Laki-laki
itu datang layaknya semilir angin yang berhembus lalu menghangatkan jiwaku yang
kelu. Laki-laki itu datang layaknya pelangi yang mewarnai hidupku yang abu.
Laki-laki itu datang layaknya pecandu yang membuatku semakin rindu. Laki-laki
yang istimewa bahkan lebih dari segalanya. Laki-laki yang slalu memberikanku
senyum saat terluka. Laki-laki yang membuatku tertawa ketika sedang gundah.
Laki-laki istimewa yang membuatku
semakin bangga mengenalnya. Laki-laki yang tampil apa adanya yang slalu ada
kapanpun dan dimanapun aku berada. Laki-laki yang tabah dan penuh semangat.
Laki-laki dengan kesederhanaannya. Laki-laki yang mencintaiku apa adanya. Namun,
laki-laki istimewa itu semakin lama semakin tidak terlihat istimewa. Laki-laki
itu semakin terlihat biasa saja. Kau tau mengapa? Karna aku menemukan pencuri
hatiku yang sesungguhnya. Bukan laki-laki itu melainkan Dia. Dia yang telah
mencurinya hingga aku memutuskan untuk meninggalkan cintainya dengan segenap
kemampuanku.
*
Masih ku ingat awal perkenalam kita
dulu. Dengan kedua bola matamu yang sipit serta tawamu yang terdengar
melengking aku sempat berfikir bahwa kamu adalah laki-laki yang berbeda. Yah, berbeda dalam segala hal. Dan malam itu,
dengan berbagai rayuan kau mengajakku menikmati bintang di taman. Akupun
mengikuti pintamu.
“Uhibbuki...”
ujarmu padaku malam itu. Setangkai mawar merah kau ulurkan tepat berada
dihadapanku.
Antara
yakin dan ragu dengan pendengaranku, kuperhatikan wajahmu yang malu-malu. Rona
merah di pipimu membuatmu terlihat lucu.
“Kamu
tidak suka mawar?” tanyamu membuyarkan lamunanku.
Ku
perhatikan wajahmu dengan teramat sangat. “Aku mau mendengar ucapanmu sekali
lagi,” pintaku tanpa memperdulikan padanganmu. Ku lihat kau menunduk. “Aku mau
mendengar sekali lagi,” ulangku.
“U...
U... uhibbuki,” dengan terbata kau mengeja perkataanmu. Ah, begitu lugunya dirimu
malam itu.
“Sejak
kapan kamu menyukaiku?” tanyaku. Sebagai wanita tentu saja aku penasaran
mengapa dia mencintaiku, kenapa dia memilihku.
“Aku
tidak memiliki alasan yang tepat untuk menjawabnya. Yang ku tau, aku menyukaimu
dan mencintaimu.” Matamu menerobosku. Mengikat sebuah aksara yang melengkung
didalamnya. Lalu, aksara itu berubah menjadi butiran-butiran bewarna jingga
yang hanya aku saja bisa memilikinya.
Malam
itu, aku menerimamu dengan senyum manis yang terus menghiasi bibirmu.
*
Setahun
lamanya aku menjalani hubungan denganmu. Suka dan duka slalu kita hadapi
bersama. Kau slalu mengisi ruang hatiku yang kosong. Memberikan semangat ketika
aku mulai terjatuh. Mengajakku mengitari samudra luas meski hanya lewat
imajinasiku. Kau laki-laki yang slalu ada disampingku kapanpun. Kau hadir
dengan segala kesederhanaanmu.
Namun,
ada sesuatu yang berbeda kali ini. Pancaran dari wajahmu membuatmu tidak
seperti dulu lagi. Kau asing bahkan terasa sangat asing. Ada yang berbeda
darimu. Ada yang lain darimu. Ada sesuatu yang membuatmu begitu aneh dimataku.
Entahlah, aku hanya merasakannya.
“Kamu
terlihat aneh belakangan ini. Apa ada yang salah denganku?” tanyamu padaku. Seperti
malam biasanya, kau slalu datang ke rumahku untuk mengobrol. Menghabiskan
beberapa jam hanya untuk memberikan lelucon.
Aku
menggeleng pelan. “Tidak ada yang aneh,” jawabku. Aku berbohong. Kenapa
perasaan ini terasa hambar?
“Wajahmu
berbeda dari biasanya. Apa kamu sakit?” kau mendekatiku.
“Sebaiknya
kamu duduk disana saja,” aku menggeser dudukku.
“Kenapa?”
tanyamu heran.
Aku
tidak menjawab tanyamu.
“Bailkah,”
kau mengalah dan kembali ke tempat dudukmu.
