Sabtu, 29 November 2014

Hai, Jakarta...



Hai, Jakarta yang penuh luka...
Selamat pagi untukmu...
Kali ini, hati kembali lagi di uji oleh si Pemilik sabar. Sebuah ujian yang membawaku pada tahab titik kesabaran. Pada tingkat tinggi yang membawaku sebuah kesabaran. Ya, jika bukan karna sabar mungkin nyawa sudah melayang. Namun, lagi-lagi si Pemilik sabar menahanku tuk tetap sabar hingga kutahan dengan tidak menahan tangis. Cukup, katakan pada hati, pada seonggok hati yang tersisa kesabaran. Jika semua akan menjadi lebih baik lagi.

Hai, jakarta yang membawa luka...
Salam pagi kembali lagi kulayuti spesial untukmu...
            Semngat pagi untuk luka yang lagi-lagi masih menganga dalam dada. Tentu begitu setiap keadaan yang tak berpihak padamu. Ah, tidak sebenarnya. Jika semua kau jalani dengan dalam tenang maka hatimu akan baik-baik saja. Ya, tentu saja begitu. Namun, keadaan lagi-lagi memaksaku untuk menangis. Menumpahkan segala kepingan serta sisa sabar dari seonggok hati yang penuh rintangan. Menangis? Ah, aku tak menagis. Aku hanya ingin bulatan mataku basah serta kelopaknya terlihat semakin indah. Maka kutumpahkan semua air yang tersisa. Setidaknya akan membuatku sedikit lega.

Hai, Jakarta yang penuh perjuangan...
Selamat pagi untuk kamu yang terus memberi sisih perih...
            Aku hanya bertanya pada hati. Apa berbuat baik itu salah? Apa melakukan sesuatu yang benar itu slalu saja salah? Aku tak tau... namun yang pastinya melakukan sesuatu yang baik pastilah slalu ada yang menjadi pihak yang di salahkan. Salah yang belum tentu salah. Namun hal aneh akan slalu terlihat salah jika yang salah tidak pernah merasa salah. Dan aku benci hal yang demikian. Untuk tetaplah jaga seonggok hatimu agar tetap tersisih rasa sabar.

Hai, Jakarta yang penuh dengan kesulitan...
Selamat pagi untukmu sebagai proses pendewasaan...
`           Ya, jika saja tidak ada rasa sabar dalam dada. Mungkin, ya tentu saja benar-benar mungkin hati yang luka pasti membengkak semakin bengkak. Tapi, ya, lagi-lagi hati terus bersabar. Sebuah kesabaran yang akhirnya mengajarkanmu untuk bersikap lebih baik, lebih dewasa. Tentu, semuanya pada intinya adalah pendewasaan diri. Dewasa untuk menghadapi kepingan hati. Maka itu aku bertahan dengan tangis sebagai proses pendewasaan sendiri.


Jakarta, 28 Nov'14

                        

Tidak ada komentar: