“Karna
kamu berbeda.”
Sebuah jawaban yang simple namun cukup menggali semua
rasa penasaranku. Ya, tentu saja aku penasaran tentang jawabannya. Mengapa dia
menganggapku wanita spesial di antara masalalunya. Mengapa aku menjadi spesial
di antara wanita yang lainnya. Bukankah
mereka juga sama denganku? Sama-sama memasuki dunia kecilnya yang indah.
Bedanya, mungkin mereka hanya bayangan di masalalu sedang aku? Seperti katanya
lima detik yang lalu, aku adalah wanita yang spesial di antara yang lainnya.
Dan sebuah senyum tipis lagi-lagi berhasil membuatku terharu.
“Apa yang membuatku spesial?” tanyaku lagi dengan menutup
mata. Aku ingin merasakan hadirnya yang jauh di sana meski hanya lewat
imajinasiku. Kudengar hembusan napas pelan dari via telpon. Aku yakin saat ini
ia sedang mengingat sesuatu tentangku.
“Karna kamu berbeda,” ulangnya lagi.
Berbeda? Bukankah tadi dia juga mengatakan hal yang sama?
Lalu dimana letak jawaban yang sesungguhnya.? Dan aku benar-benar tidak mampu
mengusik rasa penasaranku tentang jawaban kedua kalinya. Aku memang wanita yang
memiliki rasa ingin tahu yang besar namun kali ini sebuah jawaban yang
mengharuskan untuk diam. Diam? Ya, aku memang diam namun lagi-lagi aku tak
mampu menahan rasa penasaranku. Sebuah sikap yang semestinya kubuang sejauh
mungkin.
“Hayolah, apa yang membuatku spesial di matamu. Apa yang
membuatku berbeda dari mereka?” tuh kan! Aku masih saja bertanya.
“Aku bingung untuk menjawabnya,” ujarnya.
Baiklah. Mungkin sebuah pertanyaan tidak harus memiliki
sebuah jawaban yang sesuai dengan keinginan. Tapi, apa tidak satu jawabanpun
bisa mengusik penasaranku?
“Aku dan mereka sama tidak ada yang berbeda. Hanya saja
dalam menyelesaikan masalah mungkin semua orang berbeda termasuk aku.” Entah
dari mana kata-kata itu terucap. Yang kutau dalam benakku hanya kalimat itu
yang berputar.
“Nah, itu!”
Itu? Mataku
menyapu seisi ruangan. Ruangan yang slalu kujadikan tempat ku bercerita
denganya setiap malam. Tempat yang telah menjadi saksi bahwa aura wajahku yang
memerah merona setiap akhir pembicaraanku dengannya. Jika bisa kulukiskan
pesona warna-warni dalam kemayu wajahku pastilah seribu lembaranpun tak mampu
menghitungnya. Ah, tak mampu lagi rasanya mengungkapkan segala sesuatu. Yang
berada dalam benakku yang kutau bahwa setiap kalimat yang terucap darinya
adalah bingkisan tak bisa terwujud.
Lalu...
Lalu, aku kembali meringkuk pada pelita yang berwarna jingga.
Jakarta, 26 Okt'14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar