Sabtu, 27 Desember 2014

Hujan Pagi




Tak ada yang indah di hujan pagi ini
Butirannya tak lagi berdenting
Layaknya jemari lentik memainkan tuts-tuts instruments
Yang ada hanya pecahan beling yang terdengar

Tak ada lagi yang indah di hujan pagi ini
Nuansanya malah makin gersang
Tak ada yang indah layaknya dulu
Ketika kau mainkan gitarmu di sampingku



Tak ada yang indah di hujan pagi ini
Butirannya sudah janggal sekali
Tak lembut dan tak berasa
Ia keras melebihi karang kokoh di pinggir hati

Kemana hujan pagi dulu?
Saat kau sentuh hatiku bersama gemerisiknya
Saat kau sentuh jemariku bersama rinainya
Yang ada kini tinggal semu yang berpura-pura merdu

Ya,
Tak ada lagi hujan rindu
Tak ada lagi hujan pengobat kalbu
Kini hujanku menjadi debu yang terhempas angin pilu



Jakarta, 27 Des'14

Jumat, 19 Desember 2014

Sang Perindu





Siapa bilang jarak jauh itu menyiksa rindu yang dalam? Ah, konyol sekali jika memang demikian. Tidakkah kau tau kawan, rindu adalah gumpalan madu meski kadang seperti merica, pedas. Namun rindu tetaplah menjadi buah yang bearoma wangi. Rindu ialah pertemuan dua keping hati yang ingin saling mendekap. Rindu ialah pertemuan dua kepingan hati yang tak sabar tuk saling bertatap pandang. Rindu adalah benang-benang yang di rajut dengan teliti dan hati-hati agar bersatu menjadi sepasang waktu. Rindu ialah rangkaian kalimat yang di ukir menjadi satu agar tercipta kalimat nan syahdu. Rindu ialah warna-warni jarak jauh.



Siapa bilang rindu itu menyiksa waktu? Hei, kawan, dengarlah! Rindu bagaian dari harimu yang setia menemanimu. Rindu itu sahabat setia yang slalu berada di sisimu. Rindu itu kesabaran yang lebih untukmu. Rindu itu sebuah kotak persegi yang tertutup rapat yang tak bisa kau tanpakkan wujudnya sebelum waktunya. Rindu bagai aliran sungai tenang namun diam-diam berombak. Rindu yang slalu membuatmu terkatup untuk bisu pada sang pilu. Rindu tentang rasa yang lambat laun menjadi syair-syair pujangga. Rindu penghangat jiwa yang dahaga. Rindu adalah bagian dari dirimu.

Baiklah, tak perlu banyak bercerita tentang rindu. Jika pada akhirnya kau akan malu untuk mengakuinya. Biarkan saja rindumu kau simpan rapat dalam bungkusan jemari yang tak bisa di sentuh oleh siapapun kecuali hanya kau dan si pemilik rindu. Untuk itu, teruslah berjuang untukmu dan rindumu.

Salam untukmu dariku 'Sang Perindu.'



Jakarta, 20 Des,14


Kamis, 18 Desember 2014

Cerita Kemaren



Kemaren, kita masih bercerita tentang bulan yang diam-diam mengintip lewat jendela kamar. Kita juga bercerita tentang sepasang bintang yang diam-diam jatuh cinta. Tentang mata yang diam-diam membakar rasa cemburu di dada. Tentang apa saja kita bercerita. Rindu, cemburu. Tak ada topik lain yang kudengar selain kata-kata itu. Kau suka saat aku manyun dengan ledekan jalangmu. Ya, kau sering kali meledekku. Malah terlalu suka dengan hal itu. Katamu, kalau aku manyun aku manis dan manja. Ah, entahlah... Aku hanya suka setiap kali kau mengatakan hal demikian meski sebenarnya aku malu, tapi lagi-lagi aku berhasil menyembunyikannya di balik kilah kata ‘tidakku.’

Malam ini kita kembali mencumbui waktu, seperti malam kemaren. Dua hari yang lalu, tepat dimana posisi awan gelap menutupi sepersekian dari langit. Menitihkan guratan gelap pekat serta letupan guntur yang saling bersahutan. Menari-nari bak bidadara-bidadari yang menyambut datangnya pelangi. Kau masih dengan tawamu, ya, tawa itu. Tawa yang berhasil menghancurkan aliran penat yang slalu menjalar di ubun-ubunku. Tawa yang berhasil menghanguskan kepingan kepanyang yang mengalir di setiap deras darahku. Tawa yang slalu kurindu setiap waktuku. Tawamu bagai nikotin yang membuatku semakin candu.  



“Hei, apa kau tak merinduiku?” 

Sebait kalimat yang entah mengapa tercekat di ujung tenggorokanku. Ah, aku tidak terlalu berani mengucapkan kata rindu di sela kataku. Sebab aku terlalu takut. Takut entah karna apa. Oh, tidak, bukan. Aku tentu saja berani dengan kalimat tersebut. Lihat saja!    

“I miss you.” Dan sebongkah kalimat yang meletup-letup sedari tadi berhasil mengikuti aliran air liurku. Aku merindukanmu, tentu saja.

Namun detik yang berlalu semakin merebus fikiranku. Dentuman jantungku yang berdebar-debar layaknya genderang semakin hilang. Suaraumu kian berbeda kurasakan. Ah, entah ini perasaanku ataukah hanya sekedar tebakanku saja aku tak tau. Aku hanya ingin kau tetap menjadi dirimu yang slalu merengkuhku dengan tawamu setiap malam. Aku hanya ingin kau memelukku dengan tawamu setiap  malam berlalu. Aku hanya ingin tawamu  yang slalu mendekapku meski hanya lewat jarak jauh. Ya, jangan ada yang berubah darimu. Sebab sebelumnya, sebelum mengenalmu di hari berikutnya aku telah berjanji takkan pernah pergi sebelum kau memintaku pergi.

Maka tetaplah seperti ini. Diam-diam mengantongkan seribu puisi rindu yang kau miliki.


Jakarta, 19 Des’14


Jumat, 12 Desember 2014

Rindu Masa itu



Rindu masa itu
Dimana aku menjadi sosok yang tak mengerti apa itu dunia penuh lika-liku
Rindu masa itu
Dimana aku menjadi sosok aku yang tak mengerti arti sepi
Hanya ada kamu, kita dan mereka
Rindu masa itu
Dimana aku masih lugu dalam hal apapun
Tak mengerti yang namanya rindu dan cemburu
Rindu masa itu
Bersama mereka yang bertutur lembut penuh penyejuk kalbu



Rindu masa itu
Saat aku menjadi sosok santri biru nan cupu namun tau tuk tak berbuat malu
Rindu masa itu
Bersama para ijtihat dalam lingkungan nyaman penuh perjuangan
Rindu masa itu
Kala masalah adalah teman bermain tuk mendewasakan pemikiran
Rindu masa itu
Bersama mereka serta senyum tulus tuk merubahku menjadi wanita yang berakhlak karimah
Rindu masa itu
Masa mencari perbekalan tuk merangkak melaju menempuh debu dan ranjau

Rindu masa itu



Jakarta, 12 Des'14

Rabu, 03 Desember 2014

Tersembunyi (Lagi)



"Kau mencintaiku?'
Hanya sebait kalimat namun sulit di ucap
Hanya tiktik... tiktik hujan yang rintik menjawab
Spasi dan nihil

"Kau mencintaiku?'
Dan lagi, hanya degup jantung yang kian berbunyi
Dagdig... dagdig... dagdigdug
Terus berbunyi seiring nada jam berbunyi



"Kau mencintaiku?"
Dinding kamar kosong saja yang mungkin mengerti tentang jawabnya
Tau apa makna tersirat di hati
Kusimpan bersama gemerisik angin

Dag
Dig
Dug
Akhirnya cintaku tersembunyi, lagi




Jakarta, 04 Des'14

JIKA SAJA




Jika saja Robb tidak menitipkan sekeping hati ini untuk menjadi lebih kuat dan sabar. Jika saja Robb tidak menitipkan hati ini untuk menjadi lebih tegar dan sadar. Aku pasti telah menjadi manusia paling bejat sekarang. Aku pasti telah menjadi manusia paling jahat sekarang. Manusia yang tidak memiliki moral serta rasa kasihan. Tapi Robb-ku benar-benar pengasih dan penyayang. Hingga di berikanNYA hati yang sejuk meski kadang terombang ambing oleh masalah sendiri. Di berikanNYA sebuah masalah yang rumit pada mulanya, lalu tibalah menjadi indah akhirnya.

Jika saja Robb tidak menitipkan hati ini penuh dengan rasa kasih dan sayang. Jika saja Robb tidak menitipkan hati ini penuh dengan rasa syukur yang mendalam. Aku pastilah menjadi manusia paling frustasi sekarang. Menjadi manusia yang gila karna memikirkan masalah yang menggelayuti fikiran. Tapi Robb-ku penuh dengan misteri, penuh dengan kejutan yang tidak kuketahui. Hingga satu kado indah dititipkanNYA untukku pada akhirnya. Sebuah penghayatan diri untuk lebih berhati-hati dalam berfikir.



Jika saja Robb tidak menitipkan sekeping hati ini untuk terus di uji. Jika saja Robb tidak menitipkan hati ini untuk terus tau diri. Aku sudah pasti menjadi manusia penuh racun sekarang. Manusia penuh bisa untuk membunuh diri sekarang. Tapi Robb-ku maha adil, keadilannya slalu tepat datang ketika aku benar-benar mulai jatuh diri. Mulai lemah dengan masalah yang slalu datang menghampiri. Robb-ku beri hiasan indah padaku untuk terus berpositif diri. Agar kutau sampai mana letak kesabaran diri. Maka Robb-ku beri aku sekeping hati untuk tau apa itu arti bersyukur diri.

Jika saja Robb tidak menitipkan sekeping hati ini untuk terus bersabar diri. Rasanya ujian ini membuatku semakin buta hati, buta mata, buta telinga jua buta segala yang ada. Tapi Robb-ku pengasih dan penyayang hingga aku di uji sampai tau apa itu kata indah nanti. Robb-ku penuh misteri dengan masalah yang tiap kali membebani.

Robb-ku maha adil seadil-adilnya pemberi.

Ya qolbi... fasbir ilaiya 




Jakarta, 02 Des’14

Sabtu, 29 November 2014

Karna Seonggok Sabar




Jika tidak dengan seonggok hati yang masih tersisa sabar
Jika tidak dengan seonggok hati yang tersisa rasa syukur
Aku pasti sudah mati sekarang
Aku pasti sudah tak bernyawa sekarang

Jika tidak dengan seonggok rasa kasih di hati
Tidak jua dengan seonggok rasa mengasihi
Maka aku sudah frustasi
Sudah buta mata hati

Tapi tidak...
Robb-ku pengasih
Robb-ku maha pemberi
Robb-ku penuh dengan teka-teki indah

Maka aku diberi kisah pahit yang tertulis di atas kertas putih
Setiap kali melangkah
Setiap kali berujar
Hingga sebuah uji kudapati untuk menahan perih
Sampai pada titik iman yang benar-benar telah rapih

Jakarta, 29 Nov’14


Hai, Jakarta...



Hai, Jakarta yang penuh luka...
Selamat pagi untukmu...
Kali ini, hati kembali lagi di uji oleh si Pemilik sabar. Sebuah ujian yang membawaku pada tahab titik kesabaran. Pada tingkat tinggi yang membawaku sebuah kesabaran. Ya, jika bukan karna sabar mungkin nyawa sudah melayang. Namun, lagi-lagi si Pemilik sabar menahanku tuk tetap sabar hingga kutahan dengan tidak menahan tangis. Cukup, katakan pada hati, pada seonggok hati yang tersisa kesabaran. Jika semua akan menjadi lebih baik lagi.

Hai, jakarta yang membawa luka...
Salam pagi kembali lagi kulayuti spesial untukmu...
            Semngat pagi untuk luka yang lagi-lagi masih menganga dalam dada. Tentu begitu setiap keadaan yang tak berpihak padamu. Ah, tidak sebenarnya. Jika semua kau jalani dengan dalam tenang maka hatimu akan baik-baik saja. Ya, tentu saja begitu. Namun, keadaan lagi-lagi memaksaku untuk menangis. Menumpahkan segala kepingan serta sisa sabar dari seonggok hati yang penuh rintangan. Menangis? Ah, aku tak menagis. Aku hanya ingin bulatan mataku basah serta kelopaknya terlihat semakin indah. Maka kutumpahkan semua air yang tersisa. Setidaknya akan membuatku sedikit lega.

Hai, Jakarta yang penuh perjuangan...
Selamat pagi untuk kamu yang terus memberi sisih perih...
            Aku hanya bertanya pada hati. Apa berbuat baik itu salah? Apa melakukan sesuatu yang benar itu slalu saja salah? Aku tak tau... namun yang pastinya melakukan sesuatu yang baik pastilah slalu ada yang menjadi pihak yang di salahkan. Salah yang belum tentu salah. Namun hal aneh akan slalu terlihat salah jika yang salah tidak pernah merasa salah. Dan aku benci hal yang demikian. Untuk tetaplah jaga seonggok hatimu agar tetap tersisih rasa sabar.

Hai, Jakarta yang penuh dengan kesulitan...
Selamat pagi untukmu sebagai proses pendewasaan...
`           Ya, jika saja tidak ada rasa sabar dalam dada. Mungkin, ya tentu saja benar-benar mungkin hati yang luka pasti membengkak semakin bengkak. Tapi, ya, lagi-lagi hati terus bersabar. Sebuah kesabaran yang akhirnya mengajarkanmu untuk bersikap lebih baik, lebih dewasa. Tentu, semuanya pada intinya adalah pendewasaan diri. Dewasa untuk menghadapi kepingan hati. Maka itu aku bertahan dengan tangis sebagai proses pendewasaan sendiri.


Jakarta, 28 Nov'14

                        

Kamis, 27 November 2014

Berbeda



            

“Karna kamu berbeda.”

            Sebuah jawaban yang simple namun cukup menggali semua rasa penasaranku. Ya, tentu saja aku penasaran tentang jawabannya. Mengapa dia menganggapku wanita spesial di antara masalalunya. Mengapa aku menjadi spesial di antara wanita yang  lainnya. Bukankah mereka juga sama denganku? Sama-sama memasuki dunia kecilnya yang indah. Bedanya, mungkin mereka hanya bayangan di masalalu sedang aku? Seperti katanya lima detik yang lalu, aku adalah wanita yang spesial di antara yang lainnya. Dan sebuah senyum tipis lagi-lagi berhasil membuatku terharu.

            “Apa yang membuatku spesial?” tanyaku lagi dengan menutup mata. Aku ingin merasakan hadirnya yang jauh di sana meski hanya lewat imajinasiku. Kudengar hembusan napas pelan dari via telpon. Aku yakin saat ini ia sedang mengingat sesuatu tentangku.

            “Karna kamu berbeda,” ulangnya lagi.

            Berbeda? Bukankah tadi dia juga mengatakan hal yang sama? Lalu dimana letak jawaban yang sesungguhnya.? Dan aku benar-benar tidak mampu mengusik rasa penasaranku tentang jawaban kedua kalinya. Aku memang wanita yang memiliki rasa ingin tahu yang besar namun kali ini sebuah jawaban yang mengharuskan untuk diam. Diam? Ya, aku memang diam namun lagi-lagi aku tak mampu menahan rasa penasaranku. Sebuah sikap yang semestinya kubuang sejauh mungkin.

            “Hayolah, apa yang membuatku spesial di matamu. Apa yang membuatku berbeda dari mereka?” tuh kan! Aku masih saja bertanya.

            “Aku bingung untuk menjawabnya,” ujarnya.

            Baiklah. Mungkin sebuah pertanyaan tidak harus memiliki sebuah jawaban yang sesuai dengan keinginan. Tapi, apa tidak satu jawabanpun bisa mengusik penasaranku?

            “Aku dan mereka sama tidak ada yang berbeda. Hanya saja dalam menyelesaikan masalah mungkin semua orang berbeda termasuk aku.” Entah dari mana kata-kata itu terucap. Yang kutau dalam benakku hanya kalimat itu yang berputar.

            “Nah, itu!”

            Itu? Mataku menyapu seisi ruangan. Ruangan yang slalu kujadikan tempat ku bercerita denganya setiap malam. Tempat yang telah menjadi saksi bahwa aura wajahku yang memerah merona setiap akhir pembicaraanku dengannya. Jika bisa kulukiskan pesona warna-warni dalam kemayu wajahku pastilah seribu lembaranpun tak mampu menghitungnya. Ah, tak mampu lagi rasanya mengungkapkan segala sesuatu. Yang berada dalam benakku yang kutau bahwa setiap kalimat yang terucap darinya adalah bingkisan tak bisa terwujud.

            Lalu...

            Lalu, aku kembali meringkuk pada pelita yang berwarna jingga.



Jakarta, 26 Okt'14

            

Amarah (Lagi)


            “Karna bagimu, sebuah kado lebih berharga di banding sebuah tar dan lilin.”

            Satu kalimat yang baru saja melewati dinding facebookku. Kalimat yang aku sendiri tak mamu mengejanya. Aku tau, kalimat itu hanya sebuah lampiasan dan amarah yang sengaja diluapkan olehnya untuk sekedar menenang hati yang sedah gundah. Ya, dia berusaha membuka kembali rasa perihnya yang sebenarnya sudah lama di pendamnya sendiri. Dan akhirnya rasa itu mencuat melabuhkan rasa kesal. Bukankah sehari sebelum hari ini semuanya baik-baik saja? Bahkan sebuah kalimat yang indah melintas di akun Path ku, begini katanya pada sang kekasih.

            “Selamat ulang tahun sayang, semoga Allah slalu memberi kebahagiaan dan melimpahkan barokah untukmu.”

            Lalu ada apa dengannya lagi? Ingin sekali ku tanyakan mengapa? Namun sebuah fikiran yang tiba-tiba melitas di benakku memasaku untuk tetap diam. Ah, aku lagi-lagi tak bisa diam. dan sebuah pesan ku irim melalui BBM.

            “Lu kenapa lagi si, Ndro?” tanyaku penasaran. Ndro—nama unik yang sengaja kuberikan untuknya.

            “Gue masih kesal.”

            Aku tau dia masih marah dengan perlakuan pacarnya semalam. Lagi-lagi karna salah paham atau mungkin jiwanya yang masih labil terlalu di utamakan hingga dia berhadapan dengan masalah.

            “Bentar lagi kak Rohib pulang loh ke Riau?” Sengaja kububuhkan kata’pulang’ di akhir kalimatku. Berharap dia kembali tenang.

            “Biarin aja, Ly. Gak apa-apa.”

            Tuh kan! Indro- nama lengkapnya Indriasari dewi yang sering di panggil Indri oleh teman-temanku yang lainnya malah biasa saja. Tidak seperti biasanya, kata ‘pulang’akan membuatnya galau berat.

            “Entar nyesal loh!” Ah, kenapa aku malah ikut mengompori?

            “Ah, biarin! Itu urusan belakang,” tambahnya sewot.

            “Gue suka gaya lu In, lu kembali kaya dulu.”           

            “Kaya dulu? Emang dulu gue kaya gimana?”

            Aku berhasil membuka satu sikaf yang membuatnya berubah setelah mengenal pacarnya. Satu sikaf cuek dan acuh yang dulu tidak pernah di milikinya. Dan kini, Indri kembali. Kembali menjadi dirinya sendiri dan mengatakan masa bodoh dengan masalah yang terjadi dengannya. Tapi, ah, aku tau dia. Aku tau bagaimana perasaannya sekarang. Aku tau bagaimana dan apa yang terjadi dengannya. Bagaimana perasaannya, kecewanya dan rasa kesalnya.

            Indri, aku yakin sebenarnya dia masih bimbang dengan dirinya sendiri. Namun aku berharap keputusannya tepat untuk kali ini.

            



Jakarta, 28 Okt'14 

About my friend (True Story)

Selasa, 18 November 2014

Aaarrrggghhhh


            
Penat ini sungguh menyiksa bathinku. Merenggut semua kebahagiaan yang tersisa di sela tawaku. Membunuh semua sisa senyum yang slalu kusisihkan dalam diamku. Ya, semua terasa hambar dan begitu hampa memenuhi rongga jiwaku. Tuhan, mengapa rasanya detak jantung ini semakin lama semakin menepis saja. Apa mungkin aku terlalu memikirkan sesuatu yang membuatku sesak? Sesak yang kini memenuhi otakku. Mengalir dalam setiap sel –sel syarafku. Mati mungkin bisa membuat semuanya lebih baik. Apakah benar dengan mati? Jika iya, apa aku haus mati?
            “Kau lelah Lya?” Entah dari mana asal suara yang tiba-tiba menghentakkan lamunanku.
Ya, aku melamun lagi sore ini. Kebiasaan terindah yang mungkin bisa membantu sisa ingatanku untuk menjadi lebih tegar dan kuat. Kuperhatikan sekeliling ruangan. Tidak ada seorangpun disini kecuali aku sendiri. Lalu, siapa yang mengejutkanku? Kuperhatikan lagi sekelilingku. Namun hasilnya tetap sama. Nihil. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja, mungkin juga karna terbawa suasana. Lebih baik tidak usah kuhiraukan panggilan tadi.

*
Dan tiga bulan kemudian...
Seperti sebuah bayangan nyata meraih kesadaranku. Dia menarikku masuk ke dalam dunia nyata miliknya. Katanya, kau bisa berbagi keluh kesahmu bersamaku. Tentang apa saja kau bisa ceritakan padaku, begitu katanya. Tapi, apakah semudah itu mengatakan semuanya padamu? Apakah semudah itu mengutarakan semua beban di hatiku ini padamu? Apakah semuanya akan lebih baik lagi jika kukatakan padamu? Aku ragu. Ah, sebenarnya tidak ragu padamu hanya saja aku lebih suka memendam semua di hatiku. Semuanya akan terasa baik-baik saja jika hanya aku saja yang tau. Aku akan baik bila terus begini.
“Katakanlah Lya,” ujarmu malam itu.
Aku menangis untuk ketiga kalinya. Kenapa harus menangis lagi? Kenapa airmata ini mudah sekali jatuh? Aku benci menangis. Aku benci airmata. Namun yang paling kubenci aku tidak bisa menahan bendungan airmataku sendiri. Air mata yang bisa mewakili semua penat yang tersisa. Semua perih yang menikam jiwa. Semua luka yang menyayat sukma. Rasanya sesak sekali setiap fikiran buntu ini menggelayut di fikiranku. Sesak yang membuatku sulit bernafas.
“Aku baik-baik saja. Percayalah!” kuselipkan tawa di ujung ucapanku.
“Kau yakin?” ujarmu tidak percaya. Tentu saja kau tidak akan percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan. Tidak mungkin dalam sedetik saja keadaan menjadi lebih baik. Tapi percayalah, mendengar suaramu sudah menjadikan keadaan lebih tenang.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku menghapus sisa airmataku tadi. Tak kubiarkan air mataku jatuh lagi.

*
   Seperti puluhan ribu putaran berkeliling di kepalaku. Pusing dan mual kini bercampur aduk di tubuhku. Sakit sekali rasanya jika harus begini lagi. Setiap ada masalah tubuhku slalu jadi tempat pelampiasan. Aku lelah, pusing dan ingin pinsan. Aku tak kuat lagi. Benar-benar menyiksa sekali.
Sekali, dua kali dan tiga kali aku bergumam sendiri. Aku harus bisa, aku harus kuat. Namun tetap saja aku tak kuat. Aku berlari ke dalam kamar mandi kemudian memuntahkan semua yang membuat perutku mengerang. Cairan kuning mengalir dari mulutku. Aku muntah lagi dan lagi. Jelang kemudian aku tenang. Perutku yang tadi terasa ngilu lambat laun menjadi biasa saja.
Kuhempaskan tubuhku di atas kursi. Pandanganku nanar pada komputer yang berada tepat dihadapanku. Cahayanya membuat mataku menyipit. Ah, aku tidak fokus kerja. Aku ingin pulang dan istirahat sejenak. Membuang unek-unek yang menggelayut di kepalaku.
“ Mas, aku pulang duluan ya mas,” ujarku dengan menekan-nekan kepalaku yang semakin pusing.

*
“Sebaiknya kamu periksa saja, Lya.”
Sosok dihadapanku mengulurkan secangkir teh hangat. “Periksa? Ngapain? Wong aku baik-baik aja kok,” jawabku. Kuseruput teh hangat ditanganku.
“Apa kamu gak takut jika sesuatu terjadi di kepalamu?”
Kupandangi sosok itu tajam. Dia benar-benar membuatku takut. “Aku baik kok,” ketusku.
“Kalau kamu baik terus ngapain mengeluh mulu kalau kamu sakit. Kepala sakit, rambut rontok, perut mual. Apa itu bukan penyakit?” Dia menatapku. Matanya tajam sekali.
“Kamu jangan menakutiku. Aku gak suka,” aku semakin kesal dibuatnya.
“Aku tidak bermaksud menakutimu, Lya. Tapi dengarlah, jika kamu memang sahabatku sebaiknya kamu ikuti saja saranku.”
“Itu bukan saran, Ema. Melainkan jebakan yang membuatku semakin takut.” Kutinggalkan dia sendiri dengan teh yang tadi diulurkannya padaku. Aku sudah malas mendengar ucapannya untuk kesekian kalinya.

*
Dan kepalaku berdenyut lagi...
Aku benci dengan hal ini. Aku benci jika ini harus terjadi lagi. Apa aku harus mengikuti saran Ema saja? Memeriksa kepalaku yang tiap kali berdenyut. Tapi, ah, untuk apa? Toh para dokter hanya bisa mendiagnosa saja. Yang katanya inilah-itulah. Membuatku semakin tegang saja jika mendengarnya. Lebih baik kubiarkan saja jika terus begini. Nanti saja, jika mungkin aku sudah memiliki keberanian maka akan kulaksanakan saran dari Ema. Ya, walaupun aku takut.

Sepertinya aku harus tetap mempertahankan keegoanku dengan memendam segala apapun yang terjadi di diriku. Mungkin itu yang lebih baik.

Ah... aku tidak ingin terlalu pusing dengan semuanya.

Jakarta, 14 Nov'14

Kau Tau Sayang




Kau tau sayang...
Jarak ini seperi sel yang siap membunuhku
Menghancurkan kepingan kekokohan hatiku
Jika semenit saja tak kudengar suaramu

Kau tau sayang...
Jarak ini seperti racun mematikan bagiku
Membunuhku secara pelan dan berlahan
Jika sedetik saja kau acuhkan aku

Kau tau sayang...
Jarak ini seperti lautan api yang siap melahapku
Menghanguskan seluruh sisa kesabaranku
Jika sedetik saja ku tak mendengar kabarmu

Kau tau sayang...
Jarak ini seperti detak jam di dinding
Berlalu dan berdentang dengan berisik
Jika kau tak mebiarkan jenuhku kini tak terobati

Kau tau sayang...
Jangan buatku semakin tak tenang
Meregang dengan keadaan yang mematikan
Maka kemarilah segera datang, temui aku di tempat kita sewaktu berbincang



 Jakarta, 04 Nov’14

Adakah Yang Salah Sayang





Adakah yang salah dari sekeping hati ini sayang?
Sejak mengenalmu kepalaku terus saja terasa pusing
Adakah yang salah dengan sekeping hati ini sayang?
Sejak mengenalmu jiwaku semakin terasa mengering

Aku mau makan tampak wajahmu
Aku mau minum tampak lagi senyummu
Aku mau tidur tampak lagi kamu
Aku kemanapun ada saja kamu

Apa yang salah dari sekeping hati ini sayang?
Jatuh cintakah aku padamu?
Atau apa karna aku terlalu memikirkanmu?
Hingga kamu menggelayut dibenakku

Kamu tampak lagi tadi sayang
Mengintipku, menolehku di sela tawaku

Ada apa dengan sekeping hati ini sayang?
Atau kau sudah racuni aku?
Kau buat aku candu dengan semua tingkahmu
Ada apa dengan sekeping hati ini sayang?
Kau benar-benar membuat penak kepalaku



Jakarta, 04 Nov’14

Dia Lebih Dari Indah





            Di sana, jauh di dalam gumpalan awan yang memutih. Jauh dari warna pelangi dan jauh dari sederetan guyuran hujan. Terekam namamu yang mengelilingi fikiranku. Berputar-putar dalam benakku. Serta memanggil-manggil namaku. Kamu... ya, kamu yang slalu membentak dalam sanubariku. Melebihi derasnya anomali air yang slalu setia pada panasnya mentari. Tidak... kamu malah melebihinya. Bahkan melebihi indahnya purnama ketika malam menyunggingkan senyumnya. Menoreh bingkisan putih tepat di hadapanku. Dan tanpa sadar aku menulis namamu di dinding kaca tepat dihadapanku. Sebuah nama yang berhasil membolak-balikkan hatiku. Sebuah nama yang berhasil menjatuhkan butiran-butiran rindu di penghujung malamku. Sebuah nama yang aku sendiri tanpa sadar slalu menyebutnya.

            Dia...
            Indahnya melebihi lintasan pelangi setiap hujan. Hujan yang mengguyurkan perasaan yang tenang dan tentram setiap saatnya. Ah... tak perlu kukatakan lagi tentang dia, tentang dia yang nanti kau, kalian bahkan aku sendiri tak bisa membayangkannya. Hanya saja aku bisa merasakan sosoknya yang benar-benar ada dan nyata tepat dihadapanku. Melengkungkan senyumnya yang merona melebihi lukisan kanvas di senja yang tak berwarna.

            Aku merindukannya...
            Ah, aku terlalu merindukan sosoknya yang di sana. Terlalu merindukan sosoknya yang menjadi pelabuhan kehampaanku. Aku terlalu menrindukannya...
Merindukannya dengan sosok kesederhanaannya.


Jakarta, 18 Nov’14

            

Selasa, 11 November 2014

Kopi


Kopi pahit
Kopi hitam
Kopi manis

Pahit kopi
Hitam kopi
Manis kopi

Kopi hitam manis
Kopi hitam pahit
Kopi manis pahit
Kopi hitam pahit manis

Kopiku kopi pahit manis
Kopiku manis kopiku pahit
Kopiku kopi hitam manis
Kopiku kopi pahit manis

Kopiku tak suka kopi



Created: Jakarta, 21 Okt'14

*saat itu aku lagi pusing dan terciptalah sebuah puisi 'Kopi' 

Apa Kabar Ayah?


Apa kabar sore ini Ayah?
Masihkah peluh itu menghiasi keningmu yang semakin mengkilat
Apa kabar sore ini Ayah?
Masihkah senyum itu menghiasi bibirmu yang pucat

Aku slalu mendo'akanmu Ayah
Dengan linangan air mata yang hampir mengering
Jua suara yang semakin serak tak berfungsi
Kuharap Ayah baik slalu disana

Apa kabar sore ini Ayah?
Masihkah binar indah itu menggelayut di matamu
Yang slalu menatap ke angkasa
Menghitung paruh waktu yang kian berlalu

Aku disini Ayah
Mengupas sang mentari di sore ini
Bersama tumpukan perisai yang siap menemani
Serta cekikikan mereka yang tak kukenali

Apa kabar sore ini Ayah?
Kuharap mentari di ufuk sana tak sekejam sore di Jakarta ini
Agar Ayah bisa pulang ke rumah
Membawa sejuta permadani untuk kami

Apa kabar sore ini Ayah?
Sungguh, aku merindukanmu beserta pujianmu

Created: Jakarta, 03 Nov'14

Selamat malam purnama yang redup...


            Selamat malam purnama yang redup...
Setahun sudah kita tidak bertemu. Tidak pernah saling bertutur sapa. Saling memberi kabar meski hanya 'hai' saja. Tidak pernah terjadi sedikitpun diantara kita sejak kejadian dulu. Kita bagai matahari dan pluto yang terpisah jarak dan waktu. Sangat jauh.
            Selamat malam purnama yang redup...
Kemaren aku memimpikanmu. Ya, aku bermimpi tentang kamu namun bukan tentang kamu yang dulu. Aku melihat kamu tersenyum menyapaku. Apa mungkin ini pertanda kamu memaafkanku? Memaafkan semua kesalah yang pernah terjadi diantara aku dan kamu.
            Selamat malam purnama yang redup...
Kau pasti sudah bahagia sekarang, bukan? Pasti. Aku yakin kamu sudah menemukan sosok wanita yang pernah kamu ceritakan yang pernah kamu inginkan yang pernah menjadi idaman yang menjadi harapanmu sebelum kau jatuh cinta padaku. Tentu saja, aku yakin wanita itu beruntung memilikimu.
            Selamat malam purnama yang redup...
Kudengar kau menanyaiku lewat familyku? Ohyah? Tak usah lagi kau hiraukan aku. Walaupun kutau kau hanya ingin sekedar tau saja. Tapi aku tidak suka. Sama sekali benci jika kau kembali mengusik hidupku yang damai ini. Aku takut semakin membencimu nanti. Kau taulah, aku ini wanita yang mudah terjangkit amarahnya.
            Selamat malam purnama yang redup...
Kembalilah lagi pancarkan sinarmu untuk sang mawarmu yang membutuhkan cahaya indahmu. Agar kelak kamu bisa tersenyum sembari mengingatku sebagai masa lalumu yang pernah menyakitimu. Ya, menyakitimu agar kau bisa merubah hidupmu menjadi lebih baik lagi.
            Selamat malam purnama yang redup...




Jakarta, 11 Okt'14

SUDAH SETAHUN, BUKAN?




Sudah setahun, bukan?
Rindangnya cemara ini tak seperti dulu lagi
Ranumnya mawar ini tak seindah dulu lagi

Sudah setahun, bukan?
Mentari yang menepi di setiap pagi tak seindah dulu lagi
Pelangi yang menabur jingga tak sewarna sedia kala lagi

Sudah setahun, bukan?
Ladang taman ini tak pernah ku singgahi lagi
Bahkan memetik bunga di sana rasanya tak ingin sekali



Sudah setahun, bukan?
Kita tak berjalan di jalur yang sama lagi
Tidak saling pandang
Jua tidak saling menggenggam

Bukan kubenci dengan cara yang tak bisa kau dendang
Bukan juga enggan pada senyummu
Sebab semua sudah berlalu
Hingga setahun yang lalu kutanam di dalam kalbu

Sudah setahun, bukan?
Trimakasih untuk setahun yang lalu
Dengan warna pelangi jua mawar yang kau beri
Serta rindangnya ladang cemara yang mewangi



Created: Jakarta, 06 Okt'14

Senin, 10 November 2014

Aku Menunggu



Aku menunggu pagi, katamu
Menunggu hingga kau terlelap
Menunggu mentari menyapa bumi
Menunggu senyummu menggugah jiwa

Aku menunggu malam, kataku
Menunggumu menyapa namaku
Menunggumu mengatakan rindu untukku
Biar lelap tidurku

Aku menunggu sore, katamu
Menunggu hangatnya suaramu yang merdu
Menunggumu mengungkapkan kalimat nan syahdu
Menunggumu hingga kau tau aku baik-baik saja disini



Aku menunggu...
Menunggu purnama di ufuk daun kamboja
Menghiasi taman-taman dihati
Memberi sejuta arti

Aku menunggu...
Menunggu hingga lelah membasuh peluh
Tak mengapa tak ada bunyi ketukan palu
Yang pasti aku tetap setia menunggu

Karna aku menunggumu


Jakarta, 10 Okt'14

KAMU JAHAT, SAKITNYA TUH DISINI...!



            Namanya Candra, sosok laki-laki bagai pahlawan yang datang menghampiri. Menghiasi hidupku yang kelam tak berwarna. Dia memberi warna indah layaknya senja yang tak ingin terpisahkan dari tepi pantai. Laki-laki yang biasa namun penuh dengan guratan aksara.
Aku mengenal Candra hampir tiga tahun lamanya. Senyumnya yang merekah membuatku slalu memikirnya. Tawanya yang manja membuatku tak bisa berpaling darinya. Jujur, diam-diam aku menyukai Candra. Diam-diam aku juga memperhatikan tingkah lakunya setiap kali bersamaku. Dapat kulihat dari matanya yang teduh sepertinya dia juga menyukaiku. Entahlah, jika ini hanya perasaanku saja aku tak peduli. Yang kutau Candra slalu ada setiap kali aku membutuhkannya.
Candra yang periang dan humoris membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Bergetar layaknya genderang mau perang. Bergejolak bagai air terjun yang menetes mengenai bebatuan dibawahnya. Jika ada yang mendefinisikan sebuah kalimat ‘cinta itu buta’ maka aku adalah seorang yang buta karna cinta. Aku telah buta melihat laki-laki selain hanya Candra. Ya, hanya Candra yang menggelayut disetiap langkahnku.
*
 “Aku menyukai Candra, Na,” ujarku pada Luna. Entah karna apa aku berani membuka perasaanku yang sengaja kututupi dari Luna— sahabat karibku.
“Oh ya?” jawab Luna datar.
“Kok kamu jawabnya ‘Oh ya’ doang si Lun,” kesalku. Aku pura-pura mayun.
“Kamu aneh,” jawab Luna datar.
Aneh? Apa yang aneh dengan perasaanku. Bukankah wajar kalau aku menyukai Candra. Sosok laki-laki yang baik hati dan perhatian. “Aneh kenapa Lun?” aku masih penasaran dengan ucapannya.
Luna menyentuh kedua bahuku. Dia memperhatikanku.  “Dengar ya Mey, sampai kapanpun aku tidak akan pernah setuju kalau kamu pacaran dengan Candra,” tegas Luna membuat mataku melotot kearahnya.
“Loh, kenapa?” keningku berkerut. Aku tidak terima Luna berbicara seperti itu padaku.
“Ya.. aku gak setuju aja.”
“Setidaknya kamu punya alasan kenapa kamu gak setuju?” aku benar-benar bingung dibuatnya.
“Candra itu sahabat kamu Mey. Dan kalian sudah seperti saudara sendiri. Apa kamu tidak pernah berfikir jika suatu saat nanti kalian putus kalian gak bakal bisa jadi teman layaknya sekarang.” Luna menangkupkan tangannya ke dagu. Ia memperhatikanku dengn teramat sangat. “Teman jadi pacar itu mudah Mey, tapi yang namanya pacar jadi teman itu gak bakal bisa. Sulit banget!”
Benarkah?
Untuk beberapa menit aku diam mempertimbangkan ucapan Luna.
*
Setelah percakapanku dengan Luna beberapa hari lalu aku memutuskan untuk tidak bertemu dengan Candra. Aku ingin menenangkan perasaanku terlebih dulu. Aku takut jika nanti menememuinya perasaanku semakin tumbuh padanya. Untuk itu aku memutuskan tidak akan menemuinya sampai hatiku kembali dalam keadaan tenang.
Satu hari, dua hari, tiga hari aku masih bisa menahan rinduku padanya. Aku masih bisa tidak menemuinya. Namun setelah seminggu kemudian aku merasakan seperti ada yang hilang dari diriku. Tidak mendengar canda dan tawa Candra sehari saja rasanya hidupku terasa hambar. Ah, aku benar-benar tidak bisa kehilangan dirinya.
 Setelah seharian bertempur dengan fikiranku aku memutuskan untuk menemui Candra di kantin kampus seusai mata kuliah. Akan kutanyakan padanya tentang sesuatu yang mengendap di hatiku.
“Ada yang ingin kutanyakan padamu Candra,” ujarku menatap Candra yang sedang menyeruput teh manis di tangannya.
 “Kita sudah lama saling mengenal Mey. Mau nanya doang kenapa harus minta izin segala,” jawab Candra diselingi candaan.
“Aku tidak sedang bercanda, Candra,” kali ini kupasang wajah seserius mungkin. “Ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu.”
“Oke! Tanya saja,” Candra menggeser gelas ditangannya.
Aku menarik napas pelan. Tidak perlu waktu lama untuk menunggu sebuah pengungkapan. Jika Candra tidak berani mengatakan isi hatinya maka aku yang akan menanyakan secara langsung padanya. “Apa kamu menyukaiku?” ujarku. Kukuras semua keberanianku untuk mengungkapkan apa yang kurasakan selama ini.
Candra melotot. Mungkin dia belum percaya dengan apa yang baru saja kuucapkan.
“Kenapa? Apa aku harus mengulanginya sekali lagi?” tanyaku.
 Candra masih tetap diam.
“Baiklah, akan kuulangi sekali lagi. Apa kamu menyukaiku Candra?” ulangku. Aku berharap penjelasanku kali ini Candra tau apa maksudku.
“A.. aku!” jawab Candra terbata.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
Candra tiba-tiba meraih tanganku. “Dengar Mey, aku memang menyayangimu tapi tidak mencintaimu.” Candra berhenti sebentar. Ia memperhatikanku sangat dalam. “Aku mencintai wanita lain, Mey.”
“Kamu... kamu mencintai wanita lain?” mataku terasa perih sekali. Jantungku berdetak tidak karuan.
Candra mengangguk.
“Jadi... selama ini?” aku benar-benar tidak sanggup melanjutkan kalimatku. Rasanya sakit sekali jika harus mendengar penjelasan darinya. Bukankah selama ini Candra slalu memberikan perhatian yang lebih padaku? Bukankah Candra slalu menjadikanku wanita nomor satu dimanapun? Candra tidak pernah membicarakan wanita lain saat bersamaku. Dan sekarang? Saat kuucapkan cinta padanya dia malah mengatakan ada wanita lain yang dia cintai. Benar-benar menyakitkan.
“Selama ini aku hanya menganggapmu sebatas teman saja, Mey. Aku menganggapmu seperti saudara sendiri.”
Kutarik tanganku dari genggamannya. Jadi? Oh God,  sakitnya tuh disini...! Kutekan dadaku yang terasa perih.
“Siapa wanita yang berhasil menaklukan hatimu, Can?” tanyaku. Aku tau aku akan semakin terluka dengan pertanyaanku.
Candra berfikir untuk beberapa detik lalu kemudian tersenyum. “Aku mencintai, Luna.”
Apa? Luna? Ah, aku pasti salah mendengar. “Luna?” ulangku. “Luna siapa maksudmu, Can?”
“Luna sahabat kamu, Mey. Aku menyukainya saat kamu mengenalkanku padanya. Dan semenjak itu aku mulai mencintainya.”
 Candra mencintai Luna? Luna sahabatku? Sahabat yang kuanggap seperti saudara sendiri. Tidak... tidak mungkin. Candra pasti sedang bercanda.
“Kamu pasti bercanda, Candra?” tanyaku. Aku berusaha menahan bendungan air mataku yang mulai jatuh. Aku tidak boleh menangis hanya karna masalah cinta.
“Aku tidak bercanda, Mey. Aku serius.”
“Oke, baiklah!” jawabku. Aku berdiri ingin meninggalkan Candra sendiri.
“Maafkan aku, Mey.” Candra berusaha menenangkanku. Dia pasti tau apa yang sedang berkecambuk dihatiku. “Tolong, jangan pergi Mey, dengarkan penjelasanku dulu.”
Aku kembali duduk. Sebaiknya aku mendengarkan penjelasan dari Candra. Toh, menghindar bukanlah solusi yang tepat.
“Kamu marah padaku, Mey?” tanya Candra setelah beberapa menit aku diam.
 Aku menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Candra. Yang jelas aku sudah jujur padamu tentang perasaanku.” Aku tersenyum kemudian memalingkan wajahku darinya. Bagaimanapun aku harus tegar dihadapannya. Aku tidak ingin terlihat lemah. Tiba-tiba perkataan Luna terngiang-ngiang di telingaku. Luna melarangku untuk mencintai sahabat sendiri dan kuakui dia benar. Aku terluka dengan perjalan cintaku yang belum di mulai namun yang lebih menyakitkan Candra mencintai Luna. Mereka berdua adalah sahabat terbaikku yang slalu ada untukku.
“Mey...” Candra memanggil namaku.
Kutatap Candra. Dia tersenyum namun senyum itu bukanlah senyum yang sama layaknya dulu. “Apa Luna tau perasaanmu?” tanyaku penasaran.
Candra mengangguk. “Kami sudah jadian, Mey. Seminggu yang lalu.”
Seminggu yang lalu? Itu artinya Luna jadian dengan Candra setelah beberapa hari kukatakan pada Luna kalau aku menyukai Candra. Setega itukah kamu padaku, Luna? Kamu pura-pura baik padaku dengan mengatakan kalau kamu tidak setuju jika aku jadian dengan Candra namun nyatanya kamu mengkhianatiku. Kamu jahat, kamu benar-benar bukan sahabat melainkan musuh dalam selimut.
“Aku yakin suatu hari nanti akan ada laki-laki yang baik hati datang padamu, Mey.”
Entahlah... sepertinya aku akan mengunci hatiku untuk sementara waktu.





*Cerpenku yang harusnya sudah dikirim eh malah salah alamat :( 
Mungkin belum rezeki :)