Kututup
lebih rapat pintu yang melindungi kamarku dari dingin yang menarik-narikku
sejak pukul lima sore tadi. Berharap angin yang mulai menerobos dedaunan di
depan rumah tetanggaku takkan terbang singgah ke depan teras. Selang lima menit,
kutarik sebuah jaket yang tergantung di belakang pintu dekat kamar tidur lalu
kueratkan keseluruh tubuhku. Kenapa angin di luar sana seakan masih mampu
menguliti tubuhku? Menjalarkan dingin yang membuat tubuhku serasa berada di
bawah nol derjat celcius.
Kurapatkan
tubuhku kedinding. Kupeluk kedua lututku dengan tangan kosong lalu
menenggelamkan kepalaku di dalamnya. Ada yang lebih dingin di banding angin
yang kini berganti dengan hujan di luar sana. Ada yang lebih dingin dan pekat
di banding hujan serta guntur yang bersahutan di luar sana. Ada. Sesuatu yang
menerobos kulit ariku lalu berlahan mengalir lewat darahku dan bercampur dengan
napasku. Sesuatu yang membuatku terasa semakin sesak dan sakit. Kucoba menahan
kepalaku lama di atas lutut. Aku ingin berlama-lama melakukan hal ini. Aku
ingin menahan dadaku yang sesak di dalamnya. Aku ingin sekali menenggelamkan
dengan apa saja agar sesakku segera hilang.
Dua
jam berlalu namun hujan tak kunjung reda. Bukankah akhir Maret tak pernah
berakhir dengan hujan? Hujan slalu berakhir di akhir tahun. Dan semua akan
kembali di hiasi terik matahari. Kugeser sedikit penutup jendela kamar yang
menghalangi pemandangan. Hujan masih saja belum bersahabat. Sekarang hanya ada
aku dan sepi. Tak ada yang ingin menemani selain hujan di sana. Kuraih tas lalu
mencari benda yang slalu kubawa kemanapun. Kosong. Tak ada pesan, tak ada BBM
tak ada panggilan. Akhir bulan slalu saja berhasil membuatku galau. Dan
kata-kata bodoh slalu menjadi kutukan tersendiri buatku. Dasar! Umpatku kecil.
Kau
tau Maret?
Satu
bulan sebelum kau datang seolah menjadi kenangan tersendiri bagiku. Februari
namanya. Bulan dengan Valentine di dalamnya. Dan para remaja seusiaku atau
mungkin di bawahku juga di atas umurku slalu menyukainya. Tapi tidak denganku,
sungguh. Tentu saja alasan yang tepat karna aku adalah seorang muslimah dengan
jilbab yang masih merekat di kepalaku. Meskipun sebenarny aku masih jauh dari
kata baik, tapi setidaknya untuk aturan agama aku masih tau untuk
menjalankannya. Ya, begitulah sekiranya. Dan alasan yang lain aku tidak ingin
menyebutnya. Sungguh! Mengingatnya sama halnya dengan merebus udara di
sekeliling dan berubah menjadi racun mematikan. Dan aku benci setiap kali
mengingatnya.
Ferbruari
dan Maret. Dua bulan yang masih saja ingin melaju dengan hujan. Hujan dengan
genangan air mata di dalamnya. Hahahaha... aku tertawa boleh? Hei, jangan ledek
aku dengan sebutan orang bodoh karna yang mengataiku bodoh hanya aku seorang
dan aturan yang lainnya telah kutulis dengan kata, ‘not for other.’ Baiklah,
kembali ke hujan. Hujan yang belum juga reda dengan kilat yang bersahutan di
atasnya. Barangkali ia ingin balas dendam dengan sebutan banjir di dalamnya.
Kau tau Maret? Ini sudah akhir. Aku ingin
mengakhiri bulan di dalamnya dengan sebutan April. April dengan kelahiran
tanggal baru. Dengan kelahiran semangat baru. Dengan kelahiran nuansa baru.
Untuk itu Maret, jangan menangis lagi. Tutuplah bulan ini tanpa hujan di
dalamnya. Tanpa gemerisik langkah yang di derai gemercik langkah indah. Tetaplah
menjadi Maret dalam doa nan tanpa sisa air mata.
Selamat
akhir Maret hujan di akhir Maret.
Jakarta,
23 Mar’15