Maka nikmatilah setiap proses yang ada. |
“Pernah
berpikir untuk tidak menikah, Re?” tanyaku pada Rere.
Wanita dengan rambut gelombang itu menatapku
aneh. Ia menarik napas pelan.
“Kau
tau, Ly. Aku memang playgirl, punya pacar dimana-dimana tapi untuk urusan
menikah tentu saja aku mau menikah. Aku tidak ingin menghabiskan sisa umurku
sendiri. Aku butuh sosok pria yang menemaniku sampai mati.”
Jawaban
yang cukup mengangetkan. Aku tau Rere wanita jalang, slalu mempermainkan
laki-laki semaunya. Tapi untuk menikah ia memang serius.
“Kau
tau, Ly. Ibu dan ayah slalu saja berdebat hanya masalah sepele. Mereka slalu
saja menuruti ego dan kemamuan sendiri tanpa memikirkan aku. Anak satu-satunya
yang butuh kasih sayang.”
Tentu
saja aku tau latar belakang Rere. Ia slalu menceritakan bagaimana kisah
hidupnya padaku. Bagaimana orangtuanya, kisah cintanya. Meski hidupnya mapan,
apapun slalu ada dan berlebih namun untuk kasih sayang orangtua, Rere
benar-benar tidak pernah mendapatkan. Itulah salah satu alasan mengapa ia
memiliki watak keras kepala. Dan untuk hidupku, aku jauh berbeda dengannya. Hidupku
sangat pas-pasan. Untuk kuliah, jauh dari orangtua aku harus bekerja memenuhi
kehidupan sehari-hari. Hidup di perantaun memang tidak semudah yang di
bayangkan orang. Latar belakang keluarga memaksaku hidup serba cukup dan apa
adanya. Terkadang sempat terpikir olehku untuk menyerah saja pada hidup. Namun,
Rere slalu saja memiliki cara agar aku tersenyum.
“Semestinya
kau bersyukur Ly, orangtuamu jauh lebih baik dari oangtuaku.”
Ia
tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. Aku tertawa pelan.
Rere tidak tau bagaimana kerasnya hidupku. Bagaimana dengan orangtuaku.
Bagaimana dengan keluargaku di kampung. Yang dia tau aku slalu berusaha tertawa
saat meledekku.
“Kita
tidak pernah tau bagaimana dengan hidup, Re. Kita hanya berusaha untuk
menjalaninya meski sebenarnya itu pahit.”
Untuk
hidupku yang pahit. Aku memang tidak pernah menceritakan pada Rere. Aku lebih
ingin memendamnya sendiri. Bukan tidak percaya, hanya saja aku terlalu takut.
Aku tak ingin Rere kembali terpuruk dengan kalimat orangtua. Cukup mendengar
ceritanya aku sudah tidak sanggup. Apa lagi untuk menjalaninya. Untuk kasih
sayang mungkin aku sedikit lebih beruntung di bandingnya, namun untuk pahitnya
hidup tentu saja hidupku jauh lebih sulit darinya.
“Kau
tau, Re, hidupmu lebih beruntung di banding aku. Kau bisa lihatkan bagaimana
aku. Hidupku seperti terluntang lantung. Aku seperti tidak memiliki tujuan hidup.”
“Plis,
Ly. Jangan pernah bilang kalau kau kurang kasih sayang. Aku benci dengan kata
itu.”
Rere
slalu trauma dengan kalimat akhirku. Bukan karna membuatnya semakin sedih,
tentu saja karna alasan lain.
“Kau
masih ingin menikah, Re? Menikah dengan salah satu kekasihmu?”
Aku
berusaha mengalihkan pembicaraan. Topikku hanya satu, tentang menikah tentunya.
“Aih,
apa jawabanku kurang, Ly. Tentu saja aku ingin menikah tapi bukan dengan salah
satu pacarku. Aku ingin menikah dengan pria yang rajin ibadah, rajin sholat dan
mengaji, rajin memberi dan tentu saja rajin mengingatkanku tentang hal-hal yang
baik.”
Rere
... bisakah kita bercermin? Untuk mendapatkan laki-laki sperti itu tentu saja
kau harus punya modal yang sama. Kau harus lebih baik dari sekarang.
“Aku
tau apa yang sedang kau pikirkan, Ly. Aku memang tidak baik, lihat saja aku.
Pakaianku masih terbuka, sholat saja bisa di hitung, puasa apa lagi. Setiap
malam aku menghabiskan waktu dengan para lelaki hidung belang di Diskotik.
Tapi, apa aku salah jika suatu hari nanti semua yang buruk hilang? Apa salah
jika suatu saat nanti aku berubah menjadi lebih baik?”
Mataku
berkaca-kaca mendengar penuturan Rere. Ia slalu memiliki jawaban tersulit
untukku tebak.
“Kita
tidak pernah tau hidup kan, Ly? Untuk itu aku slalu berpikir bagaimana jika
suatu hari nanti orang-orang di sekelilingku meninggalkanku saat aku tak lagi
memiliki apa-apa. Bagaimana jika suatu saat nanti orangtuaku tak ada dan
hidupku masih tak berubah? Aku hanya ingin menjadi lebih baik. Dan itu tidak
pernah salah.”
Kupeluk
Rere. Ia menangis dipundakku. Aku tau hidupku memang berat tapi setidaknya aku
masih bersyukur jauh lebih baik darinya. Aku masih ingat kewajibanku di sini.
Menuntaskan pendidikanku untuk masa depan nanti. Toh, hidup tidak akan seperti
ini terus menerus. Hidup akan berubah jauh lebih baik kedepannya.
“Kau
tau kenapa aku bertanya tentang pernikahan, Re?” tanyaku di sela-sela
tangisnya.
Ia
menggeleng dengan suara parau.
“Aku
terlalu takut pada hidup. Terlalu takut dengan rumah tangga. Terlalu takut jika
hidupku akan sama dengan keadaan orangtuaku, dengan keadaan keluargaku. Tapi kali
ini aku yakin, Re. Tidak mungkin Tuhan menyerupai hidupmu dengan sekelilingmu
jika kau ingin memperbaiki, jika kau ingin merubahnya menjadi lebih baik. Untuk
itu, aku yakin bahwa Tuhan memilik segudang rahasia untuk kita nanti.
Percayalah.”
Rere
mengangguk. Sesekali kuhapus airmata yang menetes melewati pipinya.
Membayangkan bagaimana pahitnya hidup sama halnya membuka pintu untuk berhenti
berjalan meraih apa yang diharapkan. Bukankah berpikir positif akan
menghasilkan nilai postif?
Ponsel
ditanganku tiba-tiba berdering. Segera kugeser garis hijau di samping kiri
lalu menjawab panggilan.
“Sholat
ya, sayang. Dan makan yang banyak biar sehat.” Suara di ujung telepon
mengingatkanku. Seketika itu pikiran cepat menikah terlintas di benakku.
"Kapan kita nikah, sayang?"
Jakarta, 21/12/2015 (12:37)