Keluargaku seperti racun saja
rasanya. mengeluarkan amarah dan sakit setiap kali singgah dan berlindung. Tidak
ada sebuah kenyaman melainkan luapan kebencian setiap kali aku mampir. Tidak ada
kehangatan yang menyambutku penuh kebahagiaan. Aku benar-benar benci. Ruang lingkup
seperti sebuah bom yang tiba-tiba saja meledak seketika. Kamar yang biasanya di
jadikan tempat istirahat sudah seperti sebuah pantai yang menggosongkan kulitku
saja. Aku muak.
“Tahun ini
aku gak bakalan pulang,” jawabku setiap kali siapapun yang menanyakan
kepulanganku kedaerah.
“Kau tidak
rindu dengan mereka?” berbagai tanya yang keluar.
Rindu?
Ah,
pantaskah rindu ini bersemayan di ujung kalbu.? Aku benci ketika merebahkan
tubuh lemas dan kepala pusingku diatas kasur jika sore juga malamnya yang ku
dengar hanya ocehan dan hempasan amarah. Aku benci setiap kali ingin memejamkan
mata juga ingin terbangun yang ku dengar hanya ocehan belaka. Kemana sebenarnya
kata harmonis keluarga ini?
Aku benar-benar
muak dan bosan. Ingin sekali aku berlari dan tidak akan kembali lagi pada
keluarga yang hanya membuatku semakin terpojok dan merasa stres saja. Aku
benar-benar marah pada mereka yang membenamkan kata-kata yang membuatku sesak.
“Pulanglah
Lya. Apa kau yakin tidak merindukan keluargamu?”
Aku menghembuskan
napasku pelan. Ajakan itu membuatku sedikit khawatir terhadap diriku sendiri. Aku
memang belum melihat wajahnya secara langsung. Tapi kata-katanya seperti magnet
yang menarikku untuk mengatakan ya dalam semenit saja. Sosok sahabat maya yang
aku kenali beberapa bulan lalu namun aku seperti sudah mengenal
karakteristiknya yang unik. Aku berusaha sekuatku untuk tetap pada pendirianku,
tidak akan menggoyahkan rasa kepedulianku. Namun aku gagal, naluri keinginanku
semenit saja mengatakan ya.
“Entahlah. Lihat
nanti saja. Aku terlalu sibuk. Libur kerja juga hanya sebentar,” jawabku. Berusaha
mengalihkan rasa terpukulku. Aku tau, sebenarnya ada sebuah penghayatan dalam
di akhir kalimatku. Akankah aku kembali pada sisi yang membuat ku semakin
terpuruk dan terpukul saja.
“Pulanglah.
Aku akan menunggumu.”
Otakku dalam
hitungan detik luntur. Kalimat itu membuatku meneguhkan keinginanku.
24 juli 2014
Aku
menghembuskan napas pada tempat ini. Setahun sudah tidak ku injakkan Riau yang
kata mereka tempat ruang yang indah dan nyaman. Nyaman? Ah, mungkin kata-kata
itu tepat pada mereka yang membenamkan kata betah di tempat ini. Aku menarik
napas dalam. Perasaan was-was kembali merongoti separuh jiwaku. Kenapa rasanya
sesak sekali?
Aku ingin
pulang kembali ke Jakarta. Tempat acuh dan sombong yang slalu membanggakan dan
menghargai keberadaanku. Tempat kerinduan yang bisa melayangkan keadaanku. Tempat
yang slalu membuatku nyaris lupa dengan semua masalah yang berada didalam
otakku. Tapi tidak, ini sudah pada jalurnya. Lebih baik ku nikmati saja untuk
sepekan ini disini.
Aku melemparkan
senyum pada sebuah kamar kecil yang membenturkan isi kepalaku yang runyam saat
ini. Aku menghentakkan kalimat perih yang memasung pedalaman benciku. Aku merunduk
pada lantai kamarku. Kamar yang hanya beberapa kali ku singgahi setiap
tahunnya. Namun sepertinya aku malas saja berada diruang ini.
Dan akhirnya
aku menangis.
Aku benci
sekali menangis disini. Aku benci sekali menangis hanya karna masalah runyam
yang membuatku tidak bernapas. Kenapa mereka slalu memojokkanku? Kenapa mereka
slalu membuatku tertekan. Aku tidak betah, sungguh ingin sekali rasanya minggat
dan tidak akan kembali lagi. Aku bosan disini. Aku muak sekali disini.
“Aku pusing.
Tolong bernyanyilah,” pintaku. Entahlah, aku hanya merasa tidak ada tempat
untuk mengeluhkan kisah pahit ini lagi. Yang ku tau aku hanya butuh sedikit
hiburan saja. agar kepalaku bisa sedikit tenang dan nyaman. “Tolong, jangan
tanyakan mengapa aku menangis,” pintaku untuk kedua kalinya. Aku bingung,
kenapa aku menangis pada sosok yang sama sekali belum aku ketahui wajahnya? Aku
tidak tau mengapa aku berani menangis pada sosok yang mungkin saja aneh
terhadapku. Ah, aku tidak tau. Yang ku butuh sekarang hanya sebuah penghayatan
dan luapan rasa pahitku saja.
Aku merasa
marah. Merasa benci jua dongkol.
Bukan, ini
bukan pertama aku memendam perasaan ini semua. Sudah sepuluh tahun lamanya aku
memendam perasaan ini. Dan perasaan muak kembali datang ketika mendengar kenapa
mereka slalu menyalahkanku dalam segala hal. Tidak pernah memberiku sebuah
partisi dalam melakukan apapun.
2 Agustus 2014
Dan Jakarta
aku kembali. Aku bisa bernapas denganmu sekarang. Aku bisa meluapkan
amarahku sekarang. Aku juga bisa mempertahankan dinamis kehidupanku sekarang. Lihatlah
Jakarta, akan ku rubah bentuk hidupku yang keras ini. Akan ku bentuk perasaanku
ini semakin tangguh kembali.
Mari kita
berpaju. Akan ku buktikan pada mereka aku bisa hidup dengan damai disini. Setidaknya
begitu. Aku bisa bernapas tanpa memusingkan suara keras juga amarah dari
keluargaku yang membuatku mumet dan semakin tertekan. Mari Jakarta. Ajarkan aku
menjadi wanita tangguh yang kuat. Bentuk aku menjadi sosok wanita yang luar
biasa. Agar aku bebas memilih haluan tanpa terhalang. Memilah cara hidupku
dengan sendirinya.
Pada keluarga
besarku yang nyaris aku lupakan keberadaannya. Trimakasih telah menyambutku
kembali dengan linangan air mataku yang tak akan habis.
Aku...
Aku tak ingin kembali.
Mungkin!