Selasa, 24 Maret 2015

Hujan di Akhir Maret





Kututup lebih rapat pintu yang melindungi kamarku dari dingin yang menarik-narikku sejak pukul lima sore tadi. Berharap angin yang mulai menerobos dedaunan di depan rumah tetanggaku takkan terbang singgah ke depan teras. Selang lima menit, kutarik sebuah jaket yang tergantung di belakang pintu dekat kamar tidur lalu kueratkan keseluruh tubuhku. Kenapa angin di luar sana seakan masih mampu menguliti tubuhku? Menjalarkan dingin yang membuat tubuhku serasa berada di bawah nol derjat celcius.

Kurapatkan tubuhku kedinding. Kupeluk kedua lututku dengan tangan kosong lalu menenggelamkan kepalaku di dalamnya. Ada yang lebih dingin di banding angin yang kini berganti dengan hujan di luar sana. Ada yang lebih dingin dan pekat di banding hujan serta guntur yang bersahutan di luar sana. Ada. Sesuatu yang menerobos kulit ariku lalu berlahan mengalir lewat darahku dan bercampur dengan napasku. Sesuatu yang membuatku terasa semakin sesak dan sakit. Kucoba menahan kepalaku lama di atas lutut. Aku ingin berlama-lama melakukan hal ini. Aku ingin menahan dadaku yang sesak di dalamnya. Aku ingin sekali menenggelamkan dengan apa saja agar sesakku segera hilang.



Dua jam berlalu namun hujan tak kunjung reda. Bukankah akhir Maret tak pernah berakhir dengan hujan? Hujan slalu berakhir di akhir tahun. Dan semua akan kembali di hiasi terik matahari. Kugeser sedikit penutup jendela kamar yang menghalangi pemandangan. Hujan masih saja belum bersahabat. Sekarang hanya ada aku dan sepi. Tak ada yang ingin menemani selain hujan di sana. Kuraih tas lalu mencari benda yang slalu kubawa kemanapun. Kosong. Tak ada pesan, tak ada BBM tak ada panggilan. Akhir bulan slalu saja berhasil membuatku galau. Dan kata-kata bodoh slalu menjadi kutukan tersendiri buatku. Dasar! Umpatku kecil.



Kau tau Maret?
Satu bulan sebelum kau datang seolah menjadi kenangan tersendiri bagiku. Februari namanya. Bulan dengan Valentine di dalamnya. Dan para remaja seusiaku atau mungkin di bawahku juga di atas umurku slalu menyukainya. Tapi tidak denganku, sungguh. Tentu saja alasan yang tepat karna aku adalah seorang muslimah dengan jilbab yang masih merekat di kepalaku. Meskipun sebenarny aku masih jauh dari kata baik, tapi setidaknya untuk aturan agama aku masih tau untuk menjalankannya. Ya, begitulah sekiranya. Dan alasan yang lain aku tidak ingin menyebutnya. Sungguh! Mengingatnya sama halnya dengan merebus udara di sekeliling dan berubah menjadi racun mematikan. Dan aku benci setiap kali mengingatnya.

Ferbruari dan Maret. Dua bulan yang masih saja ingin melaju dengan hujan. Hujan dengan genangan air mata di dalamnya. Hahahaha... aku tertawa boleh? Hei, jangan ledek aku dengan sebutan orang bodoh karna yang mengataiku bodoh hanya aku seorang dan aturan yang lainnya telah kutulis dengan kata, ‘not for other.’ Baiklah, kembali ke hujan. Hujan yang belum juga reda dengan kilat yang bersahutan di atasnya. Barangkali ia ingin balas dendam dengan sebutan banjir di dalamnya.

 Kau tau Maret? Ini sudah akhir. Aku ingin mengakhiri bulan di dalamnya dengan sebutan April. April dengan kelahiran tanggal baru. Dengan kelahiran semangat baru. Dengan kelahiran nuansa baru. Untuk itu Maret, jangan menangis lagi. Tutuplah bulan ini tanpa hujan di dalamnya. Tanpa gemerisik langkah yang di derai gemercik langkah indah. Tetaplah menjadi Maret dalam doa nan tanpa sisa air mata.

Selamat akhir Maret hujan di akhir Maret.




Jakarta, 23 Mar’15









Tidak ada komentar: