“Sudah lama tidak bertemu Ly. Apa kabar?”
Pertanyaan sekedar basa-basi. Aku tau itu. Aku lantas
tersenyum kemudian menatapnya sebentar lalu mengarahkan pandangan ke luar
jendela Cafe. Setidaknya untuk semenit saja sebelum perasaan kelabu ini
berhasil kutenangkan. Tapi, sepertinya aku tidak berhasil, pikiranku malah
mengambang tentang kenangan silam. Dimana semua membuatku semakin merasakan
pahit saja.
“Hei, kau tidak apa-apa?”
Tidak apa-apa?
Kali ini kuberanikan menatapnya lekat. Aku tidak ingin
terhanyut pada masa lalu. Toh, semuanya telah terjadi.
“Aku ... baik. Kau, bagaimana?”
Pria itu tersenyum manis. Hampir berhasil membuatku luluh
kembali. Oh, tidak, tidak akan pernah terjadi kali ini. Aku sudah tau bagaimana
watak kepribadiannya. Sudah tau bagaimana semua dengan tingkahnya. Aku harus
tetap dengan pendirianku.
“Aku baik, Ly. Sangat baik malah. Apa lagi setelah
bertemu denganmu.”
Tuhan, maafkan atas kerasnya hati ini. Aku benar-benar
sudah tidak ingin jatuh lagi. Bukankah aku sudah berjanji?
“Kau masih sama Ray, penuh rayuan. Aku yakin perempuan
manapun pasti sudah banyak yang jatuh hati padamu.”
“Tidak, Ly. Aku sudah berhenti melakukannya.”
Oh, benarkah? Dulu, dua tahun lalu ketika kita bersama
kau juga pernah mengatakan hal yang sama. Kau tidak akan melakukannya lagi.
Tapi nyatanya dua kali kau buat aku sakit hati.
“Aku yakin kau pasti tidak percaya. Tapi nyatanya aku
sudah tidak melakukannya lagi. Aku sadar semuanya Ly, terlebih lagi setelah kau
memutuskan untuk pergi. Aku baru tau kalau kesetiaan itu adalah nomor satu.”
“Kau hampir membuatku tertawa terpingkal-pingkal.”
“Kenapa?”
Kutatap mata Ray dalam. Sungguh, aku sama sekali tidak
merasakan apapun lagi, yang kudapat hanya kekosongan. Hampa. “Jangan jadikanku
sebagai alasan, Ray. Kau tau, kau dan aku sudah terbentang ribuan bahkan jutaan
kilometer jarak yang sampai kapanpun tidak akan pernah telihat batasnya. Aku
juga sudah bahagia dengan jalan hidupku meskipun sebenarnya aku tau itu salah.
Tapi, ya, semuanya sudah terlanjur, dan aku menjalaninya, menikmatinya layaknya
seseorang yang candu dengan alkohol. Aku mabuk, lupa, dan hanyut.”
Ray mencoba meraih jemariku tapi segera kutarik jauh.
“Kau, benarkah yang selama ini kudengar?”
“Kau dengar apa?” tanyaku penasaran. Oh, aku paham
maksudnya. “Kau tidak usah pedulikan aku Ray. Kau lihat, aku baik-baik saja.
Lagian yang mengajarkanku menjadi wanita jahat adalah kau. Ah, sudahlah tak
usah khawatir aku sudah memaafkan segalanya.”
“Maafkan aku, Ly.” Ray menunduk. Menyesal.
“Sudahlah, aku sudah melupakan segalanya,” ujarku.
“Ly,
boleh aku meminta sesuatu?” pinta Ray membuatku bingung.
Keningku berkerut. Meminta sesuatu? Ray bukanlah tipe
laki-laki yang suka meminta apapun. Dia adalah sosok laki-laki yang menjunjung
martabat tinggi. Dan aku tau itu.
“Kau mau minta
apa?”
“Kembalilah, Ly. Aku dan Natasya menginginkanmu. Kita
membutuhkanmu.”
Natasya? Ah, apa
kabar malaikat kecilku itu?
Setelah perkelahian besar antara aku dan Ray siang itu
aku memutuskan untuk pergi. Ya, aku marah besar setelah tau apa yang telah
dilakukannya bersama wanita lain. Awalnya aku diam namun lama kelamaan amarah
itu membuncah juga. Aku marah besar. Lantas memutuskan untuk pergi. Tak
kupedulikan malaikat kecil yang menangis tersedu-sedu. Tak kupedulikan panggilan
dan permohonana Ray agar kuurungkan pergi. Tekatku sudah bulat, aku akan pergi
kemana saja. Rasa sakit dan kecewa pada Ray mengalahkan segalanya. Aku muak karna
penghiatan yang dilakukannya. Aku muak dengan janji-janji yang berujung dusta.
Aku muak dengan kebaikan yang berbalas dengan kekecewaan. Aku pun pergi. Dan
kini setelah dua tahun, Ray menghubungiku untuk bertemu. Awalnya aku tidak
ingin menemuinya. Namun mendengar nama Natasya hatiku yang beku luluh juga.
“Ly, kau mendengarku?”
Tentu saja aku mendengarnya. Hanya saja aku tidak ingin
jatuh ke dalam lobang yang sama lagi untuk kedua kalinya. Akan kuputuskan
segera.
“Kau tau, Ray, semejak siang itu aku slalu merindukanmu
dan juga Natasya. Tapi, untuk kembali lagi aku benar-benar tidak akan pernah
bisa. Maafkan aku Ray. Aku harap kau mengerti dengan keputusanku. Aku yakin kau
bisa mencarikan ibu yang masih gadis dan cantik untuk Natasya. Bukan aku, aku
tidak sama layaknya dulu. Aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Aku
butuh uang untuk terus hidup dan melangkah maju. Meratapi masa lalu hanya akan
membuatku semakin terpuruk.”
“Tapi, Ly. Aku ... aku masih mencintaimu.” Ray,
tertunduk. Ia menatap lilin di atas meja.
“Cinta?” aku tertawa. “Kau tau, Ray. Ah, kau pasti tau,
semua laki-laki yang datang padaku hanya membutuhkan kesenangan dan kenikmatan,
bukan cinta. Mereka slalu bercerita tentang masalah keluarga, istri ataupun
pekerjaan yang membuat mereka semakin jemu. Jadi, tolong, berhentilah mengatas
namakan cinta. Aku muak.”
“Ly, aku tulus.” Ray menatapku.
“Percuma Ray. Dulu, rasa tulusku kau balas dengan
penghiatan.” Aku membalas tatapannya. “Sekali lagi aku katakan Ray, aku tidak
butuh cinta. Aku butuh uang untuk terus hidup dan melangkah maju.
Kali ini Ray diam. Alasan apapun yang di ucapkan olehnya
tidak akan berhasil membuatku menjadi seperti dulu lagi. Terlebih lagi untuk
kembali.
“Tolong sampaikan salam rinduku untuk Natsya. Katakan
padanya agar menjadi anak yang tidak nakal.”
Aku
meraih Handpone di atas meja. Satu panggilan tak terjawab dan satu SMS masuk.
SMS dari seseorang yang kukenal baik.
“Maaf Ray, aku harus pergi, seseorang sedang menungguku
di depan pintu,” ujarku pada Ray. Di depan pintu Cafe seseorang dengan pakaian
rapi sedang menunggu. Ia menatap kearahku yang kusambut dengan lambaian tangan.
“Ly, bukankah dia ...”
Belum sempat Ray menjelaskan maksudnya segera saja
kusahut. “Ya, dia Om Herman. Bapak pemilik puluhan kios dan kosan dekat kontrakan kita dulu.” Aku tersenyum menjawab
rasa heran Ray. “Maaf, aku harus pergi. Waktuku tidak lama, hanya sejam.”
Bisikku.
Ray menganga.
Senin, 19 September
2016 (14:31)