu.
Aku mendengus kemudian menutup kedua mataku. “Aku tidak mencintaimu,” akhirnya kata-kata itu terucap juga. “Aku tidak pernah mencintaimu,” ku alihkan pandanganku ke luar jendela. Gemerisik angin disana seakan mengerti perasaanku saat ini. Aku... aku telah berbohong. Dan biarkan kebohongan ini menjadi jalan yang terbaik.
“Jadi?” kau menatapku.
Aku mengepal tanganku. Detak jantungku semakin tak menentu. “Aku ingin mengakhiri hubungan ini, Wan. Aku ingin sendiri seperti dulu.”
“Mengakhiri? Maksudmu?” kau masih belum percaya.
“Kita putus, Wan.” Ku beranikan menatap matamu.
“Tapi kenapa? apa slama ini aku memiliki salah, Lia? Kenapa denganmu? Apa yang terjadi?” kau mendekatiku. Mencoba menepis apa yang telah terjadi.
“Tolong, jangan mendekat, Wan.” Aku menjauh.
“Oke,” Ku lihat kau menuruti apa yang baru saja ku katakan.
“Aku tidak ingin semakin terpuruk pada perasaanku, Wan. Kau tau? Semakin aku mencintaimu perasaanku semakin hampa. Aku tidak bisa menemukan siapa aku. Dan, terlebih lagi aku semakin lupa pada Tuhan-ku,” pandanganku menerawang pada daun yang di tiup angin di luar sana. Hujan mulai jatuh membasahi bumi. Layaknya membasahi jiwaku yang semakin tandus.
“Sungguh, Lia. Aku benar-benar mencintaimu. Bahkan sedikitpun perasaan ini tidak pernah berubah, tapi kenapa denganmu? Apa cintaku salah?”
“Tidak,” tepisku. “Aku sudah mengatakan alasannya tadi, Wan. Aku... aku semakin lupa pada diriku dan juga Tuhan-ku jika harus terus bersamamu.” Ku harap kau mengerti dengan semua penjelasanku.
“Tapi..?”
Ku alihkan pandanganku darimu. Robbi... adakah jalan lain yang bisa ku tempuh untuk menjauhkan laranganmu? Aku tidak ingin semakin mendekat lagi pada keterpurukanku. Aku tidak ingin kembali pada diriku yang terperangkap pada cinta semu. Pada diriku yang tidak pernah ku tau siapa aku. Dan terlebih lagi jika terus bersamanya aku semakin lupa siapa aku. Masih ku ingat saat bersamanya, aku tidak malu jika dia menggenggam jemariku di keramaian. Aku tidak malu ketika tangannya merangkul pinggangku. Aku terlalu khawatir kehilangannya saat tidak bersamaku. Ketika tidak mendengar kabarnya aku merasa cemburu. Aku ingin slalu bersamanya. Hingga suatu hari, Andi—sahabatku di SMA dulu meneleponku. Dia memberiku berbagai nasehat yang membuat hatiku terketuk.
“Lalu apa pendapatmu, An?” tanyaku pada Andi setelah menceritakan semuanya. Dia memang sahabat yang slalu mendengar ceritaku. “Apa aku harus putus?”
“Keputusanmu ada di tanganmu, Lia. Aku hanya mengingatkan pelajaran di sekolah dulu. Waktu kita masih di Pondok. Kamu pasti masih ingat dengan nasihat ustad Usman. Jangan pacaran, sebab pacaran itu mendekatkanmu pada zina. Dan zina itu banyak mudorotnya,” ujarmu mengingatkanku pada kenangan dua tahun lalu. Saat itu aku adalah sosok santri teladan yang tidak pernah melanggar aturan. Tapi kini aku bukanlah santri itu, aku telah menjadi orang lain. “Ya sudalah, aku tidak ingin berbicara terlalu panjang takutnya kamu malah bosan.” Andi seperti seorang ustad baru yang slalu membuatku tersentuh.
“Trimakasih, An. Kamu slalu memberi celah baik ketika aku sedang kebingungan.”
            “Sama-sama, Lia. Dan kuharap kamu mengerti maksudku,” Andi kemudian memutuskan teleponnya.
            “Ada apa denganmu, Lia?” suara itu mengagetkanku. Ku lihat sosok itu masih berada disana, tepat dihadapanku.
            “Mafkan aku, Wan. Aku tidak bermaksud menyakitimu,” terangku menunduk.
            “Kamu sama sekali tidak menyakitiku, Lia. Tapi jujur, aku masih tidak percaya dengan apa yang kamu katakan. Hubungan yang telah kita bina setahun ini gugur sudah.  Aku bahkan sudah merencanakan sesuatu yang indah denganmu kedepannya nanti. Semua percuma, Lia. Percuma karna kamu telah memutuskan harapanku,” kau menatapku sengit. Sengumpal kemarahan terpancar dari matamu yang memerah.
            “Tapi...” aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.
            “Baiklah,” ujarmu akhirnya. Kau berusaha seolah semua biasa saja.
            “Aku tau kamu pasti marah padaku, Wan,” jelasku.
            “Aku tidak marah padamu, Lia. Aku hanya kecewa padamu. Tapi bagaimanapun aku tidak bisa menuntutmu untuk terus mencintaiku. Aku akan mencoba menerima keputusanmu. Dan... trimakasih untuk kebersamaan selama ini. Maafkan aku karna telah menggangu waktumu. “
Ku  lihat kau beranjak dari tempat dudukmu kemudian meninggalkanku. Dengan langkahmu yang tertatih aku bisa  merasakan bagaimana terpukulnya dirimu. Kau meninggalkanku tanpa senyum layaknya dulu yang slalu kau berikan padaku. Kau pergi dan mungkin takkan pernah menghampiriku lagi.
“Maafkan aku,” tubuhku terjatuh di atas kursi.
*
Setahun kemudian..
Aku masih disini. Di tempat yang sering kita kunjungi, namun kini aku sendiri. Tiada lagi ada kamu disisi yang menemani. Candamu tidak terdengar lagi, tawamu hilang menjadi sepi. Semua terasa hampa bahkan sangat hampa sekali. Semenjak malam itu, aku tidak pernah mendengar kabar darimu lagi. Tidak ada sms atau tlepon yang berdering setiap harinya. Tidak ada lagi kamu yang datang menghamipirku setiap harinya. Tidak ada lagi kamu yang slalu memberiku mawar serta seuntai bahasa penyejuk jiwa. Tidak... kamu benar-benar tidak ada lagi.
Bukan ku menyesal kehilanganmu. Bukan juga ku bersedih tanpa kamu. Namun terkadang aku berfikir, masihkah kau ingin mengenali sosok sepertiku? Sosok sahabat tentunya. Aku tidak ingin ada dendam di antara kita. Aku juga tidak ingin ada amarah di antara kita. Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Sama seperti sedia kala.
Kau tau? Malam ini aku melihat bulan purnama melalui tempat ini. Purnama ynag mengingatkanku pada perkenalan pertama kita. Saat itu kau mendatangiku dengan setangkai mawar di tanganmu lalu kau ucapkan cinta padaku. Kenangan yang membuatku tertawa jika mengingatnya. Tapi ya sudahlah, aku sudah ingin mendekatkan diriku pada Pencipta-Ku sekarang. Jika terus mengenangmu aku takut hatiku kembali di gerogoti nafsu yang membelenggu. Aku takut jiwaku kembali jatuh pada tempat yang salah. Maka dari itu lebih baik kudiamkan saja. Bukankah jika menyukai seseorang jika memendamnya adalah jihad? Dan andai saja kau masih menyukaiku maka pendamlah perasaanmu. Aku yakin itu lebih baik.
Pandanganku beralih pada sebuah buku dan handphone di sampingku. Aku meraih handphon tersebut dan mencari nama seseorang disana.
“Assalamu’alaikum...” ujarku setelah mendengar seseorang menjawab panggilanku.
“Wa’alaikumussalam,” suara itu menjawab.
Aku menarik napas sebentat. Suara itu masih sama seperti dulu. “Apa kabar, Wan?” tanyaku.
“Alhamdulillah baik. Bukankah ini, Lia?” kau seperti tidak yakin kalau aku sedang menghubungimu.
Ku dengar suara itu lebih teduh dari sebelumnya. Laki-laki itu pasti jauh berbeda sekarang. “Alhamdulillah, semuanya baik,” jawabku. Ku perbaiki posisi dudukku. “Apa aku mengganggumu?” tidak enak rasanya menelpon malam begini. Dan sungguh, ini hal yang belum pernah ku lakukan setelah kami berpisah.
“Tidak, sama sekali tidak.” Kau diam sebentar lalu melanjutkan kata-katamu, “sudah lama tidak mendengar suaramu, Lia. Dan ternyata masih sama. Ah, tidak, aku salah. Kamu semakin dewasa,” tuturmu.
Oh ya? Benarkah?
“Itu do’a yang bagus dan akan ku aminkan,” jawabku. Ku dengar kau tertawa di seberang sana. “Apa kegiatanmu sekarang, Wan?” tanyaku penasaran.
“Aku masih dengan aktifitasku, Lia. Mengajar mengaji untuk anak didikku setiap malamnya dan rutinitas kuliah setiap paginya. Alhamdulillah semuanya menyenangkan bahkan sangat menyenangkan dengan melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat lagi. O ya, do’akan aku bulan depan aku akan wisuda.”
Tentu saja, jika di bandingkan dengan menghabiskan waktu bersamaku dulu kegiatan saat ini jauh lebih baik dan aku tau itu. “Semoga segala sesuatunya di lancarkan,” do’aku untukmu.
Beberapa menit kau dan aku diam.
“Oh ya, bagaimana dengan kegiatanmu, Lia?” tanyamu mencairkan suasana.
“Alhamdulillah, aku masih kerja di tempat dulu dan kuliahku juga baik-baik saja,” jawabku. Tentunya semua terasa begitu indah. “Apa kamu masih marah padaku, Wan?” dengan hati-hati aku menanyakannya. Sebenarnya aku tidak ingin mengungkit kejadian dulu tapi bagaimanapun aku ingin tau apakah kau masih marah padaku.
“Aku tidak pernah marah padamu, Lia. Bahkan aku sangat bertrimakasih. Karnamu aku bisa belajar lagi. Aku akui, awalnya aku memang marah dan kecewa tapi sekarang tidak. Semuanya malah biasa-biasa saja.”
Aku mendengus napas. Sesuatu yang membuat dadaku sesak telah menghilang. Aku yakin, semuanya akan menjadi normal kembali. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Wan. Kamu tau? Allah menyayangi hambanya sehingga dia mempertemukan kita dengan jalan yang tidak di sangka-sangka. Dan perpisahan dulu anggaplah itu sebuah awal hidayah untuk memperbaiki diri kita masing.-masing. Dan, aku bahagia mengenal sosok sahabat sepertimu. Trimakasih karna telah mengenalku dan memaafkan perbuatanku sebelumnya.”
“Sama-sama, Lia. Kita bisa saling belajar, bukan?” ujarmu.
Aku tersenyum. Ku raih buku di sampingku kemudian menulis sesuatu disana.

Dear God,
Tanpa-Mu betapa angkuhnya jiwaku yang rapuh
Tanpa-Mu kerasnya hatiku yang beku
Dan karna-MU sepiku menjadi rindu            
           


            
*Harusnya sudah di kirim tapi ya belum riski. So keep smile forever.

*True Story*

Tidak ada komentar: