Selasa, 26 Agustus 2014

Diary Defresi



Keluargaku seperti racun saja rasanya. mengeluarkan amarah dan sakit setiap kali singgah dan berlindung. Tidak ada sebuah kenyaman melainkan luapan kebencian setiap kali aku mampir. Tidak ada kehangatan yang menyambutku penuh kebahagiaan. Aku benar-benar benci. Ruang lingkup seperti sebuah bom yang tiba-tiba saja meledak seketika. Kamar yang biasanya di jadikan tempat istirahat sudah seperti sebuah pantai yang menggosongkan kulitku saja. Aku muak.
          “Tahun ini aku gak bakalan pulang,” jawabku setiap kali siapapun yang menanyakan kepulanganku kedaerah.
          “Kau tidak rindu dengan mereka?” berbagai tanya yang keluar.
          Rindu?
          Ah, pantaskah rindu ini bersemayan di ujung kalbu.? Aku benci ketika merebahkan tubuh lemas dan kepala pusingku diatas kasur jika sore juga malamnya yang ku dengar hanya ocehan dan hempasan amarah. Aku benci setiap kali ingin memejamkan mata juga ingin terbangun yang ku dengar hanya ocehan belaka. Kemana sebenarnya kata harmonis keluarga ini?
          Aku benar-benar muak dan bosan. Ingin sekali aku berlari dan tidak akan kembali lagi pada keluarga yang hanya membuatku semakin terpojok dan merasa stres saja. Aku benar-benar marah pada mereka yang membenamkan kata-kata yang membuatku sesak.
          “Pulanglah Lya. Apa kau yakin tidak merindukan keluargamu?”
          Aku menghembuskan napasku pelan. Ajakan itu membuatku sedikit khawatir terhadap diriku sendiri. Aku memang belum melihat wajahnya secara langsung. Tapi kata-katanya seperti magnet yang menarikku untuk mengatakan ya dalam semenit saja. Sosok sahabat maya yang aku kenali beberapa bulan lalu namun aku seperti sudah mengenal karakteristiknya yang unik. Aku berusaha sekuatku untuk tetap pada pendirianku, tidak akan menggoyahkan rasa kepedulianku. Namun aku gagal, naluri keinginanku semenit saja mengatakan ya.
          “Entahlah. Lihat nanti saja. Aku terlalu sibuk. Libur kerja juga hanya sebentar,” jawabku. Berusaha mengalihkan rasa terpukulku. Aku tau, sebenarnya ada sebuah penghayatan dalam di akhir kalimatku. Akankah aku kembali pada sisi yang membuat ku semakin terpuruk dan terpukul saja.
          “Pulanglah. Aku akan menunggumu.”
          Otakku dalam hitungan detik luntur. Kalimat itu membuatku meneguhkan keinginanku.
         
          24 juli 2014
          Aku menghembuskan napas pada tempat ini. Setahun sudah tidak ku injakkan Riau yang kata mereka tempat ruang yang indah dan nyaman. Nyaman? Ah, mungkin kata-kata itu tepat pada mereka yang membenamkan kata betah di tempat ini. Aku menarik napas dalam. Perasaan was-was kembali merongoti separuh jiwaku. Kenapa rasanya sesak sekali?
          Aku ingin pulang kembali ke Jakarta. Tempat acuh dan sombong yang slalu membanggakan dan menghargai keberadaanku. Tempat kerinduan yang bisa melayangkan keadaanku. Tempat yang slalu membuatku nyaris lupa dengan semua masalah yang berada didalam otakku. Tapi tidak, ini sudah pada jalurnya. Lebih baik ku nikmati saja untuk sepekan ini disini.
          Aku melemparkan senyum pada sebuah kamar kecil yang membenturkan isi kepalaku yang runyam saat ini. Aku menghentakkan kalimat perih yang memasung pedalaman benciku. Aku merunduk pada lantai kamarku. Kamar yang hanya beberapa kali ku singgahi setiap tahunnya. Namun sepertinya aku malas saja berada diruang ini.
          Dan akhirnya aku menangis.
          Aku benci sekali menangis disini. Aku benci sekali menangis hanya karna masalah runyam yang membuatku tidak bernapas. Kenapa mereka slalu memojokkanku? Kenapa mereka slalu membuatku tertekan. Aku tidak betah, sungguh ingin sekali rasanya minggat dan tidak akan kembali lagi. Aku bosan disini. Aku muak sekali disini.
          “Aku pusing. Tolong bernyanyilah,” pintaku. Entahlah, aku hanya merasa tidak ada tempat untuk mengeluhkan kisah pahit ini lagi. Yang ku tau aku hanya butuh sedikit hiburan saja. agar kepalaku bisa sedikit tenang dan nyaman. “Tolong, jangan tanyakan mengapa aku menangis,” pintaku untuk kedua kalinya. Aku bingung, kenapa aku menangis pada sosok yang sama sekali belum aku ketahui wajahnya? Aku tidak tau mengapa aku berani menangis pada sosok yang mungkin saja aneh terhadapku. Ah, aku tidak tau. Yang ku butuh sekarang hanya sebuah penghayatan dan luapan rasa pahitku saja.
          Aku merasa marah. Merasa benci jua dongkol.
          Bukan, ini bukan pertama aku memendam perasaan ini semua. Sudah sepuluh tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Dan perasaan muak kembali datang ketika mendengar kenapa mereka slalu menyalahkanku dalam segala hal. Tidak pernah memberiku sebuah partisi dalam melakukan apapun.
         
          2 Agustus 2014
          Dan Jakarta aku kembali. Aku bisa bernapas denganmu sekarang. Aku bisa meluapkan amarahku sekarang. Aku juga bisa mempertahankan dinamis kehidupanku sekarang. Lihatlah Jakarta, akan ku rubah bentuk hidupku yang keras ini. Akan ku bentuk perasaanku ini semakin tangguh kembali.
          Mari kita berpaju. Akan ku buktikan pada mereka aku bisa hidup dengan damai disini. Setidaknya begitu. Aku bisa bernapas tanpa memusingkan suara keras juga amarah dari keluargaku yang membuatku mumet dan semakin tertekan. Mari Jakarta. Ajarkan aku menjadi wanita tangguh yang kuat. Bentuk aku menjadi sosok wanita yang luar biasa. Agar aku bebas memilih haluan tanpa terhalang. Memilah cara hidupku dengan sendirinya.
          Pada keluarga besarku yang nyaris aku lupakan keberadaannya. Trimakasih telah menyambutku kembali dengan linangan air mataku yang tak akan habis.

          Aku...
          Aku tak ingin kembali.
          Mungkin!
         
         
         
           

Senin, 25 Agustus 2014

Aku Ingin Diam



Sebenarnya aku ingin diam
Menikmati degup jantungku yang tak karuan
Serta hembusan napas yang panjang
Di sela sepi di antara kita berdua

Sebenarnya aku ingin diam
Mendengarkan degup jantungku yang semakin kencang
Serta nada sunyi yang tak berteman
Di sela sepi yang tak bertepi

Sebenarnya aku ingin sekali diam
Namun aku tidak mampu
Mulutku terus saja berlalu
Bla... blaa... blaaa...

Kau tau,
Mungkin saja tidak kau tau
Aku sebenarnya tidak bisa menjelaskan banyak makna
Di sela-sela kaku yang kau berikan

Tapi tidak,
Aku sudah pernah berjanji
Akan ku jadikan dingin diantara kita sebuah pertemuan indah
Agar kau tidak bosan mengenal sosok sepertiku

Mengenalku yang banyak bicara
Mengoceh entah kemana
Berbicara entah sampai dimana
Hingga kau mungkin bosan

Tapi tidak mengapa
Toh pada akhirnya, mendengar tawamu saja itu sudah luar biasa
Aku bisa tersenyum
Serta merogoh sekantong rindu di ujung kalbu






Senin, 18 Agustus 2014

PARIS



Aku tidak mengerti mengapa kau menyukai Paris. Aku juga tidak mengerti mengapa kau slalu menyelipkan kata Paris di sela-sela pembicaraan kita. Aku tidak tau mengapa Paris itu menakjubkan bagimu. Paris seperti sihir yang memberi sebuah celah untukmu berjalan menghampirinya. Paris melebihi keindahan alam dimanapun, katamu.
          Bukan. Bukan aku tidak menyukai Parismu yang indah. Bukan jua aku cemburu jua marah. Bukan pula aku merasa tersaingi. Aku hanya ingin tau seberapa besar rasa takjubmu pada Parismu. Seberapa rasa inginmu untuk menginjakkan angan besarmu padanya. Seberapa kuat keinginanmu untuk meraihnya serta bisa menyentuhnya tanpa sebatas angan saja. Aku hanya ingin tau. Itu saja.
          “Karna kau belum bisa merasakannya,” ujarmu di sela-sela perbincangan kita.
          Aku menatapmu. Ice cream yang tadinya ingin ku lahap berhenti seketika. Moodku sedikit berkurang.
          “Ah, tak perlu kau tau. Nanti saja, kalau kau sudah siap akan ku katakan alasan yang sebenarnya.”
          Keningku berkerut. “Alasan?” tanyaku tidak mengerti.
          “Iya,” jawabmu sembari menatapku.
          “Begitu rahasianya sampai kau tidak ingin mengatakan padaku apa yang sebenarnya.” Aku berusaha tersenyum. Menutupi rasa penasaranku. “Kau tau, aku memang sosok wanita yang penasaran tapi aku bukan pemaksa. Kalau kau tidak bersedia yah tidak apa-apa,” jawabku. Aku menelan ludah, getir.
          “Kau tau, itulah yang membuatku kagum padamu,” sorot mata itu menatapku dalam.
          “Kagum?” tanyaku menghidari tatapannya.
          “Kau sosok wanita yang apa adanya, tidak pernah berubah menjadi yang lainnya.”
          Aku tertawa. “Sudahlah, kau jangan memujiku. Aku tidak suka dengan pujian yang sebenarnya bisa membuatku mati rasa dalam sedetik saja.” Aku berdiri lalu meraih tas yang disampingku.
          “Kau mau kemana?” sosok itu ikut berdiri.
          “Aku ingin mencari Parismu,” jawabku kemudian meninggalkannya sendiri.
          “Tapi Paris itu jauh,” ujarmu pelan.



           



Jumat, 15 Agustus 2014

Tidak Seharusnya



Aku menarik napas dalam. Pandanganku nanar menatap kedepan. Ini bukan sebuah pemandangan yang aneh yang pertama ku lihat sendiri. Ini untuk kesekian kalinya. Aku mencoba untuk menyadarkan diriku sendiri. Siapa aku Yang berhak untuk memfonis dua insan yang sedang berduaan di sana sekarang? Apa aku harus mendatangi mereka dengan mengatakan sesuatu yang jika kata-kata ku nanti malah membuatku aneh di depan meareka.
            Aku menarik langkah kaki menjauh dari sana. Tapi tidak bisa, rasanya aku semakin tersiksa saja dengan keadaan mereka disana. Menyebalkan. Mengapa harus aku yang seperti ini? Toh, orang-orang disekitar mereka hanya acuh tak acuh. Ku beranikan diri mendekati pasangan itu. Aku berhenti sejenak lalu mendengus.
            “Tidak seharusnya kalian berduaan disini,” spontan saja aku berkomentar.
            Sepasang dihadapanku memandangiku.
            “Kalian tau, apa yang kalian lakukan itu tidak baik di lihat orang lain,” lanjutku. Lebih tepatnya membuatku risih.
            “Apa maksudmu?” wanita itu bertanya. Ia memperhatikanku aneh. Laki-laki disampingnya diam.
            “Aku tidak suka melihatnya, lebih tepatnya begitu,” jawabku.
            “Lah, masalah kami apa? Toh banyak juga yang lain disini?” wanita itu tidak terima.
            Aku tau itu. Memang banyak pasangan yang lain disana namun aku lebih tertarik untuk mendekati mereka.
            “Kalian tau, disini tempat umum. Lebih baik kalian bubaran saja, sikap kalian berduaan itu tidak pantas untuk dilihat yang lain. Terlebih lagi kamu, lihatlah dirimu.” Ku pandangi wanita itu lekat.
            Wanita itu juga melakukan hal yang sama. Ia menatap dirinya. Mungkin dia tau apa yang ku maksud.
            “Sudahlah. Kalau kamu masih tetap dengan pendirianmu aku tidak segan-segan menarikmu untuk keluar dari sini,” kali ini aku tegas. Aku semakin tidak enak hati dibuatnya.
            “Apa?” wanita itu tidak terima. “Kamu siapa? Kok seenaknya aja ngomong gitu?” wanita itu berdiri. “Mas, kamu kenapa diam aja?” wanita itu menatap laki-laki disisinya tadi.
            Ku lihat laki-laki itu tidak bergeming.
            “Mas, kamu kenapa diam aja?” wanita itu menarik lengan laki-laki tersebut. Ia memukul pundak laki-laki disampingnya dengan kesal. Tidak terima mengapa dia diam saja.
            “Maaf Nai, dia kakakku. Jadi aku gak bisa membela kamu karna apa yang dikatakan kakak aku tadi benar. Kita tidak seharusnya berduaan di tempat umum seperti ini. Apa lagi dengan pakaianmu yang terbuka begitu. Kakakku pasti lebih tidak terima.” Laki-laki itu berkomentar.
Wanita yang namanya Nai itu melotot tidak percaya. “A... a... apa?” Nai tercekat. Ia tidak tau harus berkomentar apa lagi.
Plaakkk!
Tamparan kecil mendarat di pipi kiri Rei. Adek bungsuku yang baru ku dapati sedang berduaan dengan wanita yang namanya Nai. Nai beranjak meninggalkanku dan Rei tanpa sepatah katapun. Aku medekati Rei memperhatikan pipinya yang agak memerah. Aku tau dia merasa sakit.
“Gimana? Enakkan?” tanyaku. Aku memperhatikan Rei seksama. Ia mengelus-ngelus pipinya yang sakit.
“Lumayan,” jawabnya pelan.
“Enakan di tampar apa di jeburin ke kobaran api?” tanyaku hati-hati. Aku tidak ingin Rei, adek bungsuku itu tersindir dengan kata-kataku.
“Mungkin dua-duanya kak,” ia menatapku. “Tapi dijeburin kedalam api itu lebih menyakitkan dan menyiksa.” Ia memperhatikanku.
“Kakak sudah sering menasehatimu Rei, kalau kamu mau kenalan dengan wanita bukan begini caranya. Nanti, kakak bakal kasih tau kamu cara yang tepat,” ujarku.
“Tapi...” ia masih bisa mengelak.
“Kenapa?”
“Sudahlah kak, gak ada manfaatnya kalau berdebat dengan kakak sekarang.” Rei pasti sudah tau apa kata-kata terakhir yang akan aku ucapkan padanya.
Kuliah yang baik dulu, sholatnya diperbaiki dan banyak baca buku yang bermanfaat. Toh, kalau mau kenal sama wanita jangan sekarang. Nanti akan ada saat yang tepat. Ingat, wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Jadi berusahalah untuk menjadi yang baik agar dapat yang baik.
Aku memperhatikan Rei seksama. Adek bungsuku yang menjadi harapan besar dalam keluargaku tadi tidak sengaja ku temui di pusat perbelanjaan di kota besar ini. Aku yang sendiri ingin membeli buku persiapan skripsi mendapatinya sedang berduaan duduk berhadap dengan seorang wanita disebuah cafe tepat dihadapanku. Dengan perasaan berkecambuk aku akhirnya mendekatinya dengan pandangan tidak suka. Aku tau Rei tadi ketakutan sehingga dia lebih banyak diam. Sedangkan wanita yang namanya Nai itu mungkin tidak tau kalau aku adalah kakak Rei.
“Kamu pasti laper, kak pesanin makanan yah?” tawarku.
Rei menggeleng. “Maaf yah kak, aku udah bikin kakak marah,” Rei menatapku.
Aku tersenyum.

  


Kembalilah



Aku sudah merapikan tepi pantai yang katamu kau sukai setiap sorenya
Aku juga sudah menyelesaikan rumah dari pasir yang katamu unik
Jua sudah ku selesaikan semua apa yang katamu menarik
Sebab aku tidak ingin nanti kau berlabuh dengan kecewa

Aku sudah usai dalam petaka senja
Sore hari yang katamu enggan kau tinggali
Lalu aku slalu berusaha untuk tetap terjaga
Di sini, pantai losari yang tak pernah ku ketahui sisi tempatnya

Dan kau akhirnya kembali
Senyum sumringah yang biasanya kau santuni
Sapaan mesra yang biasa kau beri
Tak lagi seperti biasanya

Kini semua sepi
Kini semua tak bertepi
Mengapa?
Apa karna di labuhan sana kau sudah ada yang menanti?

Oh, tolong jangan katakan ya
Aku tak sanggup mendengar ucapan kecewa nantinya
Aku jua tak bisa memahat goresan lainnya di tepi hatimu
Sungguh, aku tak mampu

Kembalilah pada senjaku
Senja yang katamu unik
Senja yang katamu manis
Seperti matamu yang slalu membius naluri rindu dalam glora jiwaku

Maka kembalilah
Jangan singgah pada pemilik sepi yang lain
Kembalilah
Aku takkan pernah membiarkan pantai ini sunyi kembali



Selasa, 12 Agustus 2014

JAKARTA



Kau tentu tidak tau mengapa aku menyukai Jakarta bukan?
Jakarta yang macet
Jakarta yang sumpek
Jakarta yang penuh keegoisan
Jakarta yang penuh pecundang

Kau tentu tidak tau mengapa aku mencintai Jakarta
Jakarta yang katamu panas
Jakarta yang katamu penuh asap
Jakarta yang katamu seperti sebatang kara
Jakarta yang katamu bukan dirimu

Tapi inilah aku
Aku suka Jakarta
Aku rindu Jakarta bila sehari saja tak jumpa
Aku cinta Jakarta yang apa adanya

Kau tau kenapa?
Karna Jakarta banyak rahasia
Karna Jakarta ku temukan kewibawaan
Karna Jakarta ku temukan siapa diriku
Sebab Jakarta aku bisa mensyukuri lebih dan kurangku

Jakarta yang mengajarkanku arti syukur
Jakarta yang mengajarkanku kerja keras dan penuh rintangan
Jakarta yang mengajarkanku untuk tetap membantu
Jakarta yang mengajarkanku untuk tetap tau siapa aku

Inilah Jakarta
Jakarta yang menjadi apa adanya
Jakarta yang tetap dengan kerasnya
Hingga lewat Jakarta aku harus tetap menjadi diriku


Jakarta adalah separuh aku



Tuhan

Tuhan
Aku tidak mengeluh
Sungguh tidak
Aku tidak ingin
Benar saja tidak

Tuhan
Aku tidak menangis
Sungguh tidak
Aku tidak ingin
Yah, tentu saja tidak

Tapi Tuhan
Aku hanya lelah
Aku sungguh merasa lelah

Dekap aku Tuhan
Aku ingin merasakan dunia ini milikku sendiri untuk saat ini
Sebentar saja
Tidak perlu lama
Agar aku tau aku tidak pernah sendiri
Bahwa kekuatan itu ada disini, di hati

Tuhan
Aku tidak mengeluh