Rabu, 08 April 2015

Just Happen




“Apa kabar kak?” sebuah pertanyaan yang menurutku basi dan benar-benar basi. Tapi kali ini aku benar-benar bingung memulai percakapan dari mana. Setahun tidak pernah berkomunikasi membuat jarak di antara kami terasa aneh. 

“Alhamdulillah baik. Lya apa kabar?”

Suara itu masih sama. Hanya ada sedikit yang berbeda. Ataukah mungkin sekedar perasaanku saja.

“Baik juga kak,” jawabku. Kutarik napas berlahan kemudian menghembuskannya lebih pelan.

Pukul 22.30 Wib tadi HP di samping tempat tidurku berdering. Dengan mata yang masih mengantuk aku berusaha meraihnya. Sekian detik kudengar suara yang dari tadi kujawab terasa aneh. Ini bukan suara laki-laki itu, bukan. Lalu siapa? Kuperhatikan nomor di layar. Nomor baru. Tapi tunggu? Bukankah dia? Astagaaa... kak Wan. Sosok laki-laki yang pernah mengisi relung hatiku tiga tahun dulu. Dia menghubungiku?

“Hei, kuliah dan kerjamu lancar?”

Aku bangkit dari lamunan. “Lancar. Alhamdulillah semuanya lancar,” jawabku memperbaiki posisi. “Kok ribut ya kak. Kakak lagi dimana?”

“Masih di tempat kerja Lya.”

“Tempat kerja? Loh, kok malam?”

“Biasa. Aku sekarang jadi laki-laki karir,” jawabnya tertawa. Membuat suasana di antara kami semakin cair.

Aku ikut tertawa. “Aih, ada-ada aja. Aku yang wanita karir dan sudah punya pengalaman dibanding kakak biasa aja,” pungkasku sedikit menahan tawa.

“Kakak sifh malam Lya. Jadi pulangnya agak larut malam. Di sini juga masih ramai, ribut.”

Suara itu... aku seakan masuk ke dalam dimensi lalu. Aku yakin sosok itu sudah banyak berubah dari dulu.

“Apa kakak masih marah padaku?” Ya, ini pertanyaan yang sudah lama ingin kutanyakan. Apa dia masih membenciku? Kutarik guling di dekatku kemudian memeluknya. Kurasakan angin di ruangan semakin panas. Aliran darahku semakin melaju. Aku bukan takut, sungguh. Hanya saja aku tidak ingin dia terlalu membenciku.

“Marah?” tanyanya menakan kata-kata.  

“Kita sudah menjadi masa lalu kak. Tidak perlu menanam rasa benci terlalu lama bukan? Aku memang salah, tapi setidaknya bukan aku saja yang merasa salah. Itu sudah keputusan dan bagaimanapun kita harus menghargainya.”

“Aku tidak pernah menyalahkanmu Lya. Semua sudah brlalu, setidaknya begitu. Dan aku malah senang kau masih ingin menjawab telponku.”

Aku tertawa pelan. Dulu, setelah putus aku memang tidak pernah menjalin komunikasi dengannya. Bahkan aku benar-benar benci bila mengingat namanya.

“Sudahlah kak, untuk apa mengingat masa lalu,” pungkasku. Aku tidak ingin larut lagi ke dalamnya. “Oh ya kak, kalau ada waktu mainlah ke tempatku, tapi jangan lupa bawa makanan ya, hehe...” Aku tertawa. Mengubah suasana lebih baik agar tidak merasa canggung.

“Makanan?”

“Aih, sudahlah! Kali ini aku yang minta. Biasanya aku gak pernah minta.” Jujur saja, sewaktu bersamanya dulu aku memang jarang minta ini itu. Bukan karna malu tapi harga diri lebih utama menurutku.

“Nanti ya, kalau ada waktu luang aku bakal main ke tempatmu sekalian silaturahim.”

“Aku bercanda kak jangan terlalu serius. Tapi kalau kakak mau main silahkan. Aku tunggu,” ujarku.

“Iya, aku tau Lya.”

Beberapa menit suasana menjadi hening. Aku lebih banyak diam. Rasanya ini memang aneh. Aku berharap setelah malam ini suasana di antara kami akan jauh lebih baik lagi.

“Aku tidur dulu ya kak. Besok pagi aku harus bangun pagi-pagi untuk kerja. Salam untuk Ibu, tolong katakan padanya aku merinduinya.”

“Iya, insha Allah. Nanti kakak sampaikan.”

Dan malam semakin menjelajahi separuh napasku. Seiring detak jantung yang kian menggebu bersama udara di sekelilingku. Dia... laki-laki yang baik yang pernah hadir. Dia... laki-laki yang baik yang berhak untuk mendapat yang lebih baik. Dia... semoga kelak menjadi lebih baik lagi.

Kupejamkan mataku bersama iringan musik yang slalu kuputar melalu HP kesayanganku.




Jakarta. 07 April’15










Tidak ada komentar: