Hai,
Jakarta yang penuh luka...
Selamat
pagi untukmu...
Kali
ini, hati kembali lagi di uji oleh si Pemilik sabar. Sebuah ujian yang
membawaku pada tahab titik kesabaran. Pada tingkat tinggi yang membawaku sebuah
kesabaran. Ya, jika bukan karna sabar mungkin nyawa sudah melayang. Namun,
lagi-lagi si Pemilik sabar menahanku tuk tetap sabar hingga kutahan dengan
tidak menahan tangis. Cukup, katakan pada hati, pada seonggok hati yang tersisa
kesabaran. Jika semua akan menjadi lebih baik lagi.
Hai, jakarta yang membawa luka...
Salam
pagi kembali lagi kulayuti spesial untukmu...
Semngat pagi untuk luka yang
lagi-lagi masih menganga dalam dada. Tentu begitu setiap keadaan yang tak
berpihak padamu. Ah, tidak sebenarnya. Jika semua kau jalani dengan dalam
tenang maka hatimu akan baik-baik saja. Ya, tentu saja begitu. Namun, keadaan
lagi-lagi memaksaku untuk menangis. Menumpahkan segala kepingan serta sisa
sabar dari seonggok hati yang penuh rintangan. Menangis? Ah, aku tak menagis.
Aku hanya ingin bulatan mataku basah serta kelopaknya terlihat semakin indah.
Maka kutumpahkan semua air yang tersisa. Setidaknya akan membuatku sedikit
lega.
Hai, Jakarta yang penuh perjuangan...
Selamat
pagi untuk kamu yang terus memberi sisih perih...
Aku hanya bertanya pada hati. Apa
berbuat baik itu salah? Apa melakukan sesuatu yang benar itu slalu saja salah?
Aku tak tau... namun yang pastinya melakukan sesuatu yang baik pastilah slalu
ada yang menjadi pihak yang di salahkan. Salah yang belum tentu salah. Namun
hal aneh akan slalu terlihat salah jika yang salah tidak pernah merasa salah.
Dan aku benci hal yang demikian. Untuk tetaplah jaga seonggok hatimu agar tetap
tersisih rasa sabar.
Hai, Jakarta yang penuh dengan kesulitan...
Selamat
pagi untukmu sebagai proses pendewasaan...
` Ya, jika saja tidak ada rasa sabar
dalam dada. Mungkin, ya tentu saja benar-benar mungkin hati yang luka pasti
membengkak semakin bengkak. Tapi, ya, lagi-lagi hati terus bersabar. Sebuah
kesabaran yang akhirnya mengajarkanmu untuk bersikap lebih baik, lebih dewasa.
Tentu, semuanya pada intinya adalah pendewasaan diri. Dewasa untuk menghadapi
kepingan hati. Maka itu aku bertahan dengan tangis sebagai proses pendewasaan
sendiri.
Jakarta, 28 Nov'14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar