Selasa, 29 September 2015

Kau...!



Kau mengadu pada Tuhan tentang perasaanmu?
Agar kau tetap cinta padaku
Agar tetap berada di dekatku
Tetap bersamaku

Aku merasa terharu

Kau mengadu pada Tuhan tentang hatimu?
Agar tetap utuh buatku
Agar slalu bersamaku
Agar selalu berada untukku

Aku semakin terharu

Tapi kenapa kau mengadu hanya karna rasa kasihan padaku?
Apa kau pikir aku ini wanita lemah tanpamu?
Oh, itu membuatku merasa terkutuk
Seakan aku tak bisa hidup tanpamu

Aku sedih, sumpah!
Rasanya isi kepalaku membuncah
Kau seperti mempermainkanku selama ini
;lagi

Kenapa kau bilang aku mencintaimu
Kenapa kau bilang aku menyayangimu
Seolah dalam ucapanmu kau berikrar tak akan mengecewakanku
Seolah dalam ucapanmu kau berjanji tak ingin meninggalkanku

Kau tau?
Sesak sekali rasanya
Dadaku sakit
Hatiku kian rapuh

Apa yang kau mau?
Semuanya telah kau renggut dariku
Apa yang kau mau?
Semuanya telah kau ambil dariku

Apa kau akan meninggalkanku lagi?
Oh, jangan
Aku takut sekali, sungguh
Membayangkan saja aku tak mampu

Kalau begitu biarkan aku memohon padamu
Jangan pergi, tetaplah di sini
Bersamaku jalani sepinya aku
Aku hanya butuh kamu sampai batas akhirku



Ciputat, 29 Sept'15







Ah!



Ah!
Namanya juga cinta
Ini mau
Itu juga mau

Ah!
Namanya juga cinta
Kesana mau
Kesini juga mau

Ah!
Namanya juga cinta
Awalnya tak mau
Lama-lama bikin malu

Ah!
Aku tak tau
Setelah begini begitu
Menangis tersedu tak akan ada yang membantu

Ah!
Aku tak tau
Rasanya kepala waktu itu seperti batu
Makanya mau apa yang seharusnya bikin malu

Kali ini aku bingung
Ini itu sekarang rasanya bikin ambigu
Aku linglung seperti orang bingung
Otak kepalaku seakan bikin sinting

Ah!
Bodoh pun tak ada guna


Ciputat, 29 Sept'15

Kemari, sayang




Malam semakin larut sayang
Dengan denting jarum jam di dinding
Serta suara kala jengking di samping
Menjadikan malam kian merinding

Malam semakin larut sayang
Dengan rintik-rintik hujan merayap di cermin
Bersama kerlipan lampu yang saling menyapa di jalanan
Ada satu pesan yang ingin di sampaikan

Malam semakin larut sayang
Deru jantung kian melaju
Napas pun kian berpaju
Seakan ingin menikmati waktu

Kemari, sayang
Kita nikmati malam di atas awan
Berpaju bersama deru-deru roda di atas kepala
Nikmati hingga pagi menjelang kembali

Kemari, sayang
Kita paju malam dengan napas yang membara
Buang semua yang ada di dada
Nikmati setiap desahan yang ada

Tak usah hiraukan besok ataupun lusa
Yang ada teruslah kau buatku memimpikan malam yang tak berkekang
Mengecup setiap kejadian yang ada di benak
Ptar balikkan semua yang membuatmu limbuh di sana

Nanti, setelah kau puas
Mendengkurlah di sisi ranjang
Agar kubisa nikmati setiap helai napasmu
Serta aroma tubuhmu yang tak mau hilang dari ingatan



Ciputat, 29 Sep'15













Rapuh




Apa yang kau inginkan dari tubuh rapuh ini?
Hah!
Kau ingin mengecupnya?
Membelainya hingga puas

Apa yang kau mau dari tubuh yang rapuh ini?
Hah!
Kau ingin menyentuhnya?
Membawanya ke alam nikmat hingga puas

Tak ada yang istimewa dari tubuh ini
Yang ada hanya seonggok tulang berbalutkan danging
Nikmatnya hanya sesaat
Pahitnya sampai kiamat

Tak ada yang dapat di banggakan
Setelah puas toh hanya napas yang bergelak


Ciputat, 29 Sept'15

Semakin Sinting



Aku lupa bagaimana caranya berpuisi
Apa lagi saat seperti ini
Agar semuanya tak seperti misteri
Mengaung di benak sendiri

Aku lupa caranya bernyanyi
Setidaknya menghibur hati
Bagaimana memanjakan jiwa yang ingin lari
Agar tetap kuat dengan segala yang terjadi

Katanya, semua menjadi lebih baik
Tenang, atur napas, buang semua yang mengekang
Tapi semakin kunikmati otakku semakin sinting
Mengingatnya membuatku pontang panting

Kemana aku yang cupu dan tak kenal diri?
Kini harga diri hanya menjadi ilusi
Bodoh, begitu katanya
Jika sudah cinta taik kucing saja rasa coklat padahal bikin sengsara

Baiklah!
Mari kita nikmati musik alunan kota tua
Tepat bermainkan di tengah-tengah Jakarta
Menari, bernyanyi sambil baca puisi curahan sanubari

"Pecahkan saja gelasnya biar ramai."

Ciputat, 29 Sep'15 (21:22)
Created : Lya Herlya

Senin, 21 September 2015

MATI SURI SAJALAH



Mati suri sajalah
Toh, apa lagi yang kau inginkan?
Membantu negri saja kau abaikan
Kau hanya pandangi kejayaan

Mati suri sajalah
Penguasa seperti kalian itu seperi bedebah
Hanya inginkan jabatan tinggi lalu bergerak seperti habah
Membuat kami manusia miskin seperti sampah

Hei ,,,
Tak lupakah siapa yang naikkan jabatan?
Kita rakyat petaka yang memilih Tuan jadi sekarang
Karna dulu kami terlena dengan ucapan

Sekarang?
Melihat kebawah saja engkau enggan


Lihatlah!
Kotaku seperti negeri awan
Ada dimana-mana saat engkau berjalan
Naik roda bahkan pesawat terbang

Apa engkau puas?
Oh, no ...
Rasanya ingin sekali jilati lidah Tuan dengan pisau tajam yang baru di asah
Biar bernanah dan tau rasa bagaimana penderitaan mereka yang menghimpit resah

Kembalikan kotaku ke hijaunya hutan
Bersihnya pekarangan
Indahnya pemandangan
Harumnya sematkan semua yang datang

Agar nanti kami yang dari perantauan senang
Melihat kota kelahiran yang slalu di idamkan



"Dari seorang mahasiswi akhir semester."

Ciputat, 21 September 2015

Kamis, 10 September 2015

In Memory






Gelombang udara yang menarik-narik suara gemuruh pantai seolah meredupkan kehangatan yang terjadi di antara kita. Pukulan serta hempasannya menyapu gairah yang merombak-rombak di antara mata kita. Di tambah lagi cahaya bulan yang redup di atasnya menambah keharmonisan. Aku yang sedari tadi menahan napas di hadapanmu menunduk, malu. Hampir dua tahun lamanya kita saling mengenal, namun kali ini aku merasakan sesuatu yang menjalar di ujung hatiku. Aku tak berani menatap matamu, sungguh.

"Lihat aku." Kau mengulangi katamu sembari menaraik daguku menghadapmu.

Aku menggeleng. Tak ada keberanian kali ini.

"Lihat aku, sayang."

Kali ini kuberanikan diri menatapmu. Ah, aku merasakan jantungku semakin berdegup kencang.

"Baru kali ini kau berani menatapku. Selama ini kau hanya menunduk."

"Aku kan malu," jawabku tersipu. Kulihat kau tersenyum.

"Apa yang membuatmu percaya padaku?"

Sejenak aku terdiam. Pertanyaan yang mudah namun sulit di jawab. Kupandangi wajahmu. Kalau boleh jujur kau sosok yang sangat biasa.

"Aku sudah pernah bilang padamu kan? Kalau aku ingin merubahmu menjadi lebih baik. Yah, walaupun aku tau aku bukanlah sosok yang baik. Tapi aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik lagi."

Kau hanya diam. Tak ada ekspresi bahagia di sana.

"Lalu, apa yang membuatmu cinta padaku? Kau tau? Masih ada wanita yang lebih di luar sana."

Ekspresimu masih tetap sama. Diam dan menatapku. Aku menelan ludah. Pahit. Aku menunggu jawabanmu dengan jantung yang semakin melaju. Bukankah beberapa hari ini aku dan kau sudah bukan menjadi ABG lagi? Malah lebih dari batas yang kuduga.

"Karna aku mencintaimu."

Sederhana, namun mampu membuatku tak bertenaga. Aku luluh di dadamu. Tubuhku lemas seketika. Kali ini, aku memelukmu erat. Takkan kubiarkan kau berlari kemanapun. Takkan kubiarkan kau menjauh kemanapun.

"Aku mencintaimu, Lya."

Tuhan ... biarkan aku mendekap mahklukMu ini sampai batas Engkau merobek napasku. Sebab, aku mencintainya. Untuk itu biarkan aku tetap mencintainya dan dia tetap mencintaiku selamanya.




Poktunggal in memory :-)

Ciputat, 09/09/2015