“Ada
yang ingin ku katakan padamu,” aku menarik napas pelan. Kualihkan pandanganku
pada minuman di hadapanku. Aku terlalu takut dengan matamu yang mencari-cari
jejak kebenaran disana. “Aku... aku...” rasanya tidak sanggup lagi untuk
melanjutkan ucapanku.
“Katakanlah,
apa yang sebenarnya terjadi. Barangkali semua akan menjadi lebih baik kalau
kamu jujur,” ujarmu padaku seakan semuanya akan menjadi lebih baik jika aku
jujur.
Dosa
apa yang kau lakukan hingga aku menginginkan hal yang tak mungkin kau
inginkan? Tapi aku tidak bisa memunafiki hatiku. Setiap kali aku menatapmu
lautan api itu terpanjang disana. Seakan menarikku dan melahapku dalam semenit
saja. Aku benar-benar takut. Aku ingin berlari dan bersembunyi agar semuanya
baik-baik saja seperti sebelumnya. Sebelum aku mengenalmu.
“Apa
kamu mencintaiku?” tanyaku. Aku tau itu bukanlah pertanyaan, toh aku sudah
sering mendengar kau mengucapkan kata cinta setiap kali kita bertemu.
Kau
mengangguk sebelum aku melanjutkan tanyaku. “Aku mencintaimu. Dan, sangat
mencintaimu,” kau mengulumkan senyum padaku. Senyum yang tak pernah hilang dari
bibirmu.
“Bagaimana
jika seandainya ku katakan aku tidak pernah mencintaimu.” Yah, sebaiknya aku
harus jujur saat ini. Tidak perlu ada yang di sembunyikan lagi.Aku tau kau
pasti sangat terkejut dengan jawabanku.
“Maksudmu?”
heranmu.
Aku
mendengus kemudian menutup kedua mataku. “Aku tidak mencintaimu,” akhirnya kata-kata
itu terucap juga. “Aku tidak pernah mencintaimu,” ku alihkan pandanganku ke
luar jendela. Gemerisik angin disana seakan mengerti perasaanku saat ini. Aku...
aku telah berbohong. Dan biarkan kebohongan ini menjadi jalan yang terbaik.
“Jadi?”
kau menatapku.
Aku
mengepal tanganku. Detak jantungku semakin tak menentu. “Aku ingin mengakhiri
hubungan ini, Wan. Aku ingin sendiri seperti dulu.”
“Mengakhiri?
Maksudmu?” kau masih belum percaya.
“Kita
putus, Wan.” Ku beranikan menatap matamu.
“Tapi
kenapa? apa slama ini aku memiliki salah, Lia? Kenapa denganmu? Apa yang
terjadi?” kau mendekatiku. Mencoba menepis apa yang telah terjadi.
“Tolong,
jangan mendekat, Wan.” Aku menjauh.
“Oke,”
Ku lihat kau menuruti apa yang baru saja ku katakan.
“Aku
tidak ingin semakin terpuruk pada perasaanku, Wan. Kau tau? Semakin aku
mencintaimu perasaanku semakin hampa. Aku tidak bisa menemukan siapa aku. Dan,
terlebih lagi aku semakin lupa pada Tuhan-ku,” pandanganku menerawang pada daun
yang di tiup angin di luar sana. Hujan mulai jatuh membasahi bumi. Layaknya
membasahi jiwaku yang semakin tandus.
“Sungguh,
Lia. Aku benar-benar mencintaimu. Bahkan sedikitpun perasaan ini tidak pernah
berubah, tapi kenapa denganmu? Apa cintaku salah?”
“Tidak,”
tepisku. “Aku sudah mengatakan alasannya tadi, Wan. Aku... aku semakin lupa
pada diriku dan juga Tuhan-ku jika harus terus bersamamu.” Ku harap kau
mengerti dengan semua penjelasanku.
“Tapi..?”
Ku
alihkan pandanganku darimu. Robbi... adakah jalan lain yang bisa ku tempuh
untuk menjauhkan laranganmu? Aku tidak ingin semakin mendekat lagi pada
keterpurukanku. Aku tidak ingin kembali pada diriku yang terperangkap pada
cinta semu. Pada diriku yang tidak pernah ku tau siapa aku. Dan terlebih lagi
jika terus bersamanya aku semakin lupa siapa aku. Masih ku ingat saat
bersamanya, aku tidak malu jika dia menggenggam jemariku di keramaian. Aku
tidak malu ketika tangannya merangkul pinggangku. Aku terlalu khawatir
kehilangannya saat tidak bersamaku. Ketika tidak mendengar kabarnya aku merasa
cemburu. Aku ingin slalu bersamanya. Hingga suatu hari,
Andi—sahabatku di SMA dulu meneleponku. Dia memberiku berbagai nasehat yang
membuat hatiku terketuk.
“Lalu
apa pendapatmu, An?” tanyaku pada Andi setelah menceritakan semuanya. Dia
memang sahabat yang slalu mendengar ceritaku. “Apa aku harus putus?”
“Keputusanmu
ada di tanganmu, Lia. Aku hanya mengingatkan pelajaran di sekolah dulu. Waktu
kita masih di Pondok. Kamu pasti masih ingat dengan nasihat ustad Usman. Jangan
pacaran, sebab pacaran itu mendekatkanmu pada zina. Dan zina itu banyak
mudorotnya,” ujarmu mengingatkanku pada kenangan dua tahun lalu. Saat itu aku
adalah sosok santri teladan yang tidak pernah melanggar aturan. Tapi kini aku
bukanlah santri itu, aku telah menjadi orang lain. “Ya sudalah, aku tidak ingin
berbicara terlalu panjang takutnya kamu malah bosan.” Andi seperti seorang
ustad baru yang slalu membuatku tersentuh.
“Trimakasih,
An. Kamu slalu memberi celah baik ketika aku sedang kebingungan.”
“Sama-sama, Lia. Dan kuharap kamu
mengerti maksudku,” Andi kemudian memutuskan teleponnya.
“Ada apa denganmu, Lia?” suara itu
mengagetkanku. Ku lihat sosok itu masih berada disana, tepat dihadapanku.
“Mafkan aku, Wan. Aku tidak
bermaksud menyakitimu,” terangku menunduk.
“Kamu sama sekali tidak menyakitiku,
Lia. Tapi jujur, aku masih tidak percaya dengan apa yang kamu katakan. Hubungan
yang telah kita bina setahun ini gugur sudah.
Aku bahkan sudah merencanakan sesuatu yang indah denganmu kedepannya
nanti. Semua percuma, Lia. Percuma karna kamu telah memutuskan harapanku,” kau
menatapku sengit. Sengumpal kemarahan terpancar dari matamu yang memerah.
“Tapi...” aku tidak bisa melanjutkan
kata-kataku.
“Baiklah,” ujarmu akhirnya. Kau
berusaha seolah semua biasa saja.
“Aku tau kamu pasti marah padaku,
Wan,” jelasku.
“Aku tidak marah padamu, Lia. Aku
hanya kecewa padamu. Tapi bagaimanapun aku tidak bisa menuntutmu untuk terus
mencintaiku. Aku akan mencoba menerima keputusanmu. Dan... trimakasih untuk kebersamaan
selama ini. Maafkan aku karna telah menggangu waktumu. “
Ku lihat kau beranjak dari tempat dudukmu
kemudian meninggalkanku. Dengan langkahmu yang tertatih aku bisa merasakan bagaimana terpukulnya dirimu. Kau
meninggalkanku tanpa senyum layaknya dulu yang slalu kau berikan padaku. Kau
pergi dan mungkin takkan pernah menghampiriku lagi.
“Maafkan
aku,” tubuhku terjatuh di atas kursi.
*
Setahun
kemudian..
Aku
masih disini. Di tempat yang sering kita kunjungi, namun kini aku sendiri.
Tiada lagi ada kamu disisi yang menemani. Candamu tidak terdengar lagi, tawamu
hilang menjadi sepi. Semua terasa hampa bahkan sangat hampa sekali. Semenjak
malam itu, aku tidak pernah mendengar kabar darimu lagi. Tidak ada sms atau tlepon
yang berdering setiap harinya. Tidak ada lagi kamu yang datang menghamipirku
setiap harinya. Tidak ada lagi kamu yang slalu memberiku mawar serta seuntai
bahasa penyejuk jiwa. Tidak... kamu benar-benar tidak ada lagi.
Bukan
ku menyesal kehilanganmu. Bukan juga ku bersedih tanpa kamu. Namun terkadang
aku berfikir, masihkah kau ingin mengenali sosok sepertiku? Sosok sahabat
tentunya. Aku tidak ingin ada dendam di antara kita. Aku juga tidak ingin ada
amarah di antara kita. Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Sama seperti
sedia kala.
Kau
tau? Malam ini aku melihat bulan purnama melalui tempat ini. Purnama ynag
mengingatkanku pada perkenalan pertama kita. Saat itu kau mendatangiku dengan
setangkai mawar di tanganmu lalu kau ucapkan cinta padaku. Kenangan yang
membuatku tertawa jika mengingatnya. Tapi ya sudahlah, aku sudah ingin
mendekatkan diriku pada Pencipta-Ku sekarang. Jika terus mengenangmu aku takut
hatiku kembali di gerogoti nafsu yang membelenggu. Aku takut jiwaku kembali
jatuh pada tempat yang salah. Maka dari itu lebih baik kudiamkan saja. Bukankah
jika menyukai seseorang jika memendamnya adalah jihad? Dan andai saja kau masih
menyukaiku maka pendamlah perasaanmu. Aku yakin itu lebih baik.
Pandanganku
beralih pada sebuah buku dan handphone di sampingku. Aku meraih handphon
tersebut dan mencari nama seseorang disana.
“Assalamu’alaikum...”
ujarku setelah mendengar seseorang menjawab panggilanku.
“Wa’alaikumussalam,”
suara itu menjawab.
Aku
menarik napas sebentat. Suara itu masih sama seperti dulu. “Apa kabar, Wan?”
tanyaku.
“Alhamdulillah
baik. Bukankah ini, Lia?” kau seperti tidak yakin kalau aku sedang
menghubungimu.
Ku
dengar suara itu lebih teduh dari sebelumnya. Laki-laki itu pasti jauh berbeda sekarang.
“Alhamdulillah, semuanya baik,” jawabku. Ku perbaiki posisi dudukku. “Apa aku
mengganggumu?” tidak enak rasanya menelpon malam begini. Dan sungguh, ini hal
yang belum pernah ku lakukan setelah kami berpisah.
“Tidak,
sama sekali tidak.” Kau diam sebentar lalu melanjutkan kata-katamu, “sudah lama
tidak mendengar suaramu, Lia. Dan ternyata masih sama. Ah, tidak, aku salah.
Kamu semakin dewasa,” tuturmu.
Oh
ya? Benarkah?
“Itu
do’a yang bagus dan akan ku aminkan,” jawabku. Ku dengar kau tertawa di
seberang sana. “Apa kegiatanmu sekarang, Wan?” tanyaku penasaran.
“Aku
masih dengan aktifitasku, Lia. Mengajar mengaji untuk anak didikku setiap
malamnya dan rutinitas kuliah setiap paginya. Alhamdulillah semuanya
menyenangkan bahkan sangat menyenangkan dengan melakukan kegiatan yang lebih
bermanfaat lagi. O ya, do’akan aku bulan depan aku akan wisuda.”
Tentu
saja, jika di bandingkan dengan menghabiskan waktu bersamaku dulu kegiatan saat
ini jauh lebih baik dan aku tau itu. “Semoga segala sesuatunya di lancarkan,”
do’aku untukmu.
Beberapa
menit kau dan aku diam.
“Oh
ya, bagaimana dengan kegiatanmu, Lia?” tanyamu mencairkan suasana.
“Alhamdulillah,
aku masih kerja di tempat dulu dan kuliahku juga baik-baik saja,” jawabku. Tentunya
semua terasa begitu indah. “Apa kamu masih marah padaku, Wan?” dengan hati-hati
aku menanyakannya. Sebenarnya aku tidak ingin mengungkit kejadian dulu tapi
bagaimanapun aku ingin tau apakah kau masih marah padaku.
“Aku
tidak pernah marah padamu, Lia. Bahkan aku sangat bertrimakasih. Karnamu aku
bisa belajar lagi. Aku akui, awalnya aku memang marah dan kecewa tapi sekarang
tidak. Semuanya malah biasa-biasa saja.”
Aku
mendengus napas. Sesuatu yang membuat dadaku sesak telah menghilang. Aku yakin,
semuanya akan menjadi normal kembali. “Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,
Wan. Kamu tau? Allah menyayangi hambanya sehingga dia mempertemukan kita dengan
jalan yang tidak di sangka-sangka. Dan perpisahan dulu anggaplah itu sebuah
awal hidayah untuk memperbaiki diri kita masing.-masing. Dan, aku bahagia
mengenal sosok sahabat sepertimu. Trimakasih karna telah mengenalku dan
memaafkan perbuatanku sebelumnya.”
“Sama-sama,
Lia. Kita bisa saling belajar, bukan?” ujarmu.
Aku
tersenyum. Ku raih buku di sampingku kemudian menulis sesuatu disana.
Dear God,
Tanpa-Mu betapa
angkuhnya jiwaku yang rapuh
Tanpa-Mu kerasnya
hatiku yang beku
Dan karna-MU sepiku
menjadi rindu
*Harusnya sudah di kirim tapi ya belum riski. So keep smile forever.
*True Story*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar