Pada detik ke tiga, aku
jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Pada warna marun yang
menjadikannya tiada menjadi ada. Aku jatuh cinta padanya.
Pada detik ke tiga, aku
jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Pada warna marun yang menjadikannya
tiada menjadi sempurna. Aku jatuh cinta padanya.
Pada detik ke tiga, aku
jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Senja yang merona dengan
kilaunya yang hampir sempurna. Tanpa cacat sedikitpun, tanpa luka sedikitpun.
Aku jatuh cinta padanya.
Pada senja yang
menghampiri malam. Pada senja yang menyemburatkan percikan kilauan emasnya ke
seluruh jagat raya. Aku jatuh cinta padanya.
Pada senja yang
menghangatkan sukma. Pada senja yang bisa kau raih di pucuk gunung di
perbatasan Sahara. Aku jatuh cinta padanya. Pada warna yang tak lagi sepekat
mentari yang menyiratkan panasnya. Pada warna kemilau nan memekatkan prahara.
Pada detik ke tiga, aku
jatuh cinta pada warna yang kau sebut sebagai senja. Pada pekatnya, meski kutau
senja yang kau maksud akan kembali pada malam berikutnya. Pada malam yang
kemudian menghadirkan pagi, lalu kembali bertemu bersama mimpi. Tak mengapa,
aku tetap suka senja. Senja yang menghantarkan pelangi pada kelopak mataku yang
binarnya kian merekat dengan seonggok rasa peduli pada hati yang tersisih. Aku
tetap suka senja. Senja yang kumaksud sebuah penantian antara malam yang
beranjak pagi. Menunggu waktu, berputar kembali lalu bertemu lagi.
Pada detik ke tiga, aku
jatuh cinta pada warna yang kau sebut sebagai senja.
Jakarta, 24 Feb’15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar