Jumat, 31 Oktober 2014

Untuk-MU Tuhan



Ini bukan surat biasa Tuhan. Surat yang seperti orang lain tulisakan dalam diary hitamnya. Surat berceritakan kisah panjang dengan kesepiannya. Surat yang membuatnya merasa lebih tenang dan lebih baik dari sebelumnya. Bukan Tuhan, sungguh bukan.

Ini hanya sebuah kaliamat sederhana yang ku tulis beberapa detik tadi. Kalimat sederhana yang ingin ku curahkan melalui imajinasiku. Kalimat yang mungkin membuatku menjadi istimewa. Yah, begitulah setidaknya.

Kembali lagi ku katakan Tuhan. Oktober akan berlalu bersama hujan serta kenangan di dalamnya. Oktober yang kata mereka mungkin istimewa sebab tak ada hujan di bulan ini. Oktober yang penuh dengan kecerahan, katanya.

Untukmu Tuhan. Sederet kalimat indah ini kusisipkan bersama di dalamnya. Agar kelak jika nanti aku menemui bisa kurasakan indahnya dunia kecilku. Dunia yang merebut segala kekuasaannya tanpa batas sedikitpun.

"Jika suatu saat nanti ENGKAU izinkan aku meraih sebuah wadah berisikan sebening cahaya di dalamnya. Maka jangan pernah lupakan aku dengan siapa aku yang sebenarnya."

Dan sebuah kalimat indah melantukanku untuk apa aku. "Maka nikmat Robb-MU yang manakah yang telah engkau dustakan?"

Igfirli 







Jakarta, 31 Okt'14

Selasa, 28 Oktober 2014

'Cinta Sendirian'


This is a song

Inikah namanya cinta sendirian yang ku rasakan
Tiada keberanian menyatakan aku cinta
Hatiku yang malang
Teruslah bertahan jangan kau hilang
Buktikan cintamu teramat dalam
Meski harus cinta sendirian

***

Ini lagu kok galau banget yak? Apa kali gue yang galau. Tapi, ah gak juga si. Santai aja kali bro,. Hidup harus di bawa enjoi aja... santai... santai kaya di pantai :D
Ah, masa bodo lah sama lagunya yang jelas liriknya itu yang unik. Bukan unik si menurut gue mah biasa aja, hoho.. D
Oke lanjut aja, biarkan saja lagunya menarik telinga sesuka hati :D


Let's listen this song ;)


'Cinta Sendirian'
Syahrini dan Rully




Tahukah kamu aku mengagumimu
Dengan sepenuh hati
Hati yang tak bernyali


Inikah namanya cinta sendirian yang ku rasakan
Tiada keberanian menyatakan aku cinta
Hatiku yang malang
Teruslah bertahan jangan kau hilang
Buktikan cintamu teramat dalam
Meski harus cinta sendirian

Tiada pernah ku ingin dikeadaan ini
Melihatmu di pelukan hati yang lain
Namun apa daya bibirku tak bisa
Suarakan hati ini


Inikah namanya cinta sendirian yang ku rasakan
Tiada keberanian menyatakan aku cinta
Hatiku yang malang
Teruslah bertahan jangan kau hilang
Buktikan cintamu teramat dalam
Meski harus
Meski harus cinta sendirian


***

Baiklah...
Salam buat teman-teman ataupun sobat yang sedang di landa galau dengan lagu melow sobat :)




Jakarta, 27 Okt'14

Senin, 27 Oktober 2014

UNGU




Ungu itu indah
Ungu itu mempesona
Ungu itu menarik

Ungu itu...

Ungu itu memikat
Ungu itu mewarnai
Ungu itu memahami

Ungu itu...



Ungu itu jalinan kasih
Ungu itu jalinan rindu
Ungu itu jalinan sayang

Ungu itu...

Ungu itu ya ungu
Ungu itu ya warnanya ungu
Ungu itu ya ungunya ungu


Ungu itu...

Ungu itu unguku
Ungu itu kesukaanku
Ungu itu favoritku


Ungu itu...

Ungu itu ya aku


Jakarta, 27 Okt'14

Masa'?



Hallo kamu
Kamu yang slalu membisikkan rindu
Kamu yang slalu mengatakan rindu

Hallo kamu
Kamu yang hari-harinya biru
kamu yang setiap akhirnya biru

Hallo kamu
Kamu yang meraih abu-abu
Mengubahnya menjadi fatamorgana yang tak lagi kelabu

Hallo kamu
Kamu bilang i miss u
Masa'?
Yang benar saja

Kita jarang bertemu
Melihatku saja baru sebulan yang lalu
Kamu rindu?
Masa'?



Hallo kamu
Benar gak si?
Setiap malam kau memimpikanku
Wajahku menggelayut di fikiranmu

Masa'?

Jangan bohong
Nanti kau tak bisa lolos dari terowong
Makanya jangan bohong

Hallo kamu
Kamu lagi-lagi bilang i miss u
Artinya aku rindu kamu

Masa'?



Jakarta, 27 Okt'14






Jumat, 24 Oktober 2014

Ya, ini warnaku



Ya,
Sebuah aksara yang melengkung kemarin semakin terlihat
Menarik, mengombak 
Lalu ia mengepul menjadi satu

Ya,
Sebuah bait puitis kemaren masih sama
Alunannya juga masih merdu
Menjadikan tidurku semakin lelap dalam bisu

Ya,
Warna pelangi itu juga sama; mejikuhibiniyu
Menari di ambang pintu rindu
Lalu melukiskan senyum yang sulit ku tuju

Ya,
Seperti sebingkai momen waktu sebulan yang lalu
Dengan rona jingga 
Memeluk sukma yang kian membeku

Ia kembali layaknya surga yang entah dimana letaknya
Membawaku melaju ke dasar taman bunga
Ini warnaku jua warnamu
Aku kamu menjadi kita
Dan aku suka itu

Ya,
Layaknya benang layang-layang yang terbang ke angkasa
Melaju seiring arah angin
Hingga ia hinggap di dasar jantung

Dialah itu; biru muda nan merindu











Rabu, 08 Oktober 2014

Si Tuli Yang Bisu Dan Buta



Bisu
Mulut tertutup
Tak berbicara
Tak mengungkit 
Tak mengapa

Tuli
Telinga tersumpal
Tak mendengar
Tak mau apa-apa
Tak mengapa

Buta
Tak melihat
Tak memandang
Tak mau tau
Tak mengapa

Bisu
Tuli
Buta
Bisu
Buta
Tuli

Semua mengalir menjadi satu
Berjalan mengarah jadi satu
Mengeja dalam beku
Dua, satu, 
Dua lagi
Satu lagi

Menggigil
Aaaarrrggghhh...
Teriak 
Takut

Bisu 
Tuli 
Buta
Perih nan memerih

Dialah si tuli yang bisu dan buta





PENANTIAN


  
Mataku belum beralih dari danau di hadapanku. Suara gemirisik ombak kecil disana membuatku semakin tidak ingin berpaling sedikitpun. Ku lihat beberapa anak kecil memainkan air sambil tertawa riang. Mereka seperti tidak ada beban. Ah, aku ingin sekali merasakan hal yang sama. Membuang semua beban dalam fikiranku yang telah lama ku pendam. Merasakan kebahagian layaknya anak kecil disana. Tapi sepertinya tidak mungkin. Ini sulit terjadi.
            “Aku masih mencintaimu,” ujarku. Aku tidak berani memandang laki-laki disampingku. Aku takut melihatnya bahkan terlalu takut mendengar jawaban darinya.
            Laki-laki disampingku menarik napas. Mungkin dia memikirkan sesuatu.
            “Aku tau apa yang kamu fikirkan tentangku, Sam,” lanjutku. Kali ini ku perhatikan sosok Sam dengan segenap keberanianku. Tiga tahun tidak bertemu dengannya tapi tidak ada sedikitpun yang berubah. Matanya, hidungnya, bibirnya dan senyumnya masih tetap sama. Ah, aku semakin tidak bisa melupakannya.
            “Aku tau apa yang kamu rasakan, Sep,” ujarnya. Ia memandangku kemudian tersenyum. “Tapi aku tidak pantas untukmu.”
            Tidak pantas untukku?
            Kata-kata itu kembali memenuhi otakku. Ucapannya kembali mengorek luka lama. Tidakkah dia tau bagaimana sakitnya hatiku saat dia memutuskanku? Meninggalkanku tanpa alasan pasti.
            “Dulu, kamu juga pernah mengatakan hal yang sama, Sam. Tidakkah kamu tau bagaimana sakitnya hatiku.? Aku sudah memendamnya selama tiga tahun lamanya. Rasanya sakit sekali,” ku jauhkan wajahku darinya. Air mataku mulai jatuh, aku menangis.
              “Aku minta maaf, Sep. Maafkan atas kesalahanku.” Ia mencoba meraih tanganku.
            “Sudahlah, aku tidak akan memaksamu. Jika kau tidak mencintaiku ya harus bagaimana? Aku tidak mungkin memaksamu.” Ku jauhkan tanganku darinya. Aku tidak ingin luka itu semakin dalam.
            “Maafkan aku, Sep,” ia menarik wajahku mendekatinya.
            Awalnya aku menolak tapi lama-lama kelamaan aku membiarkannya.
            “Sebenarnya apa yang membuatmu mencintaiku? Lihatlah, masih banyak laki-laki disana yang mencintaimu melebihi cintamu padaku,” Sam mencari-cari jawaban disela-sela mataku. Tentu, aku juga tau itu.
            “Aku tidak memiliki alasan untuk mencintaimu, Sam. Yang aku tau aku hanya mencintaimu seorang bahkan sampai saat ini,” jawabku. Ku tarik wajahku darinya. Aku tidak ingin semakin tenggelam ke dalam mata itu. Rasanya sakit sekali.
            “Aku... “ Sam mengalihkan pandangannya ke danau di sana. Ia menutup matanya berlahan. Ada yang ingin di ucapkannya.
            “Papa...” ku lihat seorang anak kecil berumur dua tahun berdiri di hadapan kami. “Nana, mau makan pa,” pintanya. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang kekanan-kekiri.
            “Tunggu sebentar ya, sayang,” tiba-tiba seorang wanita yang tidak jauh umurnya denganku menarik lengan kecil itu.
            Aku menelan ludah. Rasanya getir sekali. Ku perhatikan mereka satu persatu. Ada apa ini?
            “Kita kapan pulang, mas?” wanita itu menatap kearah kami.
            Mas?  
            Degup jantungku semakin tidak karuan. Mungkinkah?
            “Tunggu sebentar ya,” jawabnya. Sam menatapku lalu tersenyum. “Kenalkan Sep, ini Naila, istri aku. Dan... ini Nana, malaikat kecil kami,” Sam menarik Nana kepelukannya.
            Ku lihat Naila tersenyum. Senyum itu seolah mengejekku. Aku benar-benar tidak tahan. Aku ingin beranjak pergi dari sini secepatnya.
            “Apa maksudmu?” kepalaku tidak bisa di ajak kompromi lagi. Aku benar-benar pusing, ingin muntah.
            “Maaf Sep, tadi aku lupa bilang sama kamu kalau aku sengaja mengajak kamu ke sini sekalian untuk mengenalkan istri dan anakku.” Sam meraih tangan Naila untuk mendekatinya.
            Aku benci senyum itu. Senyum yang menyakitkan. “Oya?” jawabku. Rasanya aku ingin meninju Sam saat ini juga. “Kamu pasti bahagia, Sam,” ku alihkan pandanganku pada Naila.
            Naila tersenyum.
            “Selamat ya, Sam,” mau tak mau aku mengukir senyum palsu. Ku jauhkan pandanganku ke danau disana. Danau itu seakan mengejekku dengan apa yang sedang ku rasakan. Ah, tidak... biarkan saja dia meremehkanku. Toh, dia juga tidak akan bisa mengubah kecewaku saat ini.
            Setega itukah kau padaku, Sam?
            Dadaku sesak.