Senin, 22 Februari 2016

About Life

Maka nikmatilah setiap proses yang ada.





            “Pernah berpikir untuk tidak menikah, Re?” tanyaku pada Rere.

Wanita dengan rambut gelombang itu menatapku aneh. Ia menarik napas pelan.

            “Kau tau, Ly. Aku memang playgirl, punya pacar dimana-dimana tapi untuk urusan menikah tentu saja aku mau menikah. Aku tidak ingin menghabiskan sisa umurku sendiri. Aku butuh sosok pria yang menemaniku sampai mati.”

            Jawaban yang cukup mengangetkan. Aku tau Rere wanita jalang, slalu mempermainkan laki-laki semaunya. Tapi untuk menikah ia memang serius.

            “Kau tau, Ly. Ibu dan ayah slalu saja berdebat hanya masalah sepele. Mereka slalu saja menuruti ego dan kemamuan sendiri tanpa memikirkan aku. Anak satu-satunya yang butuh kasih sayang.”

            Tentu saja aku tau latar belakang Rere. Ia slalu menceritakan bagaimana kisah hidupnya padaku. Bagaimana orangtuanya, kisah cintanya. Meski hidupnya mapan, apapun slalu ada dan berlebih namun untuk kasih sayang orangtua, Rere benar-benar tidak pernah mendapatkan. Itulah salah satu alasan mengapa ia memiliki watak keras kepala. Dan untuk hidupku, aku jauh berbeda dengannya. Hidupku sangat pas-pasan. Untuk kuliah, jauh dari orangtua aku harus bekerja memenuhi kehidupan sehari-hari. Hidup di perantaun memang tidak semudah yang di bayangkan orang. Latar belakang keluarga memaksaku hidup serba cukup dan apa adanya. Terkadang sempat terpikir olehku untuk menyerah saja pada hidup. Namun, Rere slalu saja memiliki cara agar aku tersenyum.

            “Semestinya kau bersyukur Ly, orangtuamu jauh lebih baik dari oangtuaku.”

            Ia tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. Aku tertawa pelan. Rere tidak tau bagaimana kerasnya hidupku. Bagaimana dengan orangtuaku. Bagaimana dengan keluargaku di kampung. Yang dia tau aku slalu berusaha tertawa saat meledekku.

            “Kita tidak pernah tau bagaimana dengan hidup, Re. Kita hanya berusaha untuk menjalaninya meski sebenarnya itu pahit.”

            Untuk hidupku yang pahit. Aku memang tidak pernah menceritakan pada Rere. Aku lebih ingin memendamnya sendiri. Bukan tidak percaya, hanya saja aku terlalu takut. Aku tak ingin Rere kembali terpuruk dengan kalimat orangtua. Cukup mendengar ceritanya aku sudah tidak sanggup. Apa lagi untuk menjalaninya. Untuk kasih sayang mungkin aku sedikit lebih beruntung di bandingnya, namun untuk pahitnya hidup tentu saja hidupku jauh lebih sulit darinya.

            “Kau tau, Re, hidupmu lebih beruntung di banding aku. Kau bisa lihatkan bagaimana aku. Hidupku seperti terluntang lantung. Aku seperti tidak memiliki tujuan hidup.”

            “Plis, Ly. Jangan pernah bilang kalau kau kurang kasih sayang. Aku benci dengan kata itu.”

            Rere slalu trauma dengan kalimat akhirku. Bukan karna membuatnya semakin sedih, tentu saja karna alasan lain.

            “Kau masih ingin menikah, Re? Menikah dengan salah satu kekasihmu?”

            Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Topikku hanya satu, tentang menikah tentunya.

            “Aih, apa jawabanku kurang, Ly. Tentu saja aku ingin menikah tapi bukan dengan salah satu pacarku. Aku ingin menikah dengan pria yang rajin ibadah, rajin sholat dan mengaji, rajin memberi dan tentu saja rajin mengingatkanku tentang hal-hal yang baik.”

            Rere ... bisakah kita bercermin? Untuk mendapatkan laki-laki sperti itu tentu saja kau harus punya modal yang sama. Kau harus lebih baik dari sekarang.

            “Aku tau apa yang sedang kau pikirkan, Ly. Aku memang tidak baik, lihat saja aku. Pakaianku masih terbuka, sholat saja bisa di hitung, puasa apa lagi. Setiap malam aku menghabiskan waktu dengan para lelaki hidung belang di Diskotik. Tapi, apa aku salah jika suatu hari nanti semua yang buruk hilang? Apa salah jika suatu saat nanti aku berubah menjadi lebih baik?”

            Mataku berkaca-kaca mendengar penuturan Rere. Ia slalu memiliki jawaban tersulit untukku tebak.

            “Kita tidak pernah tau hidup kan, Ly? Untuk itu aku slalu berpikir bagaimana jika suatu hari nanti orang-orang di sekelilingku meninggalkanku saat aku tak lagi memiliki apa-apa. Bagaimana jika suatu saat nanti orangtuaku tak ada dan hidupku masih tak berubah? Aku hanya ingin menjadi lebih baik. Dan itu tidak pernah salah.”

            Kupeluk Rere. Ia menangis dipundakku. Aku tau hidupku memang berat tapi setidaknya aku masih bersyukur jauh lebih baik darinya. Aku masih ingat kewajibanku di sini. Menuntaskan pendidikanku untuk masa depan nanti. Toh, hidup tidak akan seperti ini terus menerus. Hidup akan berubah jauh lebih baik kedepannya.

            “Kau tau kenapa aku bertanya tentang pernikahan, Re?” tanyaku di sela-sela tangisnya.

            Ia menggeleng dengan suara parau.

            “Aku terlalu takut pada hidup. Terlalu takut dengan rumah tangga. Terlalu takut jika hidupku akan sama dengan keadaan orangtuaku, dengan keadaan keluargaku. Tapi kali ini aku yakin, Re. Tidak mungkin Tuhan menyerupai hidupmu dengan sekelilingmu jika kau ingin memperbaiki, jika kau ingin merubahnya menjadi lebih baik. Untuk itu, aku yakin bahwa Tuhan memilik segudang rahasia untuk kita nanti. Percayalah.”

            Rere mengangguk. Sesekali kuhapus airmata yang menetes melewati pipinya. Membayangkan bagaimana pahitnya hidup sama halnya membuka pintu untuk berhenti berjalan meraih apa yang diharapkan. Bukankah berpikir positif akan menghasilkan nilai postif?

            Ponsel ditanganku tiba-tiba berdering. Segera kugeser garis hijau di samping kiri lalu menjawab panggilan.

            “Sholat ya, sayang. Dan makan yang banyak biar sehat.” Suara di ujung telepon mengingatkanku. Seketika itu pikiran cepat menikah terlintas di benakku.

           "Kapan kita nikah, sayang?"


             Jakarta, 21/12/2015 (12:37)