Sebelumnya
baik-baik saja bukan? Bahkan kita masih tertawa bersama. Kita masih duduk
bersama meski tidak saling berhadapan. Kita masih bercerita dengan lelucon yang
sama. Kita masih biasa-biasa saja terhadap waktu. Bahkan aku sendiri ingin
memutar posri waktu saat bersama.
Kau
tau? Wanita mana yang tidak bahagia ketika sang pujaannya datang secara
tiba-tiba dari tempat yang berbeda? Menjumpainya dengan senyuman manja serta
kata-kata yang indah. Tentu saja hal itu lebih membahagiakan di banding seribu
mawar, atau setangkai bunga adelwis sekalipun. Tidak ada yang melebihi
bahagiaku saat itu. Namun kemudian perasaan itu luluh lantak. Menjadi puing-puing
yang hancur berantakan. Sisa kepercayaan di balas pengkhianatan. Ah, kejam
sekali.
“Hana?
Pacar?”
Ah,
dunia seperi tumpukan batu yang menghajarku saat itu. Kekuatanku roboh.
Bekas-bekas senyum sehari yang lalu hilang. Bagaimana mungkin aku menyakinkan
pendengaranku sendiri? Aku tidak tuli kasih, aku tidak tuli. Aku mendengar
pembicaraan itu secara berlahan dan sadar. Aku mendengarnya, mencernanya.
Sejahat apa aku padamu hingga kau duakan aku? Kau bagi cinta serta perhatianmu
pada tiga wanita sekaligus.
Mungkin
karna LDR? Oh ya? aku ingin tertawa puas. Membenci dunia burukku sendiri.
Mengutuk diriku sendiri. Mengatakan pada dunia bahwa wanita ini telah tertipu
untuk ke dua kali. Ya, aku tertipu kasih. Aku kau tipu, aku kau tipu dengan
obralan manismu.
“Aku
adeknya, kak.”
Adek?
Hahaha... aku tertawa lagi. Bagaimana mungkin? Dulu antara kita juga hal yang
sama, bukan? Tapi, ya sudahlah, aku tidak ingin membahas sesuatu yang berujung
luka lagi. Aku ingin menenangkan hati, aku ingin menjadi biasa lagi. Seperti
dulu, seperti sebelum mengenalmu.
“Aku sayang kamu, percayalah!”
Percayalah?
Aku mempercayaimu dengan semua kebohonganmu. Aku mempercayaimu dengan semua
yang pernah kau lakukan padaku. Aku mempercayaimu melebihi apapapun itu. Bahkan
dengan jarak yang meragukanku aku tetap mempercayaimu dengan semua
kebohonganmu. Lalu mengapa kau masih melakukanku dengan hal yang sama? Hal mana
lagi yang tidak pernah kukatakan padamu? Hal mana lagi yang membuatmu baik-baik
saja? Apa karna aku ini jahat? Atau aku polos? Ya, aku polos dan terlalu
kekanak-kanakkan pada perasaanku. Kau tau karna apa? Aku tulus mencintaimu. Aku
tidak pernah merasakan hal yang sama layaknya dulu. Tidak kasih, tapi denganmu?
Ah, sudahlah!
“Semuanya
akan baik-baik. Aku janji.”
Janji?
Tidak perlu berjanji dengan sesuatu yang tidak bisa di tepati. Sebab khilaf itu
akan terjamah di antara ke kosongan. Maka katakanlah apa yang sebenarnya.
Jangan di pendam, ucapkan saja.
Aku
memaafkanmu, memaafkan semua yang terjadi di antara kita. Memaafkan kesalahanku
karna egoku. Memaafkan semuanya. Untuk itu tersenyumlah, mari kita awali semua
dengan sebuah pembelajaran tersendiri. Bagaimana menghargai hati yang lain,
menghargai hati sendiri. Karna segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin.
Semuanya slalu berhikmah yang indah. Kuucapkan trimakasih padamu dalam hal
apapun itu.
Bolehku
katakan padamu sesuatu? Jangan pernah mengulangi hal yang sama untuk kedua
kali. Jangan pernah siakan siapa yang tulus padamu, sebab kau akan tau
bagaimana kehilangan setelah tiada.
Trimakasih...
Jakarta, 17 Feb’15