Kemaren,
kita masih bercerita tentang bulan yang diam-diam mengintip lewat jendela
kamar. Kita juga bercerita tentang sepasang bintang yang diam-diam jatuh cinta.
Tentang mata yang diam-diam membakar rasa cemburu di dada. Tentang apa saja
kita bercerita. Rindu, cemburu. Tak ada topik lain yang kudengar selain
kata-kata itu. Kau suka saat aku manyun dengan ledekan jalangmu. Ya, kau sering
kali meledekku. Malah terlalu suka dengan hal itu. Katamu, kalau aku manyun aku
manis dan manja. Ah, entahlah... Aku hanya suka setiap kali kau mengatakan hal
demikian meski sebenarnya aku malu, tapi lagi-lagi aku berhasil
menyembunyikannya di balik kilah kata ‘tidakku.’
Malam
ini kita kembali mencumbui waktu, seperti malam kemaren. Dua hari yang lalu,
tepat dimana posisi awan gelap menutupi sepersekian dari langit. Menitihkan
guratan gelap pekat serta letupan guntur yang saling bersahutan. Menari-nari
bak bidadara-bidadari yang menyambut datangnya pelangi. Kau masih dengan
tawamu, ya, tawa itu. Tawa yang berhasil menghancurkan aliran penat yang slalu
menjalar di ubun-ubunku. Tawa yang berhasil menghanguskan kepingan kepanyang
yang mengalir di setiap deras darahku. Tawa yang slalu kurindu setiap waktuku.
Tawamu bagai nikotin yang membuatku semakin candu.
“Hei, apa kau tak merinduiku?”
Sebait
kalimat yang entah mengapa tercekat di ujung tenggorokanku. Ah, aku tidak
terlalu berani mengucapkan kata rindu di sela kataku. Sebab aku terlalu takut.
Takut entah karna apa. Oh, tidak, bukan. Aku tentu saja berani dengan kalimat
tersebut. Lihat saja!
“I
miss you.” Dan sebongkah kalimat yang meletup-letup sedari tadi berhasil
mengikuti aliran air liurku. Aku merindukanmu, tentu saja.
Namun
detik yang berlalu semakin merebus fikiranku. Dentuman jantungku yang
berdebar-debar layaknya genderang semakin hilang. Suaraumu kian berbeda
kurasakan. Ah, entah ini perasaanku ataukah hanya sekedar tebakanku saja aku tak
tau. Aku hanya ingin kau tetap menjadi dirimu yang slalu merengkuhku dengan
tawamu setiap malam. Aku hanya ingin kau memelukku dengan tawamu setiap malam berlalu. Aku hanya ingin tawamu yang slalu mendekapku meski hanya lewat jarak
jauh. Ya, jangan ada yang berubah darimu. Sebab sebelumnya, sebelum mengenalmu
di hari berikutnya aku telah berjanji takkan pernah pergi sebelum kau memintaku
pergi.
Maka
tetaplah seperti ini. Diam-diam mengantongkan seribu puisi rindu yang kau
miliki.
Jakarta, 19 Des’14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar