“Apa
kabar kak?” sebuah pertanyaan yang menurutku basi dan benar-benar basi. Tapi
kali ini aku benar-benar bingung memulai percakapan dari mana. Setahun tidak
pernah berkomunikasi membuat jarak di antara kami terasa aneh.
“Alhamdulillah
baik. Lya apa kabar?”
Suara
itu masih sama. Hanya ada sedikit yang berbeda. Ataukah mungkin sekedar
perasaanku saja.
“Baik
juga kak,” jawabku. Kutarik napas berlahan kemudian menghembuskannya lebih
pelan.
Pukul
22.30 Wib tadi HP di samping tempat tidurku berdering. Dengan mata yang masih
mengantuk aku berusaha meraihnya. Sekian detik kudengar suara yang dari tadi
kujawab terasa aneh. Ini bukan suara laki-laki itu, bukan. Lalu siapa?
Kuperhatikan nomor di layar. Nomor baru. Tapi tunggu? Bukankah dia? Astagaaa...
kak Wan. Sosok laki-laki yang pernah mengisi relung hatiku tiga tahun dulu. Dia
menghubungiku?
“Hei,
kuliah dan kerjamu lancar?”
Aku bangkit dari lamunan. “Lancar. Alhamdulillah semuanya lancar,” jawabku
memperbaiki posisi. “Kok ribut ya kak. Kakak lagi dimana?”
“Masih
di tempat kerja Lya.”
“Tempat
kerja? Loh, kok malam?”
“Biasa.
Aku sekarang jadi laki-laki karir,” jawabnya tertawa. Membuat suasana di antara
kami semakin cair.
Aku
ikut tertawa. “Aih, ada-ada aja. Aku yang wanita karir dan sudah punya pengalaman
dibanding kakak biasa aja,” pungkasku sedikit menahan tawa.
“Kakak
sifh malam Lya. Jadi pulangnya agak larut malam. Di sini juga masih ramai,
ribut.”
Suara
itu... aku seakan masuk ke dalam dimensi lalu. Aku yakin sosok itu sudah banyak
berubah dari dulu.
“Apa
kakak masih marah padaku?” Ya, ini pertanyaan yang sudah lama ingin kutanyakan.
Apa dia masih membenciku? Kutarik guling di dekatku kemudian memeluknya.
Kurasakan angin di ruangan semakin panas. Aliran darahku semakin melaju. Aku
bukan takut, sungguh. Hanya saja aku tidak ingin dia terlalu membenciku.
“Marah?”
tanyanya menakan kata-kata.
“Kita
sudah menjadi masa lalu kak. Tidak perlu menanam rasa benci terlalu lama bukan?
Aku memang salah, tapi setidaknya bukan aku saja yang merasa salah. Itu sudah
keputusan dan bagaimanapun kita harus menghargainya.”
“Aku
tidak pernah menyalahkanmu Lya. Semua sudah brlalu, setidaknya begitu. Dan aku
malah senang kau masih ingin menjawab telponku.”
Aku
tertawa pelan. Dulu, setelah putus aku memang tidak pernah menjalin komunikasi
dengannya. Bahkan aku benar-benar benci bila mengingat namanya.
“Sudahlah
kak, untuk apa mengingat masa lalu,” pungkasku. Aku tidak ingin larut lagi ke
dalamnya. “Oh ya kak, kalau ada waktu mainlah ke tempatku, tapi jangan lupa
bawa makanan ya, hehe...” Aku tertawa. Mengubah suasana lebih baik agar tidak merasa
canggung.
“Makanan?”
“Aih,
sudahlah! Kali ini aku yang minta. Biasanya aku gak pernah minta.” Jujur saja,
sewaktu bersamanya dulu aku memang jarang minta ini itu. Bukan karna malu tapi
harga diri lebih utama menurutku.
“Nanti
ya, kalau ada waktu luang aku bakal main ke tempatmu sekalian silaturahim.”
“Aku
bercanda kak jangan terlalu serius. Tapi kalau kakak mau main silahkan. Aku
tunggu,” ujarku.
“Iya,
aku tau Lya.”
Beberapa
menit suasana menjadi hening. Aku lebih banyak diam. Rasanya ini memang aneh.
Aku berharap setelah malam ini suasana di antara kami akan jauh lebih baik
lagi.
“Aku
tidur dulu ya kak. Besok pagi aku harus bangun pagi-pagi untuk kerja. Salam untuk
Ibu, tolong katakan padanya aku merinduinya.”
“Iya,
insha Allah. Nanti kakak sampaikan.”
Dan
malam semakin menjelajahi separuh napasku. Seiring detak jantung yang kian
menggebu bersama udara di sekelilingku. Dia... laki-laki yang baik yang pernah
hadir. Dia... laki-laki yang baik yang berhak untuk mendapat yang lebih baik.
Dia... semoga kelak menjadi lebih baik lagi.
Kupejamkan
mataku bersama iringan musik yang slalu kuputar melalu HP kesayanganku.
Jakarta. 07 April’15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar