Ah, aku
ingat. Aku ingat apa saja yang terjadi di antara kita. Aku ingat apa yang slalu
kita bicarakan setiap kali matahari yang menyengat itu berganti dengan biasnya
sang purnama lalu menjadi teman paling setia di antara kau dan aku. Tentu aku ingat
tentang apapun itu. Begitu juga musim yang
kini berganti. Waktu yang sebenarnya ingin kulewati semakin menepi. Katamu, ya,
lebih tepatnya ucapanmu slalu menjadi bisik-bisik di telingaku. Entah kau
percaya ataukah tidak aku tak peduli. Yang pasti aku tidak pernah berdusta pada
diriku sendiri.
Sudah
pernah kuceritakan sebelumnya. Bahwa jarak ialah benih dari penantian. Dan aku
sabar untuk menanti. Terlalu bodohkan jika kukatakan aku ingin menantimu?
Terlalu bodohkan jika kukatakan aku hanya ingin menunggumu di saat yang tepat
untukmu dan aku? Aih, ada-ada saja aku. Aku benar-benar telah masuk ke dalam
perangkap yang aku sendiri tak ingin ke kembali. Tak mengapa, jika perangkap
itu ialah kau.
Hei... Kau
tau? Malam itu, malam tepat pergantian tahun baru. Malam yang kata mereka
sebuah keindahan dengan petasan serta hamparan kembang api yang menari-menari
di langit. Sangat mempesona, sangat menakjubkan, sangat berkesan, sangat
menawan. Tapi tidak denganku, sungguh. Jika saja aku bisa memutar balikkan jam
yang berdentang di dinding sana, pastilah akan kuulangi waktu semenit yang
lalu. Ya, hanya semenit... kau tau kenapa? Saat itu mataku tak beralih dari
handphone di tanganku. Aku sama sekali tidak bisa membuka kontras mataku dengan
sangat jelas. Bukan karna penglihatanku yang semakin rabun. Tidak! Melainkan
suatu harapan di dalamnya. Kau akan memberi tahuku tentang malammu yang entah
dimana letaknya. Kau kabarkan bagaimana kau melihat petasan yang sengaja kau
gaduhkan dengan tawamu. Hanya itu saja. Namun, lagi-lagi aku menopang sebuah
kehampaan berbalut gelisah. Kubuang jauh rasa itu bersama tumpukan kobaran api
di hadapanku. Bersama asap yang kian melambung mengalahkan kembang api yang
meliuk-liuk lalu pecah di angkasa. Berharap dalam hati kau akan melihatku meski
hanya lewat jarak jauh. Ya, itu saja.
Dan waktu
kembali berlalu...
Dua hari
kemudian. Ah, lagi-lagi terbawa perasaan. Sungguh menyebalkan! Aku tidak pernah
merasakan hal seperti ini. Sebuah pemikiran yang membuatku linglung. Aih, perasaan
ini bermainkan hati yang akhirnya galau sendiri. Apa kau tau? Sebenarnya aku
ingin memintamu ke sini, ya, kemari. Sebelum pergantian kalender baru yang
nanti akan banyak terpampang dimana-mana. Ingin memintamu datang ke tempatku
untuk menyaksikan kobaran petasan api yang bewarna-warni. Bersama riuh dan
gaduhnya kota Jakarta yang menyesakkan jiwa. Bersama lampu-lampu di pinggir
jalan serta roda-roda kendraan yang lalu lalang. Namun mulutku kaku, aku tak
mampu mengatakan padamu untuk datang padaku. Aku terlalu takut melakukannya.
Dan pada akhirnya, aku memilihmu untuk melanjutkan pertualanganmu. Pilihan yang
sulit memang namun aku harus bersikap tegas. Toh, aku yakin suatu nanti bukan
jam ini, detik ini, lebih tepatnya nanti kau hadir di setiap hari. Untuk itu,
tetaplah seperti itu, jangan berubah dalam hal apapun.
I miss
you all the way J
Jakarta,
08 Jan’15