Bagaimana mungkin aku bisa
mencintamu? Aku fikir ini bukanlah hal yang wajar. Yah, tentu, ini sudah diluar
pemikiranku. Aku dan kamu sudah jelas dua insan yang tak mungkin bisa bersatu
sampai kapanpun. Apa kamu lupa apa yang
sebenarnya terjadi diantara kita berdua. Apakah aku harus menjelaskan berulang
kali dengan kata-kata yang sama?. Sudah tentu tidak mungkin. Kamu bukanlah anak
kecil yang harus berulang kali membutuhkan penjelasan hingga kamu merasa puas.
Sudah cukup kali ini, toh aku yakin kamu juga sudah mengerti.
“Aku tidak akan menyerah Sofia.
Sampai kapanpun aku akan tetap memperjuangkan cintaku padamu,” jelasmu sore itu
padaku. Tatapanmu menyiratkan harapan terdalam.
Aku tidak berani menatapmu yang
kini duduk tepat disampingku. Haruskah aku mengulanginya kembali?.
“Kau tau Sofia. Aku mencintamu
semenjak dulu. Dulu, saat kita masih kecil dan slalu bermain bersama,” ia
kembali mengingatkanku pada kenangan sepuluh tahun yang lalu. Saat dimana
kenangan indah itu kami lalu bersama. “Lalu dengan harus apa lagi aku
menjelaskannya,” ia mulai meraih tanganku.
Aku masih tetap membisu. Adakah
yang salah dengan namanya cinta pada masa kecil dulu?. “Tapi ini tidak mungkin
Kevin,” ku tarik tanganku menjauh darinya. Angin sepoi-sepoi membelai poniku.
Hatiku sungguh sesak. Dengan alasan apa lagi aku harus mengungkapkannya?.
***
“Coba tebak Sofia, siapa yang
mama bawa,” aku mengalihkan perhatianku dari buku novel yang ku baca pada sosok
pria yang ada dibelakang mama. “Gak tau ma,” jawabku.
“Yah, masa lupa,” jawab mama.
Sosok yang ada dibelakang mama
kini beralih menghadapku. Aku coba mengingat-ingat siapa yang dimaksud oleh
mama.
“Dia teman kecil kamu dulu Sof,
waktu kamu masih tinggal di rumah nenek di kampung,” mama mengingatkanku.
“Kevin?” ujarku kaget. Ya Tuhan,
sosok yang dulu begitu cupu dan culun sekarang sangat berbeda. Wajahnya kini
sangat menawan bahkan mampu menggodaku dalam hitungan detik saja. “Ini beneran
Kevin Ma?” aku masih tidak mempercayai penglihatanku. Aku masih ingat, Kevin
dengan penampilannya yang lugu membuat semua keluarga meledeknya termasuk aku.
Dia begitu sering ku buat menangis.
Mama mengangguk untuk
meyakinkanku. “Nah, karna sekarang Kevin
kuliahnya bareng kamu jadi mama mutusin kalau Kevin tinggal bareng
kita,” jelas mama yang membuatku semakin kaget lagi.
“Sekarang giliran aku yang bakal
ngeledek kamu,” Kevin membisikkan kata-katanya ditelingaku.
Aku memukulnya dengan buku
ditanganku. “Dasar,” umpatku.
***
Dua bulan setelah kehadiran
Kevin.
Kevin sengaja mengajakku ke taman
belakang kampus sehabis mata kuliah. Katanya ada yang harus ia jelaskan padaku.
Aku mengikuti langkah kecilnya di sisi kiriku. Pandanganya sungguh teduh
sekali. Aku yakin siapapun yang melihatnya akan jatuh hati. Kevin mengulurkan
novel berjudul “SPRING” padaku. Itu adalah novel favorit yang slama ini ku
cari-cari di google tentang sinopsisnya.
“Apa yang mau kamu omongin Vin,”
tanyaku. Ku buka novel pemberiannya.
“Aku bingung harus dari mana
Sof,”
Ku alihkan pandanganku padanya.
“Loh, emang kamu mau ngomong apa? Kok bingung?”
Kevin menatapku. “Kamu tau kenapa
aku bingung?”
Aku mengeleng. “Tentang pelajaran
di kampus? Atau suasana di sini jauh berbeda dari tempatmu?”
Kevin menggeleng. “Bukan,”
jawabnya datar.
“Kalau bukan, terus apa?” aku
menutup buku ditanganku. Kenapa denganKevin? Mungkinkah dia sudah tidak betah
tinggal di rumahku selama ini?.
“Aku mencintaimu,” tuturnya.
Matanya menerobosku begitu dalam.
“Apa?” aku hampir kaget dibuatnya.
Buku ditanganku hampir terjatuh. Kevin pasti bercanda.
“Aku serius. Aku mencintaimu
Sofia,” ulangnya lagi.
Aku berdiri. “Aku gak mau kamu
bercanda Vin. Ini bukanlah saat yang tepat,” kenapa aku jadi membenci ucapannya
barusan.
Ia menarik napas kemudian berdiri
menghadapku. “Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku.”
“Aku benci dengan ucapanmu tadi
Vin,” ku tinggalkan Kevin yang mematung sendiri.
“Kevin
itu sepupu kamu Sof. Jadi mama sarankan kamu harus bisa memperlakukan dia kaya
sodara kamu,” ujar mama padaku dua minggu setelah kedatangan Kevin.
Sepupu?.“Kok
aku baru tau ma, kan dia teman kecil Sofia dulu. Mama kenapa baru bilang,”
jawabku. Kenapa begitu berat mendengar kata-kata mama. Seperti ada yang hilang
dari separuh hatiku.
“Mama
sengaja nyembunyiinnya dari kamu. Karna mama udah ngerencanain kalau kalian
udah kuliah nanti mama mau bawa Kevin kesini.” Mama membelai rambutku.
Aku
hanya mampu diam malam itu. Diam dengan hatiku yang tak menentu.
***
Setahun setelah kehadiran Kevin.
“Kau tau apa yang sedang aku
fikirkan sekarang,” jelasku pada Kevin. Kami sama-sama duduk di taman belakang
kampus.
“Kau sedang memikirkanku,” ujar
Kevin tertawa.
“Ada banyak hal yang sedang ku
fikirkan. Yah, salah satunya kamu,” aku tidak memangdang Kevin.
“Sudah ku yakin,” Kevin lagi-lagi
tertawa.
“Kau dan aku sepupu,” tatapku
pada Kevin. Begitu berat rasanya untuk mengucapkan kata-kata tersebut.
“Aku sudah tau dari dulu,” ujar
Kevin datar.
Aku menatap Kevin. “Kau sudah
tau?” aku tidak percaya. “Lalu kenapa kau pura-pura seperti gak tau sama
sekali.”
“Buat apa?”
“Buat apa?” ujarku mengulang
ucapannya. Aku benar-benar tidak percaya dengan jawaban Kevin. Mungkinkah ada
yang salah denganku?. Ku buang tatapanku sejauh-jauhnya. Aku terlalu berharap
dengan harapan yang tidak mungkin pasti. Yah, ini bukanlah hal yang seharusnya
aku lakukan. Ku tinggalkan Kevin yang mematung sendiri. Setidaknya aku harus
sadar degan apa yang ku rasakan.
***
Dan kini, perasaan itu takkan pernah menjadi nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar