Senin, 19 September 2016

MASA LALU


            “Sudah lama tidak bertemu Ly. Apa kabar?”

            Pertanyaan sekedar basa-basi. Aku tau itu. Aku lantas tersenyum kemudian menatapnya sebentar lalu mengarahkan pandangan ke luar jendela Cafe. Setidaknya untuk semenit saja sebelum perasaan kelabu ini berhasil kutenangkan. Tapi, sepertinya aku tidak berhasil, pikiranku malah mengambang tentang kenangan silam. Dimana semua membuatku semakin merasakan pahit saja.

            “Hei, kau tidak apa-apa?”

            Tidak apa-apa?

            Kali ini kuberanikan menatapnya lekat. Aku tidak ingin terhanyut pada masa lalu. Toh, semuanya telah terjadi.

            “Aku ... baik. Kau, bagaimana?”

            Pria itu tersenyum manis. Hampir berhasil membuatku luluh kembali. Oh, tidak, tidak akan pernah terjadi kali ini. Aku sudah tau bagaimana watak kepribadiannya. Sudah tau bagaimana semua dengan tingkahnya. Aku harus tetap dengan pendirianku.

            “Aku baik, Ly. Sangat baik malah. Apa lagi setelah bertemu denganmu.”

            Tuhan, maafkan atas kerasnya hati ini. Aku benar-benar sudah tidak ingin jatuh lagi. Bukankah aku sudah berjanji?

            “Kau masih sama Ray, penuh rayuan. Aku yakin perempuan manapun pasti sudah banyak yang jatuh hati padamu.”

            “Tidak, Ly. Aku sudah berhenti melakukannya.”

            Oh, benarkah? Dulu, dua tahun lalu ketika kita bersama kau juga pernah mengatakan hal yang sama. Kau tidak akan melakukannya lagi. Tapi nyatanya dua kali kau buat aku sakit hati.       

            “Aku yakin kau pasti tidak percaya. Tapi nyatanya aku sudah tidak melakukannya lagi. Aku sadar semuanya Ly, terlebih lagi setelah kau memutuskan untuk pergi. Aku baru tau kalau kesetiaan itu adalah nomor satu.”

            “Kau hampir membuatku tertawa terpingkal-pingkal.”

            “Kenapa?”

            Kutatap mata Ray dalam. Sungguh, aku sama sekali tidak merasakan apapun lagi, yang kudapat hanya kekosongan. Hampa. “Jangan jadikanku sebagai alasan, Ray. Kau tau, kau dan aku sudah terbentang ribuan bahkan jutaan kilometer jarak yang sampai kapanpun tidak akan pernah telihat batasnya. Aku juga sudah bahagia dengan jalan hidupku meskipun sebenarnya aku tau itu salah. Tapi, ya, semuanya sudah terlanjur, dan  aku menjalaninya, menikmatinya layaknya seseorang yang candu dengan alkohol. Aku mabuk, lupa, dan hanyut.”

            Ray mencoba meraih jemariku tapi segera kutarik jauh. “Kau, benarkah yang selama ini kudengar?”

            “Kau dengar apa?” tanyaku penasaran. Oh, aku paham maksudnya. “Kau tidak usah pedulikan aku Ray. Kau lihat, aku baik-baik saja. Lagian yang mengajarkanku menjadi wanita jahat adalah kau. Ah, sudahlah tak usah khawatir aku sudah memaafkan segalanya.”

            “Maafkan aku, Ly.” Ray menunduk. Menyesal.

            “Sudahlah, aku sudah melupakan segalanya,” ujarku.

“Ly, boleh aku meminta sesuatu?” pinta Ray membuatku bingung.

            Keningku berkerut. Meminta sesuatu? Ray bukanlah tipe laki-laki yang suka meminta apapun. Dia adalah sosok laki-laki yang menjunjung martabat tinggi. Dan aku tau itu.

            “Kau  mau minta apa?”

            “Kembalilah, Ly. Aku dan Natasya menginginkanmu. Kita membutuhkanmu.”

            Natasya? Ah, apa kabar malaikat kecilku itu?

            Setelah perkelahian besar antara aku dan Ray siang itu aku memutuskan untuk pergi. Ya, aku marah besar setelah tau apa yang telah dilakukannya bersama wanita lain. Awalnya aku diam namun lama kelamaan amarah itu membuncah juga. Aku marah besar. Lantas memutuskan untuk pergi. Tak kupedulikan malaikat kecil yang menangis tersedu-sedu. Tak kupedulikan panggilan dan permohonana Ray agar kuurungkan pergi. Tekatku sudah bulat, aku akan pergi kemana saja. Rasa sakit dan kecewa pada Ray mengalahkan segalanya. Aku muak karna penghiatan yang dilakukannya. Aku muak dengan janji-janji yang berujung dusta. Aku muak dengan kebaikan yang berbalas dengan kekecewaan. Aku pun pergi. Dan kini setelah dua tahun, Ray menghubungiku untuk bertemu. Awalnya aku tidak ingin menemuinya. Namun mendengar nama Natasya hatiku yang beku luluh juga.

            “Ly, kau mendengarku?”

            Tentu saja aku mendengarnya. Hanya saja aku tidak ingin jatuh ke dalam lobang yang sama lagi untuk kedua kalinya. Akan kuputuskan segera.

            “Kau tau, Ray, semejak siang itu aku slalu merindukanmu dan juga Natasya. Tapi, untuk kembali lagi aku benar-benar tidak akan pernah bisa. Maafkan aku Ray. Aku harap kau mengerti dengan keputusanku. Aku yakin kau bisa mencarikan ibu yang masih gadis dan cantik untuk Natasya. Bukan aku, aku tidak sama layaknya dulu. Aku juga tidak bisa meninggalkan pekerjaanku. Aku butuh uang untuk terus hidup dan melangkah maju. Meratapi masa lalu hanya akan membuatku semakin terpuruk.”

            “Tapi, Ly. Aku ... aku masih mencintaimu.” Ray, tertunduk. Ia menatap lilin di atas meja.

            “Cinta?” aku tertawa. “Kau tau, Ray. Ah, kau pasti tau, semua laki-laki yang datang padaku hanya membutuhkan kesenangan dan kenikmatan, bukan cinta. Mereka slalu bercerita tentang masalah keluarga, istri ataupun pekerjaan yang membuat mereka semakin jemu. Jadi, tolong, berhentilah mengatas namakan cinta. Aku muak.”

            “Ly, aku tulus.” Ray menatapku.

            “Percuma Ray. Dulu, rasa tulusku kau balas dengan penghiatan.” Aku membalas tatapannya. “Sekali lagi aku katakan Ray, aku tidak butuh cinta. Aku butuh uang untuk terus hidup dan melangkah maju.

            Kali ini Ray diam. Alasan apapun yang di ucapkan olehnya tidak akan berhasil membuatku menjadi seperti dulu lagi. Terlebih lagi untuk kembali.

            “Tolong sampaikan salam rinduku untuk Natsya. Katakan padanya agar menjadi anak yang tidak nakal.”

Aku meraih Handpone di atas meja. Satu panggilan tak terjawab dan satu SMS masuk. SMS dari seseorang yang kukenal baik.

            “Maaf Ray, aku harus pergi, seseorang sedang menungguku di depan pintu,” ujarku pada Ray. Di depan pintu Cafe seseorang dengan pakaian rapi sedang menunggu. Ia menatap kearahku yang kusambut dengan lambaian tangan.

            “Ly, bukankah dia ...”

            Belum sempat Ray menjelaskan maksudnya segera saja kusahut. “Ya, dia Om Herman. Bapak pemilik puluhan kios dan kosan dekat  kontrakan kita dulu.” Aku tersenyum menjawab rasa heran Ray. “Maaf, aku harus pergi. Waktuku tidak lama, hanya sejam.” Bisikku.

            Ray menganga.
           


Senin, 19 September 2016 (14:31)

Minggu, 11 September 2016

IBU



Ibu

Menjadi sosok sepertimu sampai kapanpun aku tak mampu. Menjadi sosok sepertimu tak akan pernah bisa kulakukan sampai kapanpun. Trimakasih untuk perjuanganmu melahirkanku ke dunia ini, Trimakasih atas cintamu yang luar biasa sampai kudewasa seperti ini. Maaf ibu, aku tak mampu menjadi anakmu yang baik. Maaf ibu, karna slalu menjadikanmu alasan mengapa aku membenci hidupku. Pada hal, Sesungguhnya kau mengajarkan padaku bahwa menjadi sosok ibu adalah cara Tuhan mengujiku. Trimakasih bu. Aku menyanyangimu.


***

Lirik Lagu Rafly 

Lembut ku kenang kasihmu ibu
Di dalam hati ku ingin menanggung rindu
Engkau tabur kasih seumur masa
Bergetar syahdu oh di dalam nadiku
Sembilan bulan ku dalam rahimmu
Bersusah payah oh ibu jaga diriku
Sakit dan lemah tak kau hiraukan
Demi diriku oh ibu buah hatimu
Tiada ku mampu membalas jasamu
Hanyalah doa oh di setiap waktu
Oh ibu tak henti ku harapkan doamu
Oh ibu tak henti ku harapkan doamu
Mengalir di setiap nafasku
Mengalir di setiap nafasku
Oh ibu, ibu, ibu
Lembut ku kenang kasihmu ibu
Di dalam hati ku ingin menanggung rindu
Engkau tabur kasih seumur masa
Bergetar syahdu oh di dalam nadiku
Indah bercanda denganmu ibu
Di dalam hatiku kini selalu merindu
Sakit dan lelah tak kau hiraukan
Demi diriku oh ibu buah hatimu
Tiada ku mampu membalas jasamu
Hanyalah doa oh di setiap waktu
Oh ibu tak henti ku harapkan doamu
Oh ibu tak henti ku harapkan doamu
Mengalir di setiap nafasku
Mengalir di setiap nafasku
Oh ibu, ibu, ibu
Allahummaghfirlii waliwaa lidayya
Warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa
Lembut ku kenang kasihmu ibu

DUNIA HITAM



Dunia hitamku
Bertemu denganmu membuatku buta kalbu
Laksana awan gelap menyelimuti mata bathinku
Lantas lupa pada siapa aku

Dunia hitamku
Gelap cahayamu menjadikan semu jalanku
Kemana aku harus mengadu?
Semenjak kau merasuki tubuh dan jiwaku aku tak dapat bergerak melaju

Dunia hitamku
Aku rindu masa bercumbu dengan hidup baikku
Meski hanya kepura-puraan tapi aku mengerti bagaimana menunggu
Setidaknya untuk dua jam berlalunya waktu

Dunia hitamku
Aku lelah sebenar-benar lelah
Rasa seperti menjalani dunia batu tanpa ampun
Menghimpit segala cara agar aku mati kaku

Dunia hitamku

Aku mau kembali seperti dulu