Mataku belum beralih
dari danau di hadapanku. Suara gemirisik ombak kecil disana membuatku semakin
tidak ingin berpaling sedikitpun. Ku lihat beberapa anak kecil memainkan air
sambil tertawa riang. Mereka seperti tidak ada beban. Ah, aku ingin sekali
merasakan hal yang sama. Membuang semua beban dalam fikiranku yang telah lama
ku pendam. Merasakan kebahagian layaknya anak kecil disana. Tapi sepertinya
tidak mungkin. Ini sulit terjadi.
“Aku masih mencintaimu,” ujarku. Aku tidak berani
memandang laki-laki disampingku. Aku takut melihatnya bahkan terlalu takut
mendengar jawaban darinya.
Laki-laki disampingku menarik napas. Mungkin dia
memikirkan sesuatu.
“Aku tau apa yang kamu fikirkan tentangku, Sam,”
lanjutku. Kali ini ku perhatikan sosok Sam dengan segenap keberanianku. Tiga tahun
tidak bertemu dengannya tapi tidak ada sedikitpun yang berubah. Matanya,
hidungnya, bibirnya dan senyumnya masih tetap sama. Ah, aku semakin tidak bisa
melupakannya.
“Aku tau apa yang kamu rasakan, Sep,” ujarnya. Ia
memandangku kemudian tersenyum. “Tapi aku tidak pantas untukmu.”
Tidak pantas
untukku?
Kata-kata itu kembali memenuhi otakku. Ucapannya kembali
mengorek luka lama. Tidakkah dia tau bagaimana sakitnya hatiku saat dia
memutuskanku? Meninggalkanku tanpa alasan pasti.
“Dulu, kamu juga pernah mengatakan hal yang sama, Sam.
Tidakkah kamu tau bagaimana sakitnya hatiku.? Aku sudah memendamnya selama tiga
tahun lamanya. Rasanya sakit sekali,” ku jauhkan wajahku darinya. Air mataku
mulai jatuh, aku menangis.
“Aku minta maaf,
Sep. Maafkan atas kesalahanku.” Ia mencoba meraih tanganku.
“Sudahlah, aku tidak akan memaksamu. Jika kau tidak
mencintaiku ya harus bagaimana? Aku tidak mungkin memaksamu.” Ku jauhkan
tanganku darinya. Aku tidak ingin luka itu semakin dalam.
“Maafkan aku, Sep,” ia menarik wajahku mendekatinya.
Awalnya aku menolak tapi lama-lama kelamaan aku
membiarkannya.
“Sebenarnya apa yang membuatmu mencintaiku? Lihatlah,
masih banyak laki-laki disana yang mencintaimu melebihi cintamu padaku,” Sam
mencari-cari jawaban disela-sela mataku. Tentu, aku juga tau itu.
“Aku tidak memiliki alasan untuk mencintaimu, Sam. Yang
aku tau aku hanya mencintaimu seorang bahkan sampai saat ini,” jawabku. Ku
tarik wajahku darinya. Aku tidak ingin semakin tenggelam ke dalam mata itu.
Rasanya sakit sekali.
“Aku... “ Sam mengalihkan pandangannya ke danau di sana.
Ia menutup matanya berlahan. Ada yang ingin di ucapkannya.
“Papa...” ku lihat seorang anak kecil berumur dua tahun
berdiri di hadapan kami. “Nana, mau makan pa,” pintanya. Rambutnya yang diikat
ekor kuda bergoyang kekanan-kekiri.
“Tunggu sebentar ya, sayang,” tiba-tiba seorang wanita
yang tidak jauh umurnya denganku menarik lengan kecil itu.
Aku menelan ludah. Rasanya getir sekali. Ku perhatikan
mereka satu persatu. Ada apa ini?
“Kita kapan pulang, mas?” wanita itu menatap kearah kami.
Mas?
Degup jantungku
semakin tidak karuan. Mungkinkah?
“Tunggu sebentar ya,” jawabnya. Sam menatapku lalu
tersenyum. “Kenalkan Sep, ini Naila, istri aku. Dan... ini Nana, malaikat kecil
kami,” Sam menarik Nana kepelukannya.
Ku lihat Naila tersenyum. Senyum itu seolah mengejekku. Aku
benar-benar tidak tahan. Aku ingin beranjak pergi dari sini secepatnya.
“Apa maksudmu?” kepalaku tidak bisa di ajak kompromi
lagi. Aku benar-benar pusing, ingin muntah.
“Maaf Sep, tadi aku lupa bilang sama kamu kalau aku
sengaja mengajak kamu ke sini sekalian untuk mengenalkan istri dan anakku.” Sam
meraih tangan Naila untuk mendekatinya.
Aku benci senyum itu. Senyum yang menyakitkan. “Oya?”
jawabku. Rasanya aku ingin meninju Sam saat ini juga. “Kamu pasti bahagia, Sam,”
ku alihkan pandanganku pada Naila.
Naila tersenyum.
“Selamat ya, Sam,” mau tak mau aku mengukir senyum palsu.
Ku jauhkan pandanganku ke danau disana. Danau itu seakan mengejekku dengan apa
yang sedang ku rasakan. Ah, tidak... biarkan saja dia meremehkanku. Toh, dia
juga tidak akan bisa mengubah kecewaku saat ini.
Setega itukah kau
padaku, Sam?
Dadaku sesak.