Selasa, 24 Februari 2015

Pada Detik Ke Tiga





Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Pada warna marun yang menjadikannya tiada menjadi ada. Aku jatuh cinta padanya.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Pada warna marun yang menjadikannya tiada menjadi sempurna. Aku jatuh cinta padanya.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kausebut sebagai senja. Senja yang merona dengan kilaunya yang hampir sempurna. Tanpa cacat sedikitpun, tanpa luka sedikitpun. Aku jatuh cinta padanya.
Pada senja yang menghampiri malam. Pada senja yang menyemburatkan percikan kilauan emasnya ke seluruh jagat raya. Aku jatuh cinta padanya.

Pada senja yang menghangatkan sukma. Pada senja yang bisa kau raih di pucuk gunung di perbatasan Sahara. Aku jatuh cinta padanya. Pada warna yang tak lagi sepekat mentari yang menyiratkan panasnya. Pada warna kemilau nan memekatkan prahara.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kau sebut sebagai senja. Pada pekatnya, meski kutau senja yang kau maksud akan kembali pada malam berikutnya. Pada malam yang kemudian menghadirkan pagi, lalu kembali bertemu bersama mimpi. Tak mengapa, aku tetap suka senja. Senja yang menghantarkan pelangi pada kelopak mataku yang binarnya kian merekat dengan seonggok rasa peduli pada hati yang tersisih. Aku tetap suka senja. Senja yang kumaksud sebuah penantian antara malam yang beranjak pagi. Menunggu waktu, berputar kembali lalu bertemu lagi.

Pada detik ke tiga, aku jatuh cinta pada warna yang kau sebut sebagai senja.



Jakarta, 24 Feb’15


Senin, 23 Februari 2015

(BUKAN) RINDU MATI




Rinduku tertahan angin malam
Pada semilir rumput yang bergoyang
Pada bingkis purnama yang menghantarkan mimpi jalang

Rinduku tertahan angin malam
Pada bunyi kerincing gelang bidadari bermata sipit
Pada nyanyian yang di iringi dentingan gitar di separuh pagi

Rinduku tertahan angin malam
Pada kerlipan bintang yang tak ingin berjalan
Pada sunyi kendraan yang lalu lalang
Pada hati yang terpaut mati



Rinduku terpaut sepi
Pada perangkap hati
Pada detak jantung yang tak lagi mengalir deras
Pada sesak napas setiap kali mendengar denyut nadi

Aku tak berani beralih lagi
Pada lain hati
Pada hati yang ingin jatuh hati
Pada sepi yang membawa mati

Rinduku mati
Pada titik yang tak pernah terputus
Pada sebongkah harapan yang menjadi mimpi
Aku mati pada rindu sendiri



Jakarta, 23 Feb’15

Jumat, 20 Februari 2015

A Beautiful Lier




Sebelumnya baik-baik saja bukan? Bahkan kita masih tertawa bersama. Kita masih duduk bersama meski tidak saling berhadapan. Kita masih bercerita dengan lelucon yang sama. Kita masih biasa-biasa saja terhadap waktu. Bahkan aku sendiri ingin memutar posri waktu saat bersama.
Kau tau? Wanita mana yang tidak bahagia ketika sang pujaannya datang secara tiba-tiba dari tempat yang berbeda? Menjumpainya dengan senyuman manja serta kata-kata yang indah. Tentu saja hal itu lebih membahagiakan di banding seribu mawar, atau setangkai bunga adelwis sekalipun. Tidak ada yang melebihi bahagiaku saat itu. Namun kemudian perasaan itu luluh lantak. Menjadi puing-puing yang hancur berantakan. Sisa kepercayaan di balas pengkhianatan. Ah, kejam sekali.
“Hana? Pacar?”
Ah, dunia seperi tumpukan batu yang menghajarku saat itu. Kekuatanku roboh. Bekas-bekas senyum sehari yang lalu hilang. Bagaimana mungkin aku menyakinkan pendengaranku sendiri? Aku tidak tuli kasih, aku tidak tuli. Aku mendengar pembicaraan itu secara berlahan dan sadar. Aku mendengarnya, mencernanya. Sejahat apa aku padamu hingga kau duakan aku? Kau bagi cinta serta perhatianmu pada tiga wanita sekaligus.
Mungkin karna LDR? Oh ya? aku ingin tertawa puas. Membenci dunia burukku sendiri. Mengutuk diriku sendiri. Mengatakan pada dunia bahwa wanita ini telah tertipu untuk ke dua kali. Ya, aku tertipu kasih. Aku kau tipu, aku kau tipu dengan obralan manismu.
“Aku adeknya, kak.”
Adek? Hahaha... aku tertawa lagi. Bagaimana mungkin? Dulu antara kita juga hal yang sama, bukan? Tapi, ya sudahlah, aku tidak ingin membahas sesuatu yang berujung luka lagi. Aku ingin menenangkan hati, aku ingin menjadi biasa lagi. Seperti dulu, seperti sebelum mengenalmu.
 “Aku sayang kamu, percayalah!”
Percayalah? Aku mempercayaimu dengan semua kebohonganmu. Aku mempercayaimu dengan semua yang pernah kau lakukan padaku. Aku mempercayaimu melebihi apapapun itu. Bahkan dengan jarak yang meragukanku aku tetap mempercayaimu dengan semua kebohonganmu. Lalu mengapa kau masih melakukanku dengan hal yang sama? Hal mana lagi yang tidak pernah kukatakan padamu? Hal mana lagi yang membuatmu baik-baik saja? Apa karna aku ini jahat? Atau aku polos? Ya, aku polos dan terlalu kekanak-kanakkan pada perasaanku. Kau tau karna apa? Aku tulus mencintaimu. Aku tidak pernah merasakan hal yang sama layaknya dulu. Tidak kasih, tapi denganmu? Ah, sudahlah!
“Semuanya akan baik-baik. Aku janji.”
Janji? Tidak perlu berjanji dengan sesuatu yang tidak bisa di tepati. Sebab khilaf itu akan terjamah di antara ke kosongan. Maka katakanlah apa yang sebenarnya. Jangan di pendam, ucapkan saja.
Aku memaafkanmu, memaafkan semua yang terjadi di antara kita. Memaafkan kesalahanku karna egoku. Memaafkan semuanya. Untuk itu tersenyumlah, mari kita awali semua dengan sebuah pembelajaran tersendiri. Bagaimana menghargai hati yang lain, menghargai hati sendiri. Karna segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya slalu berhikmah yang indah. Kuucapkan trimakasih padamu dalam hal apapun itu.
Bolehku katakan padamu sesuatu? Jangan pernah mengulangi hal yang sama untuk kedua kali. Jangan pernah siakan siapa yang tulus padamu, sebab kau akan tau bagaimana kehilangan setelah tiada.
Trimakasih...



Jakarta, 17 Feb’15       

Senin, 16 Februari 2015

Trimakasih



Ah gila!
Hatiku seperti di cabik-cabik, di hunus pisau lalu di garamin dan di taburi jeruk nipis. Menyakitkan sekali...
Kau datang seperti malaikat namun berjiwa iblis. Setelah kau tau aku mulai menghabiskan sisa kepingan keseriusanku lalu berlahan kau jatuhkan jiwaku menjadi batu. Dan bodohnya aku karna kelemahanku. Aku menerima tawaran indahmu, tawaran laksana kilau di perempatan jalan yang sempit kemudian menarikku di hidupmu. Lalu apa yang terjadi? Kau jatuhkan aku.

Aku gila!
Ya gila! Seperti pengemis yang mencari-cari sisa bekas makanan pada seonggok sampah. Setelah kudapatkan malah menajadi racun yang menakutkan. Ya, aku mati, hampir mati dengan segala airmata yang tersisa jua berlebih. Hidupku seperi bayangan dalam dirimu. Menampilkan semua alur yang kau setting sesuai keinginanmu. Kau puas?

Aku memaafkanmu!
Percayalah! Aku memaafkanmu. Memaafkan dengan rasa cinta yang masih bertahan di hatiku. Memaafkan dengan segala rasa cinta yang masih melekat di hatiku. Tentu saja! namun jika kembali dan menjadikan keadaan lebih baik aku tak bisa. Sungguh, aku tak mampu. Seekor keledaipun tak ingin jatuh ke lobang yang sama untuk ke dua kali. Aku rasa kau paham itu.

Aku melepaskanmu hari ini...
Melepaskanmu bukan karna aku tak cinta. Tentu saja aku sangat mencintaimu. Namun aku ingin kau bahagia dengan sosok yang bisa membuatmu bertahan. Bukan denganku, ya tentu saja bukan aku. Karna aku tidak ingin menjadi beban dalam langkah pencarianmu. Maka pergilah! Pergilah dengan wanita yang mencintaimu. Pergilah dengan wanita yang telah meraih lenganmu di sana. Maafkan atas apa yang pernah kuperbuat. Atas sikapku yang keras, atas watakku yang hanya ingin kau menjadi milikku tanpa ada kedua, ketiga atau lainnya. Maafkan aku...

Aku mencintaimu...
Sungguh! Namun biarlah cinta yang kumiliki kurekat erat di hatiku sebagai kenangan sisa air mata semalam. Trimakasih laki-laki dengan tawa yang renyah. Trimakasih untuk hal apapun itu.


Jakarta, 16 Feb’15


Denganmu Di Hujan Januari




Masihkah kau ingat sisa hujan kemaren sayang?
Saat itu kita memijaki aspal yang kokoh
Dan gemercik air menepis gelang kakiku
Jua cipratannya mengenai sisi rok panjangku

Apa kau masih ingat sisa hujan kemaren sayang?
Saat jemarimu meraihku
Lalu menggengamku tanpa ekspresi kaku
Aku tau kau tak ingin melepasku

Hujan Januari yang kita lalui malam itu
Dengan sorotan lampu jalanan
Serta malam yang kian berajak pagi
Merekat pelukan hangat secangkir kopi

Namun kenyataannya, hujan kali ini hanya sebatas bayang semu 


Katamu di hujan itu seolah melepas penat yang tersisa di sesak napasku
Mari, akan kuantarkan kau kepelabuhan
Kuajari bagaimana namanya bergaul dengan hujan
Serta meringkuhnya bersama angan

Aku di sampingmu menyapu kembali gerimis hujan yang kian pekat
Kusampaikan seonggok sapa
Diamlah hujan jangan berhenti basahi jalangnya malam
Agar kutetap merengkuh sosok kekasih yang menghangatkan kekosongan

Dan hujanpun hilang
Seiring panas yang kian datang
Kau rajut kembali genggaman
Bersama menerobos pagi yang kian menyisakan hangat bersama pelukan



Jakarta, 09 Feb’15

Selasa, 10 Februari 2015

Lelakiku





Dan aku bercerita tentang hujan pagi ini
Tentang gerimis yang mengundang
Tentang pelangi yang beranjak hilang
Tentang jejak yang kian pudar

Aku bercerita lagi tentang hujan pagi ini
Tentang romansa yang membangunkan dinding rindu yang terselip
Tentang kamu,
Lelakiku

Lelaki yang melebihi guratan senja
Lelaki yang melebihi cahaya purnama
Lelakiku yang kutemui dengan masa lalu
Lelakiku yang penuh dengan rindu

Aku bercerita lagi tentang hujan pagi ini
Bersama kopi yang setia terhadap pagi
Tentang kamu,
Masih tentang lelakiku

Lelakiku yang teramat kurindu
Lelakiku dengan segenap tawa penghilang pilu
Lelakiku penyejuk kalbu di kala gundah menyapaku
Lelakiku dengan apa adanya kamu

Aku bercerita lagi tentang hujan di pagi ini
Tentang mentari kian menghapus bias hujan yang menepi
Tentang pagi yang sudah usai
Tengtang kamu; lelakiku

Lelakiku,
Aku mendo’akanmu sepanjang harimu  




Jakarta, 13 Jan’15