Rabu, 04 November 2015

The Night



Malam kian berpaut dengan cahaya di pinggir jalan. Diiringi pacuan roda-roda yang saling bersahutan. Bersama dingin membahana keseluruh ruang di seluruh tulang rusuk tubuh. Menancap kesetiap syaraf lalu menenggelamkan ke dalam mata. Kali ini lampu jalanan seperti teman yang menegadahkan tangan lalu melambaikan kebahagian. Seperti mengucapkan, "selamat malam, kawan. Selamat datang kembali." Aku tersenyum. Lalu merekatkan pelukan hangat pada sosok di hadapan. Satu tangannya menarik lebih erat.

"Kenapa sayang? Dingin?"

Aku mengangguk di sisinya.

"Tunggu sebentar ya. Kita berhenti dulu." Ia memberhentikan laju motor kemudian turun.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang. "Kita mau ngapain?" tanyaku penasaran. Perasaan tak ada yang istimewa di sini. Ini juga bukan taman atau sejenisnya yang bisa di jadikan tempat berkencan.

"Hayu, ikut aku." Ia menarik tanganku.

Sejenak aku diam. Kaget dan benar-benar tidak percaya. Kupandangi wajahnya seserius mungkin. Aku tau dia bukanlah sosok yang romantis seperti yang lain. Bukan juga sosok yang terbilang berbasi-basi. Dia sangat jujur dan blak-blakan. Tapi malam ini satu kejutan yang mengangumkan berhasil dia lakukan.

"Kamu suka warna apa? Kamu bebas milih apa aja."

Semberaut matanya menyiratkan ketulusan yang dalam. Aku tak tau harus berkata apa. Barangkali aku bingung memilih yang mana.

"Aku mau yang warna merah sama pink," jawabku terkesan takjub. Aku masih belum sadar sepenuhnya.

"Merah sama pink doang. Kalau yang lain juga boleh."

"Gak, aku mau yang itu doang." Secepat mungkin aku menggeleng.

"Ya udah, kalau gitu. Tolong yang merah sama pink ya,  pak, jadi satu aja," pintanya pada pemilik toko. Pemilik toko langsung mengiyakan.

Sambil menunggu kuperhatikan lagi wajahnya. Benar-benar mengesankan. Dia ... meski tak romantis tapi tau kapan waktunya bersikap romantis. Trimakasih sayang untuk  malam yang menakjubkan ini. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu.







Ciputat, 05/11/2015 (12:36)

Rabu, 28 Oktober 2015

فى حاجات




فى حاجات تتحس ومتتقلش وان جيت اطلبها انا مقدرش

ولو انت عملتها بعد ما انا اطلبها يبقى مينفعش

فى حاجات تتحس ومتتقالش توجع فى القلب ومبتبانش

وافضل علطول تعبانه مابين طب اقولك ولا مقولكش

مقدرش اقولك غير كل طريقة حبك ليا

او غير عليا ولا فجأنى فى مرة وهاتلى هديه

الا عنيا بعمل حاجه انا مش عارفاها

مقدرش اقولك حلى الدنيا فى عينى وغير فيا

لو مهما كنت قريب منى وكنت قريب لياe

مقدرش اقولك شكل حياتنا اللى اانا عيزاها

اعرف لوحدك شكل حياتنا اللى انا عيزاها

اوقات بيبان انى سكت وهديت ورضيت واتعودت

مش معنى كده انك علطول تحسبنى انى استسلمت

وساعات بتحس انى زهقت مع انى بخبى انى تعبت

متوصلنيش ياحبيبى اقول ده ياريتنى اتكلمت



Rabu, 07 Oktober 2015

Semenit yang lalu ...




"A ... aku hamil, Mas," ujarku pelan pada sosok di hadapanku. "Aku hamil," ulangku lagi. Berharap sosok itu mengubris.

Tak ada jawaban bahkan ekspresinya biasa saja. Apa mungkin telinganya tuli? Pura-pura tidak mendengar.

"Mas, aku hamil. Haaaamil, Mas." Kutarik tangannya menghadapku. "Mas kenapa diam? Kenapa?"

Lagi-lagi hanya bisu yang kudapat. Dia tak bergeming sedikitpun. Kenapa? Apa yang salah? Bukankah kemaren dia akan berjanji untuk bertanggung jawab. Menikah denganku.

"Mas, bicaralah. Aku butuh kepastian." Kugoncang tubuhnya berkali-kali. Masih diam.

Kali ini airmata tumpah membasahi wajahku. Aku tak bisa menahan sakit yang menyelimuti rongga dada. Aku tak bisa menahan perih di dada. Aku tidak pernah berpikir akan mendapat jawaban yang nihil. Aku kalang kabut. Otakku terasa melepuh.

"Jawab aku, Mas. Jawab aku." Kugoncang tubuhnya kuat.

"Sadar, Nit. Istigfar.  Mas Yuda  udah gak ada . Mas Yuda udah meninggal."

Seseorang meraih pundakku untuk menjauh. Kupandangi siapa yang telah berani menarikku. Ternyata Ria, sahabat akrabku. Tanpa pikir panjang aku memeluk tubuhnya. Lalu menangisi apa yang telah terjadi.

"Aku hamil, Ria. Aku hamiiiil... "aku menangis sejadi-jadinya. "Aku cuman mau jelasin ke Yuda kalau aku hamil. Tapi dia sama sekali gak mau jawab."

"Sabar Nit, sabar. Kamu istigfar. Yuda sudah gak ada. Yuda udah meninggal seminggu yang lalu. Dia kecelakaan, Nita. Kamu harus terima kenyataan." Ria menyadarkanku dengan apa yang telah terjadi.

"Meninggal?"

Ria mengangguk.

Jadi, tadi siapa?

"Kamu terlalu banyak berimajinasi, Nit. Bagaimanapun kamu butuh hidup yang baru. Dan jabang bayi kamu harus kamu jaga sepenuhnya."

Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Kepalaku berdenyut hebat. Isi perutku meledak.

"Hueeekkk..." Aku muntah.




Ciputat, 08/10/2015 (12:36)

Sebulan lalu




Tepat sebulan yang lalu. Di sini, di tempat kita melabuhkan rindu bersama senja kelabu juga sorot lampu rumahan. Kau mengajariku apa itu rindu yang membisu. Bersama dingin serta gelapnya malam kau tunjukkan padaku wibawamu. Aku mengaung laksana singa kelaparan. Menerkam, memangsa, menggigit apa saja. Lalu selang beberapa detik kemudian berubah menjadi lembut bak miau yang di elus sang empu. Aku menggeliat manja di rebahmu.

Taukah kau apa yang berkecambuk di dadaku kala itu? Bagaimana mungkin kau berani merenggut milikku? Katamu, kau akan menjaga seutuh cintamu padaku. Sekarang, semuanya hilang. Tak ada yang bisa kusesalkan. Terkecuali sisa airmata yang tak bisa kembali.

Aku mencintaimu...
Bisakah kau lihat dari mata coklatku? Ketika kau redupkan pandangmu padaku. Ketika kau tuntun tanganku kepangkuanmu. Ketika kau rangkul aku kepelukanmu. Ketika apa yang kau pinta aku mau. Aku tak menyesal dengan yang berlalu. Ya, tak pernah. Hanya saja terkadang imajinasi itu merengkuh sebagian dari memoriku. Aku takut dan terlalu takut.

Kasih...
Bisakah kau datang padaku. Menggengam jemariku, memelukku hangat dalam pelukanmu. Lalu berbisik sendu.

"Percayalah, dua tahun bukanlah waktu yang lama untuk menunggu. Setelah itu, aku akan datangi dua orangtuamu untuk mengikrarkan sumpah setiaku. Berjanji menjadi suami serta sosok ayah yang setia untuk anak-anak kita nanti."

Kepadamu, aku rindu.




Ciputat, 08/10/2015 (12:27)

Minggu, 04 Oktober 2015

Selamat pagi, sayang.




"Selamat pagi, sayang."

Kukecup kening laki-laki yang sedang berbaring di sampingku. Ia menggerang, masih memejamkan mata. Kuelus rambutnya yang ikal. Lagi-lagi hanya gerakan dari tubuhnya yang manja. Aku tersenyum menatapnya. Sedikit kugeser tubuhku mendekatinya kemudian kudekap tubuhnya erat. Kali ini ia membuka mata menatapku lalu membalas pelukanku.

"Pagi juga, sayang," jawabnya tersenyum.

Aku sedikit tertawa. "Tidurmu nyenyak yah? Bangunnya ajah kesiangan."

"Oh yah? Emang udah jam berapa?"

"Sepuluh, sayang," bisikku nakal di telinganya.

"Masih pagi dan aku masih ingin menghabiskan waktu bersamamu." Ia menarik tubuhku kepelukannya.

"Kamu masih ngantuk? Gak lapar?" tanyaku berpura-pura.

Ia menggeleng. "Aku gak lapar. Aku maunya kamu." Matanya mengernyit manja.

"Serius?"

Tak ada jawaban. Sosoknya sudah melabuhkanku kedalam kehangatannya yang bisu. Aku tak bergerak. Rasanya urat syarafku berjalan tak sesuai aturan. Saling berbentur bersama magnet elastis. Membuat tubuhku terbujur lemas dan tak berdaya. Rasanya nikmat sekali bahkan untuk seumur hidupku ini pertama kalinya aku merasakan apa yang disebut relaksasi keindahan tanpa ada jeda-jeda yang bergantungan. Yang ada hanya sindrom kenikmatan tanpa satupun yang bisa kuucapkan. Tubuh seperti terhempas kedalam aliran sungai yang tak berpenghujung. Lalu berhenti di muara yang tak berpenghuni. Hanya berdua dan tetap selamanya.

"I love you," bisiknya lembut di telingaku.

Aku menggeliat manja.




Ciputat, 06 Okt'15 (11:45)

Kamis, 01 Oktober 2015

Kekasih



Kekasih
Jangan meminta lagi pada Tuhan tentang apa yang kau harap
Kau tau karna apa?
Karna aku sngat takut dengan segala yang ada

Kekasih
Jangan lagi meminta hal yang serupa
Kau tau karna apa?
Karna aku sangat takut untuk berkata apa

Cukup percaya sajalah kasih
Yakinkan cintamu untukku
Yakin hatimu sepenuhnya milikku
Semuanya akan menjadi lebih baik dari apa yang kau harap

Kekasih
Jangan meminta lagi
Aku terlalu takut dengan janji
Trauma kelak akan bikin sakit hati

Aku mencintaimu dan ini tulus
Aku menyayangimu dan aku tulus
Tak sedikitpun berpikir aneh tentangmu
Tak sedikitpun ingin berpaling darimu

karna aku yakin, kau tak akan lagi seperti dulu


Ciputat, 2 Okt'15 12:57

Setelah itu ...



Setelah itu
Aku ingin sekali merenggutmu
Mendekapmu lalu berbisik,
"Aku ingin membunuhmu."

Setelah itu
Aku ingin sekali merangkulmu
Memelukmu dalam hangat tubuhku lalu berbisik,
"Aku ingin mematikanmu."

Setelah itu ...

Banyak sekali yang kuingin lakukan padamu
Seumpama membakarmu
Menyiramnya dengan gas kemudian terkapar di hadapanku
Dan aku tertawa, lepas

Setelah itu
Aku ingin mematahkan urat dan syarafmu
Agar puas kurasakan
Dendamku berkurang dari ingatan

Setelah itu
Aku benar-benar ingin melakukan kekerasan terhadapmu
Biar kau tau betapa mirisnya hidupku
Betapa kasihannya jadi aku

Tapi setelah itu
Apa kau tau apa yang kurasakan?
Aku hanya takut
Tingkat depresiku semakin meninggi

Aku kalang kabut
Seperti tak ada yang bisa kulakukan
Jiwaku hilang
Tubuhku melayang

Bagaimana ini?
Apa yang semestinya setelah ini?
Aku tak tau, sungguh
Aku benar-benar bingung

Anggap normal saja setelah itu
Anggap baik saja setelah itu
Buang pikiran yang menyekat
Bakar semua yang meresah

Meski sulit
Meski pahit
Tapi semuanya akan kembali membaik
Percayalah! karna cinta dia tau tujuan utamanya


Ciputat, 2 Okt'15 12:48








AKU




"Bagaimana kalau kita lupakan saja. Percayalah, semua akan baik-baik saja."

Mataku hampir bernanah mendengar kalimat singkat namun menyanyat itu. Bagaimana mungkin bisa mengucapakan kalimat searogan itu? Aku ini punya hati, dan hati adalah perasaanku. Jadi, jangan salahkan jika aku sering mengeluh dan menangis.

"Kenapa? Ada yang salah?"

Gila. Ini benar-benar gila. Masih saja angkuh.

"Kau tidak akan pernah tau bagaimana AKU. Karna kamu bukan AKU." Sengaja kutekan kalimat AKU. Agar dia tau betapa sakitnya menjadi AKU.



"Aku tau apa yang kau fikirkan. Aku tau apa yang kau rasakan. Tapi, cobalah jalanin semuanya dengan normal. Jangan terlalu kau fikirkan. Aku takut kau malah stress."

Persetan! Aku hanya butuh obat depseri sekarang.

"Kau terlalu kekanak-kanakan," tambahnya seakan membaca fikiranku barusan. "Percuma kau berkata jorok. Toh, semuanya sudah terjadi. Dan tak ada satupun yang akan mengerti kecuali hanya aku. AKU. Kau paham'kan?"

Aku bungkam. Kali ini mulutku terkunci. Ya, benar saja. Tak ada yang mengerti. Tak akan ada yang bisa membangkitkan semuanya. Yang berlalu hanya tinggal bongkahan rasa cemas dan takut. Khawatir yang berlebihan.

"Berdirilah. Lihat aku, tatap aku," pintanya. Kali ini suara itu terdengar sangat lembut.

Aku berdiri. Kuperhatikan sekilas pantulan di cermin. Hanya banyangan wajahku di sana. Menatap kearahku dengan seksama. Jadi? Sejak tadi aku bicara dengan siapa? Kuperhatikan sekelilingku. Tak ada orang hanya aku sendiri.

"Kau bicara denganku."

Cermin di hadapanku berbicara, seakan menjawab rasa penasaranku.

Astagaaaa ... aku hampir pinsan.



Ciputat, 02 Okt'15 12:22

Selasa, 29 September 2015

Kau...!



Kau mengadu pada Tuhan tentang perasaanmu?
Agar kau tetap cinta padaku
Agar tetap berada di dekatku
Tetap bersamaku

Aku merasa terharu

Kau mengadu pada Tuhan tentang hatimu?
Agar tetap utuh buatku
Agar slalu bersamaku
Agar selalu berada untukku

Aku semakin terharu

Tapi kenapa kau mengadu hanya karna rasa kasihan padaku?
Apa kau pikir aku ini wanita lemah tanpamu?
Oh, itu membuatku merasa terkutuk
Seakan aku tak bisa hidup tanpamu

Aku sedih, sumpah!
Rasanya isi kepalaku membuncah
Kau seperti mempermainkanku selama ini
;lagi

Kenapa kau bilang aku mencintaimu
Kenapa kau bilang aku menyayangimu
Seolah dalam ucapanmu kau berikrar tak akan mengecewakanku
Seolah dalam ucapanmu kau berjanji tak ingin meninggalkanku

Kau tau?
Sesak sekali rasanya
Dadaku sakit
Hatiku kian rapuh

Apa yang kau mau?
Semuanya telah kau renggut dariku
Apa yang kau mau?
Semuanya telah kau ambil dariku

Apa kau akan meninggalkanku lagi?
Oh, jangan
Aku takut sekali, sungguh
Membayangkan saja aku tak mampu

Kalau begitu biarkan aku memohon padamu
Jangan pergi, tetaplah di sini
Bersamaku jalani sepinya aku
Aku hanya butuh kamu sampai batas akhirku



Ciputat, 29 Sept'15







Ah!



Ah!
Namanya juga cinta
Ini mau
Itu juga mau

Ah!
Namanya juga cinta
Kesana mau
Kesini juga mau

Ah!
Namanya juga cinta
Awalnya tak mau
Lama-lama bikin malu

Ah!
Aku tak tau
Setelah begini begitu
Menangis tersedu tak akan ada yang membantu

Ah!
Aku tak tau
Rasanya kepala waktu itu seperti batu
Makanya mau apa yang seharusnya bikin malu

Kali ini aku bingung
Ini itu sekarang rasanya bikin ambigu
Aku linglung seperti orang bingung
Otak kepalaku seakan bikin sinting

Ah!
Bodoh pun tak ada guna


Ciputat, 29 Sept'15

Kemari, sayang




Malam semakin larut sayang
Dengan denting jarum jam di dinding
Serta suara kala jengking di samping
Menjadikan malam kian merinding

Malam semakin larut sayang
Dengan rintik-rintik hujan merayap di cermin
Bersama kerlipan lampu yang saling menyapa di jalanan
Ada satu pesan yang ingin di sampaikan

Malam semakin larut sayang
Deru jantung kian melaju
Napas pun kian berpaju
Seakan ingin menikmati waktu

Kemari, sayang
Kita nikmati malam di atas awan
Berpaju bersama deru-deru roda di atas kepala
Nikmati hingga pagi menjelang kembali

Kemari, sayang
Kita paju malam dengan napas yang membara
Buang semua yang ada di dada
Nikmati setiap desahan yang ada

Tak usah hiraukan besok ataupun lusa
Yang ada teruslah kau buatku memimpikan malam yang tak berkekang
Mengecup setiap kejadian yang ada di benak
Ptar balikkan semua yang membuatmu limbuh di sana

Nanti, setelah kau puas
Mendengkurlah di sisi ranjang
Agar kubisa nikmati setiap helai napasmu
Serta aroma tubuhmu yang tak mau hilang dari ingatan



Ciputat, 29 Sep'15













Rapuh




Apa yang kau inginkan dari tubuh rapuh ini?
Hah!
Kau ingin mengecupnya?
Membelainya hingga puas

Apa yang kau mau dari tubuh yang rapuh ini?
Hah!
Kau ingin menyentuhnya?
Membawanya ke alam nikmat hingga puas

Tak ada yang istimewa dari tubuh ini
Yang ada hanya seonggok tulang berbalutkan danging
Nikmatnya hanya sesaat
Pahitnya sampai kiamat

Tak ada yang dapat di banggakan
Setelah puas toh hanya napas yang bergelak


Ciputat, 29 Sept'15

Semakin Sinting



Aku lupa bagaimana caranya berpuisi
Apa lagi saat seperti ini
Agar semuanya tak seperti misteri
Mengaung di benak sendiri

Aku lupa caranya bernyanyi
Setidaknya menghibur hati
Bagaimana memanjakan jiwa yang ingin lari
Agar tetap kuat dengan segala yang terjadi

Katanya, semua menjadi lebih baik
Tenang, atur napas, buang semua yang mengekang
Tapi semakin kunikmati otakku semakin sinting
Mengingatnya membuatku pontang panting

Kemana aku yang cupu dan tak kenal diri?
Kini harga diri hanya menjadi ilusi
Bodoh, begitu katanya
Jika sudah cinta taik kucing saja rasa coklat padahal bikin sengsara

Baiklah!
Mari kita nikmati musik alunan kota tua
Tepat bermainkan di tengah-tengah Jakarta
Menari, bernyanyi sambil baca puisi curahan sanubari

"Pecahkan saja gelasnya biar ramai."

Ciputat, 29 Sep'15 (21:22)
Created : Lya Herlya

Senin, 21 September 2015

MATI SURI SAJALAH



Mati suri sajalah
Toh, apa lagi yang kau inginkan?
Membantu negri saja kau abaikan
Kau hanya pandangi kejayaan

Mati suri sajalah
Penguasa seperti kalian itu seperi bedebah
Hanya inginkan jabatan tinggi lalu bergerak seperti habah
Membuat kami manusia miskin seperti sampah

Hei ,,,
Tak lupakah siapa yang naikkan jabatan?
Kita rakyat petaka yang memilih Tuan jadi sekarang
Karna dulu kami terlena dengan ucapan

Sekarang?
Melihat kebawah saja engkau enggan


Lihatlah!
Kotaku seperti negeri awan
Ada dimana-mana saat engkau berjalan
Naik roda bahkan pesawat terbang

Apa engkau puas?
Oh, no ...
Rasanya ingin sekali jilati lidah Tuan dengan pisau tajam yang baru di asah
Biar bernanah dan tau rasa bagaimana penderitaan mereka yang menghimpit resah

Kembalikan kotaku ke hijaunya hutan
Bersihnya pekarangan
Indahnya pemandangan
Harumnya sematkan semua yang datang

Agar nanti kami yang dari perantauan senang
Melihat kota kelahiran yang slalu di idamkan



"Dari seorang mahasiswi akhir semester."

Ciputat, 21 September 2015

Kamis, 10 September 2015

In Memory






Gelombang udara yang menarik-narik suara gemuruh pantai seolah meredupkan kehangatan yang terjadi di antara kita. Pukulan serta hempasannya menyapu gairah yang merombak-rombak di antara mata kita. Di tambah lagi cahaya bulan yang redup di atasnya menambah keharmonisan. Aku yang sedari tadi menahan napas di hadapanmu menunduk, malu. Hampir dua tahun lamanya kita saling mengenal, namun kali ini aku merasakan sesuatu yang menjalar di ujung hatiku. Aku tak berani menatap matamu, sungguh.

"Lihat aku." Kau mengulangi katamu sembari menaraik daguku menghadapmu.

Aku menggeleng. Tak ada keberanian kali ini.

"Lihat aku, sayang."

Kali ini kuberanikan diri menatapmu. Ah, aku merasakan jantungku semakin berdegup kencang.

"Baru kali ini kau berani menatapku. Selama ini kau hanya menunduk."

"Aku kan malu," jawabku tersipu. Kulihat kau tersenyum.

"Apa yang membuatmu percaya padaku?"

Sejenak aku terdiam. Pertanyaan yang mudah namun sulit di jawab. Kupandangi wajahmu. Kalau boleh jujur kau sosok yang sangat biasa.

"Aku sudah pernah bilang padamu kan? Kalau aku ingin merubahmu menjadi lebih baik. Yah, walaupun aku tau aku bukanlah sosok yang baik. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi."

Kau hanya diam. Tak ada ekspresi bahagia di sana.

"Lalu, apa yang membuatmu cinta padaku? Kau tau? Masih ada wanita yang lebih di luar sana."

Ekspresimu masih tetap sama. Diam dan menatapku. Aku menelan ludah. Pahit. Aku menunggu jawabanmu dengan jantung yang semakin melaju. Bukankah beberapa hari ini aku dan kau sudah bukan menjadi ABG lagi? Malah lebih dari batas yang kuduga.

"Karna aku mencintaimu."

Sederhana, namun mampu membuatku tak bertenaga. Aku luluh di dadamu. Tubuhku lemas seketika. Kali ini, aku memelukmu erat. Takkan kubiarkan kau berlari kemanapun. Takkan kubiarkan kau menjauh kemanapun.

"Aku mencintaimu, Lya."

Tuhan ... biarkan aku mendekap mahklukMu ini sampai batas Engkau merobek napasku. Sebab, aku mencintainya. Untuk itu biarkan aku tetap mencintainya dan dia tetap mencintaiku selamanya.




Poktunggal in memory :-)

Ciputat, 09/09/2015

Jumat, 07 Agustus 2015

Dan. Lagi



Jadi?
Beginikah namanya resah?
Saat masalah membuncah
Teman yang mana yang bisa datangkan pundak serta tangan

Jadi?
Beginikah namanya lelah?
Ketika otak buntu dengan beban
Teman yang mana yang bisa datang menenangkan

Tak ada ...
Dan aku lebih memilih diam
Memendam semua yang terselubung di dada
Yang menekan-nekan sukma

Kupendam. Lagi
Bukan tak ingin bicara
Hanya saja ucapku akan menghambat semua
Maka diamkan semua cara yang indah

Meski sakit
Sakit sekali
Seperti menguliti ari
Mengorek-ngorek hati

Mana?
Mana mereka yang ingin mendengar?
Aku ingin bercerita sebentar saja
Agar lelahku bisa menghilang meski sedikit

Tak ada ...
Dan tak pernah ada
Hingga kupendam dalam sukma
Membengkak lama-lama

Bukan ku tak percaya Tuhan
Terkadang masalah juga butuh teman
Untuk itu biarlah aku seorang
Pendamkan. Lagi


Ciputat, 08 Agustus 2015

Sekali Saja




Tak ada yang membenci hidup
Dengan segala pelik yang mencumbu
Dengan semua benang yang mengusut
Serta makian yang beranjak memungut

Dan begitu aku
Hidup seperti di lilit belut
Membuatku bosan dengan segala pekat yang membuat otak nekat
Menjadikan semua serba boneka yang melepaskan penat

Aku tak membenci hidupku
Tentu sja tidak
Sebab Tuhan anugrahkan kedua orang tua lengkapku
Tapi, rasanya mereka menghambat nadiku

Aku terkecat
Pada semua masalah yang melilit fikirku
Sepuluh tahun!
Bukankah itu lama?

Oh...
Barangkali ada yang lebih
Menyangkal segala yang berfikir
Mengira aku orang asing

Aku muakkkkk ...
Aku muaaakkkk ...

Muak dengan hidup yang terlalu mengekang
Membuatku berfikir ulang
Membuatku berasa mati tertekan
Membuatku lagi-lagi kekang

Aku ingin baik saja
Sekali saja
Bernafas dalam jeda lama
Ya, sekali saja


Ciputat, 08 Agustus 2015


Kamis, 09 Juli 2015

Sepasang Hati Itu...




Sepasang hati itu...
Tidak hanya seperti merpati yang slalu bersama kemanapun pergi
Tidak jua seperti matahari yang slalu menyinari pagi
Tidakpun seperti purnama yang datang kala malam menghampiri

Sepasang hati itu...
Kadang kala seperti kopi 
Pahit di tegukan pertama
Pahit lagi di tegukan ketiga 
Lalu manis di tegukan terakhir

Jua seperti teh hangat
Manis awalnya
Nikmat rasanya
Namun kadang kala ia membuatmu tersedak 

Sepasang hati itu...
Bisa sekali jadi kopi
Perlihatkan manisnya di awal tegukan 
Dan ternyata ampasnya slalu saja ada di tegukan terakhir

Jua seperti teh hangat lagi
Panasnya bisa saja melukai lidahmu
Sembuhnya tidak bisa terobati sehari dua hari
Namun bisa berkali kali

Sepasang hati itu...
Bagaimana kamu menyikapi hati
Memberi tau bahwa kalau separuh hatimu berlawanan denganmu
Tapi untuk terakhir kali dia akan slalu menjadi yang terbaik untuk dirimu  

My 23th Years Old



Untuk 23 tahunku yang kian berlalu
tak ada yang lebih istimewa selain doa yang slalu bergulir
menceritakan pada Ilahi bagaimana hari berlalu
Tiap perkara detik yang tak bisa kusentuh

Untuk 23 tahunku yang kian berlalu
Dengan lincah jemari kian menari di ambang pintu
Menyanyikan lagu-lagu pertemuan kalbu
Lalu ia menjelma menjadi sepucuk rindu

Untuk 23 tahun yang kian berlalu
Ilahi kirimkan berbagai indah di kehidupanku
Kamu, dia, mereka dan semuanya
Aku mencintai melebihi kata demi perkata

Untuk 23 tahun yang kian berlalu
Sambut senym yang penuh sejuk
Satu, dua, tiga dan seterusnya
Menjadikanku lebih baik untuk lagi dan lagi

Untuk 23 tahun yang kian berlalu
Trimakasih karna slalu menjadi pelangi yang mewarnai hidupku yang kelabu
Menjadi mentari untuk setiap hari \
Jadi purnama penyinari gelap dunia hati

Untuk 23 tahun yang kian berlalu
Ilahi kirimkan indah pada pemilik separuh hati
Trimakasih syukurku



Jakarta, 10 Juli 2015 

Kamis, 07 Mei 2015

Bayang

    

Kerap dalam ilusi sebuah jejak menghantui
Diam mengikat langkah agar berhenti
Selepas petang yang datang menghamipiri
Bersama senja yang tak berwarna ranum lagi

Dalam jenjang yang kuikatkan tali
Dalam langkah yang memang tak bisa kukendali
Aku mulai mengutuk diri
Selepas malam yang beranjak pagi



Inikah yang di sebut bayang kemarin?
Kerap menghantui jalananku yang sepi
Seperti lintah yang menggigiti kulit ari
Membuatku merintih pada nasibku sendiri

Duhai Robbi...
Di separuh malam ini bolehkah aku menangis?
Meratapi khilaf dan dosa yang membayangi
Agar separuh hati ini suci kembali
.
Semoga Engkau ampunkan diri ini



Jakarta, 07 Mei 2015


Kamis, 30 April 2015

Dia Itu






            Dia itu tidak akan pernah memberi tahu kapan dan kemana dia seharian. Tidak akan pernah memulai percakapan. Tidak pernah memberi kesan menyenangkan. Tidak pernah tau cara romatis pada pasangan. Benar-benar dingin.

            Dia itu harus aku duluan yang memulai. Dari mana saja? kemana saja? lagi apa? Apa kabar? Bagaimana harimu? Sehatkah? Dan seterusnya. Dia benar-benar kaku dan tidak tau cara membahagiakanku meski dengan satu patah katapun. Tidak pernah.

            Dia itu laki-laki dingin dan terkesan tidak peduli. Tidak ada kejutan setiap kali bercerita. Tidak ada kalimat pendiri kekuatan ketika aku lagi bosan. Bahkan dia benar-benar tidak peduli. Aku bingung harus bagaimana. Aku tak tau bagaimana menghadapinya. Bahkan menurutku dia sangatlah kaku.

            Dia itu membuatku pusing. Entah apa yang sedang dia fikir. Saat aku sedang memakinya dengan kalimat saat itu dia akan merespon kemudian kembali diam. Ketika aku memujinya dia akan menjawab lalu kembali diam. Lantas? Haruskaha aku berlari dulu agar dia tau bagaimana sulitnya aku berjuangan dengan semua kekuatanku? Haruskah aku berlari terlebih dulu agar dia tau bagamana caraku menyibukkan diri ketika tak ada kabar darinya? Haruskah begitu. Haruskah?

            Dia terkesan cuek dan jutek. Tak pernah perhatian walau hanya sedikitpun. Sosok sepertinya harus menyediakan seribu karung kesabaran. Meninggikan rasa kesabaran serta menurunkan emosional. Tahan amarah adalah jalannya. Bicara lembut adalah caranya. Setidaknya begitu.

            Dia itu membuatku hampir frustasi setiap harinya. Bisa kau bayangkan bukan? Dengan jarak jauh yang menguji kepercayaan. Dengan jarak jauh yang menguji kekecewaan, dengan jarak jauh yang melapangkan dada. Menghadappi orang sepertinya ku butuh banyak usaha. Ya, dan tentu saja. namun, aku berusaha semampuku membuka mata dengan apa yang telah kulakukan. Dengan caranya yang setiap harinya cuek, acuh tak acuh serta tak peduli padaku aku bisa belajar. Bahwa mencintai bukanlah tentang memberi kabar setiap hari. Bahwa mencinta bukanlah tentang memberikan tawa setiap perbincangan. Bukan itu. Tentu saja bukan. Bahwa cinta itu adalah kedewasaan. Bagaimana menghargai satu sama lain, bagaimana cara menghadapi pribadi masing-masing tanpa harus memberikan emosi. Tanpa harus mengutamakan amarah. Karna cinta itu pengertian bukan tentang kelabilan.

            Dia itu... laki-lakiku dengan misterius yang mengangumkan.

            Love you :*




Jakarta, 30 Apr. 15

Rabu, 08 April 2015

Hujan Pukul Satu



Kali ini langit masih sama
Udara dimana-mana menjadi penyeruak jalanan
Berteduh di tempat biasapun percuma
Kerna kering kerontang yang akan di dapat

Pada langit yang juga gelap
Hujan mulai turun di perbatasan jalan
Becek, kotor dan berbau amis
Tak ada wewangi yang menyengatkan hidungku yang belang

Tengah dua belas berlalu
Sudah jelang siang dengan matahari di atas kepala
Keramas kepala di buatnya
Panas dan tak bisa dipenjarakan

Angin kembali berlalu
Membawa hujan pukul satu
Setapak jalananku di buatnya kelu
Aku terpaku lagi dalam bisu

Hei!
Kau tau?
Aku mencoba menghapus alur yang di terpa beling-beling di atas pagar kantorku
Tapi tetap saja tak bisa Tuan

Dan kuhapus sedikit petasan hujan di luar ruangan
Berharap sisanya tak menghapus senyuman
Kerap juga langkah yang tak akan kubiarkan berjalan
Agar tetap bersemayam dalam ingatan

Namun percuma Tuan
Aku tak bisa



jakarta, 09 April'15



Just Happen




“Apa kabar kak?” sebuah pertanyaan yang menurutku basi dan benar-benar basi. Tapi kali ini aku benar-benar bingung memulai percakapan dari mana. Setahun tidak pernah berkomunikasi membuat jarak di antara kami terasa aneh. 

“Alhamdulillah baik. Lya apa kabar?”

Suara itu masih sama. Hanya ada sedikit yang berbeda. Ataukah mungkin sekedar perasaanku saja.

“Baik juga kak,” jawabku. Kutarik napas berlahan kemudian menghembuskannya lebih pelan.

Pukul 22.30 Wib tadi HP di samping tempat tidurku berdering. Dengan mata yang masih mengantuk aku berusaha meraihnya. Sekian detik kudengar suara yang dari tadi kujawab terasa aneh. Ini bukan suara laki-laki itu, bukan. Lalu siapa? Kuperhatikan nomor di layar. Nomor baru. Tapi tunggu? Bukankah dia? Astagaaa... kak Wan. Sosok laki-laki yang pernah mengisi relung hatiku tiga tahun dulu. Dia menghubungiku?

“Hei, kuliah dan kerjamu lancar?”

Aku bangkit dari lamunan. “Lancar. Alhamdulillah semuanya lancar,” jawabku memperbaiki posisi. “Kok ribut ya kak. Kakak lagi dimana?”

“Masih di tempat kerja Lya.”

“Tempat kerja? Loh, kok malam?”

“Biasa. Aku sekarang jadi laki-laki karir,” jawabnya tertawa. Membuat suasana di antara kami semakin cair.

Aku ikut tertawa. “Aih, ada-ada aja. Aku yang wanita karir dan sudah punya pengalaman dibanding kakak biasa aja,” pungkasku sedikit menahan tawa.

“Kakak sifh malam Lya. Jadi pulangnya agak larut malam. Di sini juga masih ramai, ribut.”

Suara itu... aku seakan masuk ke dalam dimensi lalu. Aku yakin sosok itu sudah banyak berubah dari dulu.

“Apa kakak masih marah padaku?” Ya, ini pertanyaan yang sudah lama ingin kutanyakan. Apa dia masih membenciku? Kutarik guling di dekatku kemudian memeluknya. Kurasakan angin di ruangan semakin panas. Aliran darahku semakin melaju. Aku bukan takut, sungguh. Hanya saja aku tidak ingin dia terlalu membenciku.

“Marah?” tanyanya menakan kata-kata.  

“Kita sudah menjadi masa lalu kak. Tidak perlu menanam rasa benci terlalu lama bukan? Aku memang salah, tapi setidaknya bukan aku saja yang merasa salah. Itu sudah keputusan dan bagaimanapun kita harus menghargainya.”

“Aku tidak pernah menyalahkanmu Lya. Semua sudah brlalu, setidaknya begitu. Dan aku malah senang kau masih ingin menjawab telponku.”

Aku tertawa pelan. Dulu, setelah putus aku memang tidak pernah menjalin komunikasi dengannya. Bahkan aku benar-benar benci bila mengingat namanya.

“Sudahlah kak, untuk apa mengingat masa lalu,” pungkasku. Aku tidak ingin larut lagi ke dalamnya. “Oh ya kak, kalau ada waktu mainlah ke tempatku, tapi jangan lupa bawa makanan ya, hehe...” Aku tertawa. Mengubah suasana lebih baik agar tidak merasa canggung.

“Makanan?”

“Aih, sudahlah! Kali ini aku yang minta. Biasanya aku gak pernah minta.” Jujur saja, sewaktu bersamanya dulu aku memang jarang minta ini itu. Bukan karna malu tapi harga diri lebih utama menurutku.

“Nanti ya, kalau ada waktu luang aku bakal main ke tempatmu sekalian silaturahim.”

“Aku bercanda kak jangan terlalu serius. Tapi kalau kakak mau main silahkan. Aku tunggu,” ujarku.

“Iya, aku tau Lya.”

Beberapa menit suasana menjadi hening. Aku lebih banyak diam. Rasanya ini memang aneh. Aku berharap setelah malam ini suasana di antara kami akan jauh lebih baik lagi.

“Aku tidur dulu ya kak. Besok pagi aku harus bangun pagi-pagi untuk kerja. Salam untuk Ibu, tolong katakan padanya aku merinduinya.”

“Iya, insha Allah. Nanti kakak sampaikan.”

Dan malam semakin menjelajahi separuh napasku. Seiring detak jantung yang kian menggebu bersama udara di sekelilingku. Dia... laki-laki yang baik yang pernah hadir. Dia... laki-laki yang baik yang berhak untuk mendapat yang lebih baik. Dia... semoga kelak menjadi lebih baik lagi.

Kupejamkan mataku bersama iringan musik yang slalu kuputar melalu HP kesayanganku.




Jakarta. 07 April’15










Selasa, 24 Maret 2015

Kau tau?







Kau tau mengapa aku suka sekali dengan menulis? Menulis adalah sebagian dari perjalanan hidup. Yang tak perlu di dengarkan orang lain. Tak perlu di komentari orang lain. Cukup berkeluh kesah serta memuntahkan semua yang terjadi di dalam otak. Tak akan ada yang mengeluh dan marah. Tak ada seorangpun yang akan memakimu. Tak seorangpun, aku yakin.

Menulis seperti mengikuti setiap gerak-gerik hati. Ya, karna menulis adalah isi hati. Tak ada yang lebih jujur selain tulisan. Ia slalu menerima muntahan isi perutmu, ocehanmu, amarahmu, bahagiamu, sedihmu, senangmu, segala sesuatu yang berkaitan dengan hidupmu. Sungguh, takkan pernah membencimu.

Tidak dengan yang lain, terkadang mereka menerima ucapanmu, mengiyakan, memberi masukan namun diam dan pelan ia menghunuskan pisau di punggungmu. Kau... bisa jadi korban yang kesekiannya.

Menulislah! Sebab tulisan tidak akan pernah hilang sepangjang zaman.







Jakarta, 25 Mar’15


Kekasihku




Kekasihku...
Tidakkah kau rasakan basah tanah di tempatmu karna gerimis hujan sore ini? Membawa sejuta percikan rindu yang kukayuh bersama dermaga biru. Di sana, di sudut kota yang penuh dengan para pecundang serta musisi jalanan.

Kekasihku...
Tidakkah kau rasakan kerasnya angin di sore ini? Saling berebut mencari tempat tuk menghampiri. Menyampaikan kisah rindu yang kusimpan rapat di dadaku. Beserta gerakan irama bersambut siulan angin malam. Kemarilah... kita dawaikan angin yang mulai menepi di penghujung senja. Akan kuajari kau bagaimana namanya bercinta dengan ritma.

Kekasihku...

Tidakkah kau rasakan siulan merpati di kotamu? Nadanya pelan menghantarkan melodi di ujung cerita rindu. Kukatakan aku merinduimu tanpa sebab musabab yang dikatakan orang percuma. Tapi, taukah kau kekasihku? Di antara sore yang beranjak malam serta berganti pagi ada sebuah cerita yang diam-diam kusembunyikan sebelum fajar menghampiri. Kukutipkan di secarik kertas di atas kanvas hidupku. Di dalam setiap munajat do’aku, kupinta pada Tuhan agar kelak kau membawaku pada tempat yang di sebut sebagai singgasana mahligai indah. Kelak, di sana kita akan bebas terbang serupa pasangan merpati yang bergurau sepanjang hari.

Kekasihku...
Sore ini, dengan aroma tubuh bumi yang di basahi angin serta sisa hujan tadi. Ku do’akan dirimu menjadi pertama dalam dekapan hidupku. Menjadi sosok pemberi semangat setiap kala kuterjatuh. Semoga Tuhan slalu melindungimu dalam hari.

Aku dan sejuta rindu di kota padat kini menantimu. I miss you :)




Jakarta, 23 Mar’15


Hujan di Akhir Maret





Kututup lebih rapat pintu yang melindungi kamarku dari dingin yang menarik-narikku sejak pukul lima sore tadi. Berharap angin yang mulai menerobos dedaunan di depan rumah tetanggaku takkan terbang singgah ke depan teras. Selang lima menit, kutarik sebuah jaket yang tergantung di belakang pintu dekat kamar tidur lalu kueratkan keseluruh tubuhku. Kenapa angin di luar sana seakan masih mampu menguliti tubuhku? Menjalarkan dingin yang membuat tubuhku serasa berada di bawah nol derjat celcius.

Kurapatkan tubuhku kedinding. Kupeluk kedua lututku dengan tangan kosong lalu menenggelamkan kepalaku di dalamnya. Ada yang lebih dingin di banding angin yang kini berganti dengan hujan di luar sana. Ada yang lebih dingin dan pekat di banding hujan serta guntur yang bersahutan di luar sana. Ada. Sesuatu yang menerobos kulit ariku lalu berlahan mengalir lewat darahku dan bercampur dengan napasku. Sesuatu yang membuatku terasa semakin sesak dan sakit. Kucoba menahan kepalaku lama di atas lutut. Aku ingin berlama-lama melakukan hal ini. Aku ingin menahan dadaku yang sesak di dalamnya. Aku ingin sekali menenggelamkan dengan apa saja agar sesakku segera hilang.



Dua jam berlalu namun hujan tak kunjung reda. Bukankah akhir Maret tak pernah berakhir dengan hujan? Hujan slalu berakhir di akhir tahun. Dan semua akan kembali di hiasi terik matahari. Kugeser sedikit penutup jendela kamar yang menghalangi pemandangan. Hujan masih saja belum bersahabat. Sekarang hanya ada aku dan sepi. Tak ada yang ingin menemani selain hujan di sana. Kuraih tas lalu mencari benda yang slalu kubawa kemanapun. Kosong. Tak ada pesan, tak ada BBM tak ada panggilan. Akhir bulan slalu saja berhasil membuatku galau. Dan kata-kata bodoh slalu menjadi kutukan tersendiri buatku. Dasar! Umpatku kecil.



Kau tau Maret?
Satu bulan sebelum kau datang seolah menjadi kenangan tersendiri bagiku. Februari namanya. Bulan dengan Valentine di dalamnya. Dan para remaja seusiaku atau mungkin di bawahku juga di atas umurku slalu menyukainya. Tapi tidak denganku, sungguh. Tentu saja alasan yang tepat karna aku adalah seorang muslimah dengan jilbab yang masih merekat di kepalaku. Meskipun sebenarny aku masih jauh dari kata baik, tapi setidaknya untuk aturan agama aku masih tau untuk menjalankannya. Ya, begitulah sekiranya. Dan alasan yang lain aku tidak ingin menyebutnya. Sungguh! Mengingatnya sama halnya dengan merebus udara di sekeliling dan berubah menjadi racun mematikan. Dan aku benci setiap kali mengingatnya.

Ferbruari dan Maret. Dua bulan yang masih saja ingin melaju dengan hujan. Hujan dengan genangan air mata di dalamnya. Hahahaha... aku tertawa boleh? Hei, jangan ledek aku dengan sebutan orang bodoh karna yang mengataiku bodoh hanya aku seorang dan aturan yang lainnya telah kutulis dengan kata, ‘not for other.’ Baiklah, kembali ke hujan. Hujan yang belum juga reda dengan kilat yang bersahutan di atasnya. Barangkali ia ingin balas dendam dengan sebutan banjir di dalamnya.

 Kau tau Maret? Ini sudah akhir. Aku ingin mengakhiri bulan di dalamnya dengan sebutan April. April dengan kelahiran tanggal baru. Dengan kelahiran semangat baru. Dengan kelahiran nuansa baru. Untuk itu Maret, jangan menangis lagi. Tutuplah bulan ini tanpa hujan di dalamnya. Tanpa gemerisik langkah yang di derai gemercik langkah indah. Tetaplah menjadi Maret dalam doa nan tanpa sisa air mata.

Selamat akhir Maret hujan di akhir Maret.




Jakarta, 23 Mar’15









Rabu, 11 Maret 2015

The Heart Wants What It Wants







You got me sippin' on something
I can't compare to nothing
I've ever known, I'm hoping
That after this fever I'll survive
I know I'm acting a bit crazy
Strung out, a little bit hazy
Hand over heart, I'm praying
That I'm gonna make it out alive

The bed's getting cold and you're not here
The future that we hold is so unclear
But I'm not alive until you call
And I'll bet the odds against it all
Save your advice 'cause I won't hear
You might be right but I don't care
There's a million reasons why I should give you up
But the heart wants what it wants

You got me scattered in pieces
Shining like stars and screaming
Lightening me up like Venus
But then you disappear and make me wait
And every second's like torture
Hell over trip, no more so
Finding a way to let go
Baby baby no I can't escape

The bed's getting cold and you're not here
The future that we hold is so unclear
But I'm not alive until you call
And I'll bet the odds against it all
Save your advice 'cause I won't hear
You might be right but I don't care
There's a million reasons why I should give you up
But the heart wants what it wants (x4)

This is a modern fairytale
No happy endings
No wind in our sails
But I can't imagine a life without
Breathless moments
Breaking me down down down

The bed's getting cold and you're not here
The future that we hold is so unclear
But I'm not alive until you call
And I'll bet the odds against it all
Save your advice 'cause I won't hear
You might be right but I don't care
There's a million reasons why I should give you up
But the heart wants what it wants (x4)

The heart wants what it wants baby






Selasa, 24 Februari 2015

Pada Detik Ke Tiga





Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Pada warna marun yang menjadikannya tiada menjadi ada. Aku jatuh cinta padanya.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Pada warna marun yang menjadikannya tiada menjadi sempurna. Aku jatuh cinta padanya.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Senja yang merona dengan kilaunya yang hampir sempurna. Tanpa cacat sedikitpun, tanpa luka sedikitpun. Aku jatuh cinta padanya.
Pada senja yang menghampiri malam. Pada senja yang menyemburatkan percikan kilauan emasnya ke seluruh jagat raya. Aku jatuh cinta padanya.

Pada senja yang menghangatkan sukma. Pada senja yang bisa kau raih di pucuk gunung di perbatasan Sahara. Aku jatuh cinta padanya. Pada warna yang tak lagi sepekat mentari yang menyiratkan panasnya. Pada warna kemilau nan memekatkan prahara.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kau sebut sebagai senja. Pada pekatnya, meski kutau senja yang kau maksud akan kembali pada malam berikutnya. Pada malam yang kemudian menghadirkan pagi, lalu kembali bertemu bersama mimpi. Tak mengapa, aku tetap suka senja. Senja yang menghantarkan pelangi pada kelopak mataku yang binarnya kian merekat dengan seonggok rasa peduli pada hati yang tersisih. Aku tetap suka senja. Senja yang kumaksud sebuah penantian antara malam yang beranjak pagi. Menunggu waktu, berputar kembali lalu bertemu lagi.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kau sebut sebagai senja.



Jakarta, 24 Feb’15


Senin, 23 Februari 2015

(BUKAN) RINDU MATI




Rinduku tertahan angin malam
Pada semilir rumput yang bergoyang
Pada bingkis purnama yang menghantarkan mimpi jalang

Rinduku tertahan angin malam
Pada bunyi kerincing gelang bidadari bermata sipit
Pada nyanyian yang di iringi dentingan gitar di separuh pagi

Rinduku tertahan angin malam
Pada kerlipan bintang yang tak ingin berjalan
Pada sunyi kendraan yang lalu lalang
Pada hati yang terpaut mati



Rinduku terpaut sepi
Pada perangkap hati
Pada detak jantung yang tak lagi mengalir deras
Pada sesak napas setiap kali mendengar denyut nadi

Aku tak berani beralih lagi
Pada lain hati
Pada hati yang ingin jatuh hati
Pada sepi yang membawa mati

Rinduku mati
Pada titik yang tak pernah terputus
Pada sebongkah harapan yang menjadi mimpi
Aku mati pada rindu sendiri



Jakarta, 23 Feb’15