Bagaimana perasaanmu ketika melihat sosok yang pernah hadir di kehidupanmu tiba-tiba hadir dihadapanmu? Apakah engkau mundur? Atau kau malah berusaha tersenyum? Atau mungkin kau mempersilahkannya duduk sambil berbincang seolah apa yang ada diantara kalian dulu tidak pernah terjadi?
Aku rasa itu mustahil terjadi. Yah, bagaimana mungkin kau biasa-biasa saja menyambutnya dengan tatapan hangat. Bagaimana mungkin kau bisa mengulas senyummu seindah bunga tulip terhadapnya? Mustahil, aku yakin mustahil terjadi. Namun, yah inilah yang terjadi padaku kali ini. Seketika itu mataku serasa ingin mencuat dari tempatnya. Jantungku juga semakin berdegup kencang. Tidak, ini tidaklah karna perasaan yang dulu kembali bersemi bak bunga di musim semi. Bukan juga karna perasaan yang dulu datang menyelinap secara merata. Bukan, bukan itu.
Ini berbeda.
Dimana ada rasa yang sulit untuk di beri makna. Dimana ada sebuah perasaan yang tak mungkin terjamah kembali. Yang pasti ini adalah perasaan yang aku sendiri sulit untuk memberi arti. Dia datang seiring dedaunan yang berguguran di musim kemarau. Dia hadir seiring kelopak bunga kembali berjatuhan. Dia kembali seperti sebuah ruang kosong yang takkan pernah terisi kembali.
Dia,
Yah dia itu memberikan sebuah celah dusta. Celah dusta dimana dulu pernah aku singgahi. Dimana dulu pernah ku jadikan singgasana bersamanya. Dan kini celah itu telah menjadi ruang hampa yang diisi oleh yang lainnya. Tidak, sebenarnya bukan orang lain. Melainkan orang yang pertama kali menjadi bagian dari hidupnya hingga kini dia slalu bersamanya. Bodoh, aku bukanlah bodoh. Hanya saja rasaku dulu yang terlalu bodoh. Namun, justru aku bahagia. Setidaknya aku pernah mengisi guci yang penuh dengan warna-warni bunga alami. Setidaknya aku pernah memahat sebuah kisah yang menjadi pelangi indah. Dan setidaknya itu adalah kisah yang bisa ku kenang bersamanya.
Setidaknya berterimakasih pada masa lalu adalah jalan yang menyenangkan.
Jika puisi adalah rindu, maka aku adalah rindu. Jika puisi adalah cinta, maka aku adalah penikmat cinta. Jika puisi adalah racun, maka aku adalah penawar racun. Sederhana saja, sebab aku adalah puisi.
Selasa, 29 April 2014
Senin, 07 April 2014
NAH, YAH BEGITU
“Kamu terlalu banyak memilih Lya. Mau yang ginilah, mau
yang gitulah. Kalau gitu mulu kamu bakal susah lakunya. Aku yakin itu.”
Yah, itu
bukan ucapan yang pertama kali yang ku dengar. Melainkan ucapan yang kesekian
kalinya. Aku lagi-lagi harus mendengus juga membesarkan perasan. Aku tau ucapan
itu bukanlah untuk menyakitiku melainkan untuk menegur agar aku sadar bagaimana
harus meluruskan harapanku. Yah, meskipun kata-kata mereka sungguh kadang
diluar perkiraan.
“Kamu tau
gak, kadang apa yang diinginkan itu malah jauh loh. Berputar balik sembilan
puluh derajat.”
Kali ini
aku masih harus melakukan hal yang sama. Menutup telinga, menutup perasaan dengan
melapangkan dada lagi. Kenapa bukannya mendukungku dengan ucapan jauh lebih
menarik. Mendorong harapanku dengan senyuman yang lebih indah ketimbang harus
merogohkan perkataan yang pasti sangat dan tentu terasa sakit.
Ada banyak
hal mengapa aku harus memilih untuk menentukan pasangan mulai saat ini. Bukan untuk
main-main. Bukan juga untuk berbagi kebahagian sebentar saja. Bukan juga tempat
hanya meminta jajan; duit atau membelikan perlengkapan lainnya disaat dompet
sama sekali tidak ada isi. Bukan itu yang harus aku fikirkan. Bukan juga karna
aku tidak laku—hem, aku rasa aku tidak terlalu jelek (sambil memperhatikan kaca
dengan sebelah mata karna takut meilhat jerawat yang baru tumbuh tadi pagi di
pipi kiri). Yah bukan juga hanya tempat melapiaskan amarah, kesal, sedih ketika
sedang dilanda masalah. Bukan, sungguh bukan itu saja.
Aku memiliki
alasan lain. Alasan yang memperkuat diriku untuk tetap memiliki sesuatu yang
harus ku pertahankan sampai hari ini. Setidaknya siapapun diantara mereka baik
itu sahabat saudara ataupun keluarga lainnya bisa mengerti keinginanku yang
kuat. Ku akui aku memang bukanlah pemilik harta warisan yang berlimpah ruah
kesana kemari. Bukan keturunan pejabat yang seenaknya meminta untuk dibelikan
mobil mewah. Yang mempunyai hitungan rupiah di ATM. Bukan, aku bukan keturan
yang tergolong bisa mengangkat derajakku di mata para teman kuliah juga teman
kerjaku.
Aku hanya
wanita biasa. Dari keturunan yang biasa-biasa saja. Dan alhamdulilah dengan
kemapuan yang Allah berikan kepadaku, aku bisa menyelesaikan MTs juga SMA ku tanpa
mengeluarkan rupiah dari orang tuaku; dalam arti jajan, buku juga baju belum
termasuk hitungan gratis. Alhamdulillah aku
termasuk juara kelas setiap semesternya. Setelah menyelesaikan sekolah kemudian
aku melanjutkan kuliahku ke daerah yang menurutkku juga mungkin penilain orang
lain begitu kejam, Jakarta namanya. Aku bisa meraih beasiswa dan melanjutkan
studiku disana. Dan lagi-lagi aku bersyukur ketika sebuah cv entah keberapa
kalinya aku diterima untuk bekerja dengan membiayai kebutuhan sehari-hari. Ini adalah
anugrah terindah dalam hidupku.
Kerja pagi,
kuliah malam. Sebuah pertarungan yang harus dijalani dengan berbekalkan ikhlas.
Dan dengan
seiring bertambahnya usiaku yang beranjak masuk 22 tahun. Aku sudah memikirkan
masa depan. Pasti, dan itu harus. Sebuah pilihan yang mengantarkan kita untuk
tetap hidup dalam lingkungan rohaniah setiap harinya. Aku tidak muluk-muluk
untuk memilih. Menurutku penilaianku bukanlah suatu dibatas yang tidak wajar. Aku
hanya ingin mendapakkan sosok yang bisa mencintaiku tidak melebihi cintanya
kepada Robbnya, menyayangiku tidak melebihi sayangnya kepada Robbnya. Sehingga dengannya
bertambah kadar keimananku. Itu saja. Tapi entah mengapa setiapku, hemmm...
lebih tepatnya ku ceitakan sosok pria idamanku ketika yang lainnya bertanya itu
terlalu berlebihan. Lah, apa yang berlebihan?
Tidak terlalu
sulit bukan, tidak juga berlebihan.
Kita hanya
butuh saling mendo’akan dan tetap beusaha. Itu saja.
Jumat, 04 April 2014
JANGAN KAU BOHONG- FATIN SHIDQIA LUBIS
Jangan kau bohongiku
Jangan permainkanku
Ku tau kau telah mendua
Ku tau semua tentang dia
Tak akan memaafkanmu
Meski kau membujukku
Terserah mau bilang apa
Takkan ada yang percaya
Kesabaranku kau uji
Sungguh kau tak peduli
Kau tak peduli, kau tak peduli
Kalau tau begini
Akupun tak peduli
Ku tak peduli, ku tak peduli
Pictures on your phone, jangan kau bohong
Sikapmu dumdidumdidumdidumdi ey
Dumdidumdidumdidumdi ey ey
Sudah sudahlah sungguh ku gerah
Memang kau dumdidumdidumdidumdi ey
Dumdidumdidumdidumdi eyey
Sudah sudahlah pergi pergilah
Get out oo..
Get out oo..
Get out oo..
Sudah sudahlah
***
Ingat lagu ini, kenangan tiga tahun lalu seolah membekas dipelupuk mataku. Ah, bagaimana tidak. Itu kejadian yang terburuk dalam hidupku. Tidak, lebih tepatnya pelajaran yang bisa ku ambil sisi hikmahnya. Cerita tentang pembelajaran tersendiri buatku. Bagaimana memilah-milih. Meneliti, mebolak-balik juga yah, pastinya tidak usah terlalu melihat rupa luarnya saja karna dalam itu sungguh lebih penting.
Awalnya si kecewa, sakit hati, marah dan yang terlebih lagi sungguh tak ingin memaafkan apa yang telah diperbuat olehnya. Yah, pastinya. Sangat tidak rela jika kau di duakan bukan? Atau menjadi yang kedua. Begitulah, aku sudah pernah menjadi salah satu cerita didalamnya. Dan, dan sungguh-sungguh terlalu. Namun kali ini aku sangat bertrimakasih padanya karna telah banyak belajar untuk mendapatkan yang lebih baik lagi. Yah, mendapatkan yang lebih baik lagi.
Persis sebauh judul lagu; JANGAN KAU BOHONG-FATIN SHIDQIA LUBIS.
Bertimakasih, karna pengalaman itu mengajarkan kedewasaan bukan?
Rabu, 02 April 2014
DAN TAK MUNGKIN
Bagaimana mungkin aku bisa
mencintamu? Aku fikir ini bukanlah hal yang wajar. Yah, tentu, ini sudah diluar
pemikiranku. Aku dan kamu sudah jelas dua insan yang tak mungkin bisa bersatu
sampai kapanpun. Apa kamu lupa apa yang
sebenarnya terjadi diantara kita berdua. Apakah aku harus menjelaskan berulang
kali dengan kata-kata yang sama?. Sudah tentu tidak mungkin. Kamu bukanlah anak
kecil yang harus berulang kali membutuhkan penjelasan hingga kamu merasa puas.
Sudah cukup kali ini, toh aku yakin kamu juga sudah mengerti.
“Aku tidak akan menyerah Sofia.
Sampai kapanpun aku akan tetap memperjuangkan cintaku padamu,” jelasmu sore itu
padaku. Tatapanmu menyiratkan harapan terdalam.
Aku tidak berani menatapmu yang
kini duduk tepat disampingku. Haruskah aku mengulanginya kembali?.
“Kau tau Sofia. Aku mencintamu
semenjak dulu. Dulu, saat kita masih kecil dan slalu bermain bersama,” ia
kembali mengingatkanku pada kenangan sepuluh tahun yang lalu. Saat dimana
kenangan indah itu kami lalu bersama. “Lalu dengan harus apa lagi aku
menjelaskannya,” ia mulai meraih tanganku.
Aku masih tetap membisu. Adakah
yang salah dengan namanya cinta pada masa kecil dulu?. “Tapi ini tidak mungkin
Kevin,” ku tarik tanganku menjauh darinya. Angin sepoi-sepoi membelai poniku.
Hatiku sungguh sesak. Dengan alasan apa lagi aku harus mengungkapkannya?.
***
“Coba tebak Sofia, siapa yang
mama bawa,” aku mengalihkan perhatianku dari buku novel yang ku baca pada sosok
pria yang ada dibelakang mama. “Gak tau ma,” jawabku.
“Yah, masa lupa,” jawab mama.
Sosok yang ada dibelakang mama
kini beralih menghadapku. Aku coba mengingat-ingat siapa yang dimaksud oleh
mama.
“Dia teman kecil kamu dulu Sof,
waktu kamu masih tinggal di rumah nenek di kampung,” mama mengingatkanku.
“Kevin?” ujarku kaget. Ya Tuhan,
sosok yang dulu begitu cupu dan culun sekarang sangat berbeda. Wajahnya kini
sangat menawan bahkan mampu menggodaku dalam hitungan detik saja. “Ini beneran
Kevin Ma?” aku masih tidak mempercayai penglihatanku. Aku masih ingat, Kevin
dengan penampilannya yang lugu membuat semua keluarga meledeknya termasuk aku.
Dia begitu sering ku buat menangis.
Mama mengangguk untuk
meyakinkanku. “Nah, karna sekarang Kevin
kuliahnya bareng kamu jadi mama mutusin kalau Kevin tinggal bareng
kita,” jelas mama yang membuatku semakin kaget lagi.
“Sekarang giliran aku yang bakal
ngeledek kamu,” Kevin membisikkan kata-katanya ditelingaku.
Aku memukulnya dengan buku
ditanganku. “Dasar,” umpatku.
***
Dua bulan setelah kehadiran
Kevin.
Kevin sengaja mengajakku ke taman
belakang kampus sehabis mata kuliah. Katanya ada yang harus ia jelaskan padaku.
Aku mengikuti langkah kecilnya di sisi kiriku. Pandanganya sungguh teduh
sekali. Aku yakin siapapun yang melihatnya akan jatuh hati. Kevin mengulurkan
novel berjudul “SPRING” padaku. Itu adalah novel favorit yang slama ini ku
cari-cari di google tentang sinopsisnya.
“Apa yang mau kamu omongin Vin,”
tanyaku. Ku buka novel pemberiannya.
“Aku bingung harus dari mana
Sof,”
Ku alihkan pandanganku padanya.
“Loh, emang kamu mau ngomong apa? Kok bingung?”
Kevin menatapku. “Kamu tau kenapa
aku bingung?”
Aku mengeleng. “Tentang pelajaran
di kampus? Atau suasana di sini jauh berbeda dari tempatmu?”
Kevin menggeleng. “Bukan,”
jawabnya datar.
“Kalau bukan, terus apa?” aku
menutup buku ditanganku. Kenapa denganKevin? Mungkinkah dia sudah tidak betah
tinggal di rumahku selama ini?.
“Aku mencintaimu,” tuturnya.
Matanya menerobosku begitu dalam.
“Apa?” aku hampir kaget dibuatnya.
Buku ditanganku hampir terjatuh. Kevin pasti bercanda.
“Aku serius. Aku mencintaimu
Sofia,” ulangnya lagi.
Aku berdiri. “Aku gak mau kamu
bercanda Vin. Ini bukanlah saat yang tepat,” kenapa aku jadi membenci ucapannya
barusan.
Ia menarik napas kemudian berdiri
menghadapku. “Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku.”
“Aku benci dengan ucapanmu tadi
Vin,” ku tinggalkan Kevin yang mematung sendiri.
“Kevin
itu sepupu kamu Sof. Jadi mama sarankan kamu harus bisa memperlakukan dia kaya
sodara kamu,” ujar mama padaku dua minggu setelah kedatangan Kevin.
Sepupu?.“Kok
aku baru tau ma, kan dia teman kecil Sofia dulu. Mama kenapa baru bilang,”
jawabku. Kenapa begitu berat mendengar kata-kata mama. Seperti ada yang hilang
dari separuh hatiku.
“Mama
sengaja nyembunyiinnya dari kamu. Karna mama udah ngerencanain kalau kalian
udah kuliah nanti mama mau bawa Kevin kesini.” Mama membelai rambutku.
Aku
hanya mampu diam malam itu. Diam dengan hatiku yang tak menentu.
***
Setahun setelah kehadiran Kevin.
“Kau tau apa yang sedang aku
fikirkan sekarang,” jelasku pada Kevin. Kami sama-sama duduk di taman belakang
kampus.
“Kau sedang memikirkanku,” ujar
Kevin tertawa.
“Ada banyak hal yang sedang ku
fikirkan. Yah, salah satunya kamu,” aku tidak memangdang Kevin.
“Sudah ku yakin,” Kevin lagi-lagi
tertawa.
“Kau dan aku sepupu,” tatapku
pada Kevin. Begitu berat rasanya untuk mengucapkan kata-kata tersebut.
“Aku sudah tau dari dulu,” ujar
Kevin datar.
Aku menatap Kevin. “Kau sudah
tau?” aku tidak percaya. “Lalu kenapa kau pura-pura seperti gak tau sama
sekali.”
“Buat apa?”
“Buat apa?” ujarku mengulang
ucapannya. Aku benar-benar tidak percaya dengan jawaban Kevin. Mungkinkah ada
yang salah denganku?. Ku buang tatapanku sejauh-jauhnya. Aku terlalu berharap
dengan harapan yang tidak mungkin pasti. Yah, ini bukanlah hal yang seharusnya
aku lakukan. Ku tinggalkan Kevin yang mematung sendiri. Setidaknya aku harus
sadar degan apa yang ku rasakan.
***
Dan kini, perasaan itu takkan pernah menjadi nyata.
Selasa, 01 April 2014
SEKEDAR CURHAT
Jujur
saja, aku memang seharusnya tidak memiliki alasan untuk memutuskanmu. Aku juga
tidak memiliki kata-kata yang tepat untuk mengakhiri hubungan denganmu. Ini
memang salahku. Kau adalah sosok yang baik yang pernah hadir di kehidupanku.
Kau sosok yang sangat memahamiku serta menerima kekuranganku. Aku yang telah
bersalah, telah putuskan harapanmu. Telah hilangkan semua keinginanmu. Jika
mungkin kau tanya kembali mengapa semua ini terjadi, sungguh akupun jua tak
mengerti mengapa ini terjadi. Hanya saja aku merasa aku bahagia tanpamu, aku
bahagia menjalani diriku sendiri. Aku bahagia dengan kesendirianku.
Aku
tau kau kecewa padaku. Aku tau kau marah padaku. Dan aku tau kau sangat sakit
karnaku. Namun apa yang harus ku lakukan? Apa yang harus ku pertahankan?.
Sungguh cinta itu tak lagi mekar seperti dulu, sungguh rasa rindu itu tak lagi
mewangi seperti dahulu. Semua telah sirna, telah ku simpan, telah ku hancurkan
dan telah ku abadikan sebagai kenangan yang tek perlu untuk dibuka kembali.
Sebagai masa lalu yang tak perlu ku ingat kembali.
Ini
aku.
Aku
yang telah menyakitimu.
Aku
yang telah hancurkan harapanmu.
Aku
yang telah khianati dirimu.
Maafkan
aku.
Karna
salahku padamu.
Maafkan
aku yang pernah menyakitimu.
Dan
trimakasihku, telah pernah menjadi bagian dari hidupmu.
MENGUKIR CINTA DIBELAHAN JIWA
Bila
yang tertulis oleh-NYA engkau yang terpilih untukku
Telah
terbuka pintu hati ini menyambut cintamu
Disini
segalanya kan kita mulai mengukir buaian rindu
Yang
tersimpan dulu tuk menjadi nyata dalam hidup bersama
Izinkan
aku mencintaimu
Menjadi
belahan di dalam jiwaku
Ya
Allah, jadikanlah ia pengantin sejati di dalam hidupku
Izinkan
aku….
Wahai
yang dicinta telah kurela hadirmu temani relung hatiku
Simpanlah
jiwaku dalam do’amu kan ku jaga cintamu
Wahai
yang dicinta telah kurela hadirmu temani relung hatiku
Simpanlah
napasku dalam hidupmu kan ku jaga setiamu
Izinkan aku....
Melodi itu bagaikan untaian kisah
hati. Sebuah kisah rindu yang merangkup dalam bait-bait yang bersatu menjadi
syair yang indah. Lalu menjadi irama syahdu nan merdu. Siapapun yang
mendengarnya kan terhanyut di dalamnya. Bak riak air sungai yang lambat laun
jatuh menimpa bebatu didasarnya, pelan namun sangatlah pasti. Begitulah kuuntai
satu persatu. Tentang rindu, jua tentang bagaimana perasaan yang tertambat
didalam kalbu sejak lama dulu. Menjadi sebuah kisah yang ku jadikan penegar di
dalam sanubari. Kelak jika telah tiba saatnya akan hadir padaku dengan
sendirinya. Dan saat itu akan ku katakan dengan tulus pada seorang insan yang
te;lah Tuhan ciptakan untukku bahwa slama ini bait rindu itu ku simpan
sepenuhnya hanya untuknya.
***
“Subhanallah,” aku mendengus
kecil sembari menundukkan pandangan. Sosok itu berjalan melewatiku tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Aku yang menyadari kehadirannya berbalik menghadap
gedung di hadapanku. Hatiku seketika berdetak sangat tidak karuan. Aku baru
kali ini melihatnya di Mesjid tempat yang sering ku jadikan peneduh jiwa dikala
sedang gundah. Megapa tidak, wajah penuh keteduhan itu seolah menghipnotis
insan sepertiku dalam tiga detik saja. Aku yang baru sadar segera mengelus dada
sembari mengucap astagfirullah berulang kali.
“Kak Safia,” seseorang menepuk
punggungku.
Aku berbalik arah menatap siapa
yang mengangetkanku. Anna berdiri dibelakangku dengan senyum menggoda. Kerudung
biru yang ia pakai memperindah wajah mungilnya. Anna, wanita yang lebih muda
dua tahun itu sudah ku anggap seperti saudara sendiri. Dengan meringis ia
mendorongku dengan dua tangan yang penuh dengan buku-buku padaku. Anna memang
lebih suka mengajakku berdiskusi dikala waktu lenggang.
“Kita mau belajar apa kak hari
ini?” senyum mungil Anna padaku.
Ku raih beberapa buku
ditangangnya. “Terserah kamu,” jawabku. Aku berjalan memasuki Mesjid diikuti
Anna dari belakang. Aku dan Anna memilih tempat paling pojok agar tidak
mengusik orang-orang yang sedang melakukan aktifitas lainnya.
“Tafsir hadist gimana kak? Aku
kurang mengerti,” ujarnya.
Aku mengangguk, “boleh.”
“Kak Safia emang pinter ya. Aku
yakin siapapun yang bisa jadi istri kakak pastlahi laki-laki yang beruntung.”
Anna tiba-tiba berujar demikian.
Aku yang mendengarnya hanya
menjawab dengan senyuman. “Do’akan saja Na.”
“Ya pasti kak masa aku do’ain
yang jelek,” jawabnya.
Aku tersenyum lagi. Ku raih salah
satu buku yang tergeletak diatas karpet lalu membolak-balik isinya. Buku itu
berjudul “Salah satu menjadi istri solehah” karya salah satu karangan
novelist terkenal.
Ternyata Anna menyimpan buku seperti ini.
“Oya kak aku mau nanya boleh
gak?” Anna mendekatiku.
Mataku beralih padanya, “mau
nanya apa Na?.”
“Hem… Jika suatu saat nanti kalau
waktunya udah tiba kakak mau gak dijodohin?”
Aku menatap Anna lekat. Usianya
yang masih muda sudah memikirkan hal perjodohan. “Kamu kenapa tiba-tiba nanya
gitu Na?.”
“Gak kenapa-napa kok kak,”
jawabnya. Ia kembali menekuni buku dihadapannya.
Ku sandarkan punggungku ke
dinding Mesjid. “Jika suatu hari nanti ada seorang yang datang pada kakak yang
soleh serta baik hatinya untuk apa kakak harus menolaknya? Jika dia berniat
untuk menjadikan kakak sebagai pendamping yang halal bukanlah suatu masalah
yang besar. Dia pantas untuk kakak terima, kakak jadikan imam untuk kakak serta
keluarga kakak nanti,” jawabku melihat Anna yang berhenti membaca.
Anna menatapku seksama, “benarkah
kak?”
Aku mengangguk.
“Iya juga ya kak untuk apa harus
menolak jika ia adalah pilihan yang telah di takdirkan untuk kita. Toh
dimana-mana agama itu adalah paling utama”
“Anna udah mulai beranjak
dewasa,” senyumku menggodanya. Ku tunjuk buku ditanganku padanya.
“Kak Safia…” Anna mencoba meraih
buku ditanganku. Ia mungkin merasa malu.
***
Aku memasuki ruang perpustakaan.
Wajah-wajah penuh serius begitu banyak disana. Ada yang berjalan sembari
menekuni buku ditangannya. Ada yang sedang duduk sambil memeriksa beberapa kali
file yang ada di dalam komputernya. Ada juga yang sedang berdiskusi bersama
teman-teman yang lainnya. Ruangan perpustakaan begitu penuh dengan mahasiswadan
mahasiswi
yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku berjalan ke salah satu kursi yang
paling pojok. Dimana tidak ada seorangpun yang bisa melihatku. Tempat itu
memang slalu ku jadikan ruang baca tersendiri. Ruangannya memang agak tertutup
dari yang lain. Di ruangan ini aku bisa belajar sendiri. Membaca buku apapun
yang ku mau.
Tas di legan kiri ku letak ke
atas meja. Aku merogoh sesuatu di dalamnya. Sebuah buku kini berada
dihadapankku. Buku itu pemberian ibu sebelum aku meninggalkan kampung halaman
menuju kota tempat kuliahku sekarang. Sampulnya keliatan sudah kumuh. Entah
sudah berapa kali aku terus membaca buku tersebut. Barangkali setiap singgah ke
sini aku pasti melakukannya. Aku saja lupa entah berapa kali.
Sebuah suara mengalihkan
pandanganku ke rak-rak buku
dibelakangku. Ku dengar suara seseorang di sana entah sedang apa. Aku beranjak
dari tempat duduk kemudian melangkah kearah suara tersebut. Ku lihat seorang
laki-laki berusaha menyusun buku-buku yang terlegetak dilantai ke rak-rak buku
dihadapannya. Aku mencoba membantu dengan menyusun buku-buku tersebut.
“Trimakasih,” ujarnya tanpa
melihatku.
Aku mengangguk. Buku-buku itu
begitu banyak sekali tergeletak diatas lantai. Mungkin dia tidak sengaja
menjatuhkan buku-buku tersebut.
“Maaf sudah merepotkan,” ujarnya
untuk kedua kalinya.
Aku mengangguk lagi. Wajah sosok
itu sungguh teduh sekali. Aku seperti pernah melihatnya tapi entah dimana.
Memoriku berulang kali berputar mencoba mengingat-ingat. Mungkin saja aku salah
toh mahasiswa laki-laki begitu banyak dikampus. Sosok itu mencari-cari sesuatu
ditumpukan buku dihadapannya. Tangannya berkali-kali membolak-balik buku satu
persatu. Aku berusaha menahan napasku yang terasa semakin tak menentu. Ya
Ilahi, kenapa ini? Aku menunduk.
“Maaf, buku yang kamu pegang itu
judulnya apa ya?” sosok itu menatapku.
Aku membaca judul buku
ditanganku. “Fiqih islam,” jawabku.
“Alhamdulillah, akhirnya ketemu.
Saya boleh minta bukunya?” ia mengulurkan tangannya padaku.
Aku mengangguk. Pandanganku
beralih padanya. “Subhannallah,”
gumamku sendiri. Dugaanku benar, aku pernah melihat sosok dihadapanku beberapa
hari yang lalu. Ketika sedang menunggu Anna di Mesjid. Aku mengulurkan buku
tersebut padanya kemudian menundukkan pandangan. Aku tidak ingin lama-lama
hanyut dalam perasaan ini. Duhai Robbi pemilik hati sungguh mulia ciptaan-Mu.
“Maaf mas. Saya duluan,” ujarku
setelah selesai membantunya menyusun buku.
“Oh iya, trimakasih ya,” jawabnya
sopan.
Aku mengangguk. Kemudian beranjak
ke tempatku semula.
***
Ku buka jendela kamar dengan lebar. Udara malam ini begitu
sejuk dan dingin. Ada banyak bintang-bintang di langit sana. Ku coba
menghitungnya satu persatu namun sayang aku tetap tidak berhasil dengan
hitunganku. Seberapa banyak yang ku hitung sebanyak itu juga aku harus
mengulang kembali. Ku pejamkan kedua mataku menghirup udara segar di luar sana.
Perlahan ku hembus udara tersebut dari kedua hidungku. Perasaanku sedikit
tenang.
Handpone di atas meja belajarku tiba-tiba berdering. Aku
melangkah meraih handpone tersebut kemudian menekan tombol hijau. “Iya bu,”
jawabku. Kenapa ibu tiba-tiba menelpon selarut ini.
“Ibu ada urusan penting sama kamu Fa,” jawab ibu tanpa
berbasa-basi. “Fa” adalah panggilan kecil ibu untukku.
Keningku berkerut. “Ada apa bu? Kok malam-malam gini?”
pungkasku. Aku berjalan menuju lemari dekat jendela. Ku tatatp tulisan di pojok
kirinya. Begitu banyak planing yang ku tulis di sana. Planing itu tulisanku
mulai dari pertama memasuki dunia perkuliahan. Dan sampai saat ini aku belum
ingin menggantinya dengan kertas yang baru. Aku membaca satu persatu dalam
hati.
“Ibu ingin menjodohkan kamu.”
Mataku tepat berhenti di planing kedua. Menikah adalah
targetku tapi bukan sekarang melainkan nanti setelah urusanku selesai. Gelar
yang ku tunggu telah ku miliki. “Menjodohkan?” aku menghela napas sangat
panjang. Bagaimana mungkin ibu berniat menjodohkanku? Sedang kuliahku saja
belum slesai. Aku masih butuh ancang-ancang untuk kedepannya. Butuh dua
semester lagi untuk target menikah.
“Iya Fa. Ayah sama ibu sudah setuju. Ibu yakin dia
orangnya baik,” ibu meyakinkan kata-katanya.
“Sekarang ibu sama ayah tinggal menunggu keputusan kamu.”
Aku melingkari kata nikah di planingku. Sebuah tanda
tanya besar ku tulis disana. Aku masih belum percaya dengan pendengaranku
sekarang. Mungkin saja ibu bergurau, hiburku pada diri sendiri. Percakapanku
dengan Anna di mesjid mulai tergiang-ngiang. Adakah yang salah dengan ucapanku
kemaren? Sehingga do’a malaikat begitu cepat terkabulkan.
“Kalau kamu emang gak setuju dan merasa berat dengan
perjodohan ini. Ibu gak bakal maksain kamu Fa,” ujar ibu mengangetkanku.
Aku menghampiri kursi belajar kemudian duduk. “Safia
bukannya menolak bu tapi menurut ibu apa perjodohan ini gak terlalu cepat?
Lagian Safia masih kuliah,” jawabku mencoba menenangkan ibu. Aku takut ibu
kecewa denganku.
“Satu tahun itu bukan waktu yang lama,” sanggah ibu
membuat ku terdiam.
Ku senderkan punggungku ke kursi. Berbagai macam memori
berputar kesana kemari.
“Jadi keputusan kamu bagaimana? Apa kamu bersedia?” ulang
ibu.
Ku raih pulpen di atas meja kemudian menulis sesuatu
disana. “Safia gak menolak bu. Safia cuman pengen selesai wisuda dulu,”
jawabku. Ku tulis nama bulan di dalam binderku.
“Sampai kapan? Nanti ibu bisa sampaikan padanya juga
keluarganya,” tanya ibu penasaran.
“Pertengahan April bu.” Napasku terasa berat sekali. “Ibu
bisa sampaikan padanya sampai pertengahan April nanti,” jawabku lagi. Kenapa
jantungku berdegup keras dan semakin keras lagi. Matakupun ikut terasa berat.
“Baiklah. Ibu akan sampaikan.” Ibu mengakhiri
panggilannya.
Di sudut ruangan kamar dengan bertemankan bintang di
langit sana aku dapat merasakan kebahagian ibu saat ini.
***
Ku telusuri lorong demi lorong menuju ruang kelas. Ini
adalah awal semester enam. Itu artinya aku harus mempersiapkan judul skripsi
sebagai syarat wisuda. Ku usahakan langkah kakiku yang begitu terasa sulit
untuk digerakkan berjalan dengan cepat. Namun rasanya sangat sulit. Adakah yang salah dengan hari ini? Sehingga sifat
malas yang dulunya menjauh lambat laut menghampiri. Semangat Fa, semangat. Aku
mengepulkan jari-jariku sebagai kata semangat.
“Kenapa jadi loyo gitu Fi,” itu suara Naila.
Aku menggeleng. Tas di tanganku ku letakkan keatas meja.
Aku mengeluarkan pulpen dan laptop dari dalamnya.
“Akhir-akhir ini aku sering banget ngeliat kamu males,”
ujarnya.
Naila memang sosok yang slalu jujur dengan apa adanya.
“Benarkah Nai,” aku menatapnya lalu tersenyum.
Naila mengangguk. “Apa mungkin aku yang salah yah?” Naila
mencoba memikirkan sesuatu.
Aku tertawa pelan. “Aku rasa kamu benar. Mungkin aku
kurang tidur karna memikirkan judul buat skripsi nanti,” pungkasku.
“Ya ampun, sampai segitunya Fi. Kamu terlalu rajin,” mata
Naila mencoba menggodaku.
Aku menangguk. Laptop dihadapanku ku nyalakan.
“Trus apa sekarang kamu udah dapet judul?”
Dengan mata sedih aku menggelengkan kepala. “Belum”
“Sama sekali
belum?” Naila benar-benar tidak percaya. Ia menarik kursinya mendekatiku, “aku
yakin dugaanku tidak akan pernah salah dalam segala sesuatu. Sekarang kamu
jujur Fi kamu itu males apa banyak fikiran?”
Aku
mengalihkan pandangan Naila ke laptop dihadapanku. “Kok nanyanya gitu Nai. Kamu
kayak baru kenal aku aja,” jawabku.
“Kamu tau
gak si Fi. Kita ini mahasiswi Fsikolog dan aku rasa kita bisa membaca fikiran
orang-orang disekililing kita. Apa lagi
dia itu bukanlah orang lain melainkan teman dekat sendiri.” Naila kini mulai mencurigaiku.
Aku
menghentikan ketikanku. Aku bukanlah orang yang ingin mengikut sertakan orang
lain dalam urusan pribadiku walau dia teman dekat sekalipun. “Kamu itu ya,
slalu pengen tau apa aja masalah orang lain. Aku akui kamu memang cocok jadi
hiptonis Nai,” aku mengarahkan dua jempol tangan padanya sebagai tanda setuju.
Dengan
segera Naila mengubris tanganku. “Aku serius Fi.”
“Aku juga
srius Nai. Gak ada yang harus kita bahas. Oke!”
Naila
mendorong kursinya menjauh. “Aku percaya kamu Fi,” Naila mencoba tersenyum.
Aku tau
senyum itu pasti sebuah pertanyaan yang belum bisa terjawab. Maafkan aku Nai.ku fokuskan pandanganku
pada tulisan di laptopku. Aku rasa
seorang ibu tidak ada yang berbuat jahat pada anaknya. Bagaimanapun ibu pasti
memiliki alasan tersendiri untuk perjodohan ini. Semangat Fi. Aku mengangkat
kepalaku mencoba merangkai judul skripsi.
***
“Pacaran itu
seperti mengupas bawang merah ya kak,” ujar Anna padaku. Ia mengunjungi
kontrakanku pagi ini. Katanya mau belajar di kontarakanku saja sekalian mau
main.
“Kok gitu
Na,” jawabku. Ku ulurkan secangkir susu coklat buatanku padanya.
Anna
meraihnya kemudian duduk. “Ya iya kak. Aku belajar dari pengalaman teman .”
“Pengalaman
teman atau pengalaman pribadi kamu?” jawabku mencandainya.
“Teman
sekelas kak masa aku,” jawab Anna tidak terima. “Tadi dia cerita sama aku di
kelas sambil nangis. Katanya dia baru diputusin sama cowoknya.”
“Trus kamu
bilang apa sama dia,” aku meraih buku Fsikolog Islam diatas rak buku.
Anna
menyeruput susu coklat ditangannya. “Aku bilang tetap sabar. Kan itu udah
resiko kalau pacaran.”
Aku tertawa
pelan sambil membuka halaman yang akan ku baca. “Seharusnya kamu lebih baik nasehatin
dia biar dia gak terlalu sakit hati.” Ku pandangi Anna yang sedang memikirkan
sesuatu.
Anna
menghadapku. “Mau gimana lagi kak. Toh jauh sebelumnya aku udah pernah bilang
untuk tidak terlalu mempercayai laki-laki. Dan akhirnya dia juga yang ngerasain
akibatnya.”
Aku
mendekati Anna kemudian duduk disampingnya. “Bukan semua laki-laki yang begitu
Na. Terkadang ada juga laki-laki yang di sakiti wanita, “ ku letakkan buku
ditanganku kemudian meraih salah satu buku dari rak. “Kamu bisa baca buku ini,”
ku ulurkan buku ditanganku padanya.
Anna
mentapku seksama. Ia mungkin heran dengan maksudku.
“Kamu
bacanya di rumah aja kalau sekarang kita kan mau belajar yang lain,” aku
tersenyum pada Anna. “Kalau ada yang mau kamu tanyain masalah buku ini
kapan-kapan kamu bisa tanya sama kakak.”
Anna
mengangguk. Ia berjalan mengelilingi kamarku. “Oya kak, kamar kakak kok banyak tulisan
yang ditempelin ke dinding? Itu buat apa?.” Anna berdiri memeriksa seluruh
ruangan kamarku. “Maklum kak, aku kan baru pertama kali ke kontrakan kakak abis
kakak biasanya minta di mesjid mulu kalau mau belajar bareng,” tungkasnya.
Pandangannya beralih dari satu tulisan ke tulisan lainnya.
“Semua orang
berhak mau nulis apa aja sebagai motivasinya buat belajar lebih giat lagi,”
jawabku.
Anna
beberapa kali mengangguk. “Iya si kak. Buktinya kakak aku juga suka banget
nempelin tulisan dikamarnya. Sampai aku bingung mau baca apaan,” komentarnya
lagi. “Tapi kok aneh ya. Kak Safia hampir sama kayak kakak aku,” Anna
menatapku.
Aku
menganggkat bahuku. “Bukan kakak kamu aja Na, teman-teman kakak juga banyak
yang gitu,” jawabku.
Anna
mengangguk-angguk. “Oya kak, ini kok
tulisaannya gak keliatan ya kak?” Anna menunjuk sesuatu.
Aku
mengarahkan pandanganku padanya. Ya Tuhan, itu adalah planing yang ku tulis.
Dan... sesaat saja aku langsung tau apa maksud Anna.
“Loh, kok
meridnya ada tanda tanyanya kak? Trus ada tulisan...” Anna mencoba mengeja
tulisan disana.
Dengan segera
aku menutup tulisan tersebut darinya. Aku tidak ingin dia tau apa yang
sebenarnya terjadi. “Kamu masih kecil Na gak boleh tau. Ini privasi.” Ku coba
mendorong tubuhnya menjauh. Itu tulisan bulan untuk perjodohan yang telah ku
janjikan pada ibu.
“Ya... kok
gitu kak,” Anna tidak terima.
“Kamu tau
gak Na. Ada sesuatu yang boleh diketahui orang lain dan ada juga sesuatu yang
gak boleh untuk orang lain ketahui. Nah, sekarang kakak harap kamu mengerti apa
maksud dari ucapaan kakak,’ aku duduk disampingnya.
“Iya kak aku
tau.”
“Kalau gitu
sekarang kamu mau belajar apa?” aku mencoba mengalihkan perhatiaannya.
“Aku mau
bahas Ilmu Kedokteran dari sisi Islam aja kak,” jawab Anna. Ia mengeluarkan
buku dari dalam tasnya.
“Itu bagus,”
jawabku.
“ Oya kak
entar kalau udah pulang dari sini aku juga mau nulis planing kayak kakak biar
nanti aku lebih semangat lagi buat belajar,” ujarnya menatapku.
Aku menahan
napas sebentar kemudian tertawa. Anna paling suka melakukan sesuatu yang diluar
dugaan.
***
“Gimana Fi,
apa kata pak Andree?” ujar Naila padaku setelah keluar dari ruangan pak Andree.
Pak Andree adalah dosen pembimbing untuk skripsiku nanti. Naila menghampiriku
dan mengenggam tanganku. Naila sudah mengajukan judul skripsinya dua minggu yang
lalu dan hasilnya diterima.
Aku
merasakan tanganku yang dingin di genggamnya. “Alhamdulillah Nai. Judul aku di terima,”
jawabku. Aku tak henti-hentinya bersyukur.
“Itu
artinya..” mata Naila menggodaku.
“Artinya...”
aku mengulang kata-kata Naila. Kenapa seperti ada yang menyekat di
tenggerokanku?. Itu artinya tidak lama lagi janji perjodohan itu akan segera ku
tunaikan. Kenapa rasanya berat untuk mengingatnya? Bukankah niat seorang ibu
itu sangat mulia?. Atau barangkali aku belum siap. Belum siap bagaimana? Jika
dia sosok laki-laki yang soleh, untuk alasan apa aku menolaknya? Umur bukanlah
alasan yang tepat. Lalu apa? Aku merenung sendiri.
“Fi, kamu
kenapa?” Naila menyentuh bahuku.
Aku kaget
dibuatnya. Naila masih berdiri disampingku.
“Kamu kenapa
sih Fi,” ulang Naila. Ia mengulurkan botol minuman padaku.
Aku
menggeleng. “Oya Nai, planing kamu setelah wisuda nanti apa?” tanyaku. Ku
seruput minuman ditanganku. Mataku tak henti menatap reaksi Naila. Aku ingin
sekali mendengar jawabannya.
“Kalau aku
si pengen nikah,” spontan saja ia menjawab.
Aku hampir
tidak bisa menelan minuman ditenggorokanku. Naila ingin langsung menikah?.
“Kamu gak pengen kerja dulu,” tanyaku pura-pura. Seingatku ia tidak pernah
membicarakan pernikahan.
Naila
mengeleng, “Ibu udah ngejodohin aku.”
Aku terpaku
menatapnya, “terus kamu
mau?” tanyaku. Aku semakin penasaran dengan jawaban Naila. Naila yang super
ceplas-ceplos ternyata sangat penurut. Lalu bagaimana denganku?.
“Mau,”
jawabnya simpel.
“Emang kamu
udah pernah ketemu?” kali ini aku ingin tau apakah dia akan sama denganku.
Naila menggeleng, “aku yakin
pilihan orang tuaku pastilah sangat baik. Mereka menjodohkaanku dengan orang
yang baik,” Naila menghadapku dengan senyuman.
“Lalu pacar
kamu gimana?”
Naila
menghadapku, “kan aku udah lama putus Fi masa lupa.”
Astaga.. aku
baru ingat Naila putus dari pacarnya ketika aku mengingatkannya untuk tidak
pacaran. Beberapa minggu kemudian ia malah memilih untuk sendiri.
Subhanallah.
Naila yang dulu ku fikir sosok wanita yang manja dan keras kepala ternyata jauh
dari dugaanku. Meskipun kadangkala ia suka melakukan hal-hal yang aneh namun
dia bukanlah sosok wanita yang tidak memahami keinginan orang tuanya. Aku dan
Naila sangat berbeda, lihat saja dari segi berpakaian ia lebih suka yang modis.
Aku pernah menasehatinya ketika menghampiriku di kontrakan. Saat itu aku hampir
tidak mengenali siapa sosok dihadapanku.
“Aku Naila
Fi, kamu kok ngeliat aku aneh banget.” Naila berdiri tepat dihadapanku dengan
seorang laki-laki. Aku menyimpulkan itu pasti pacarnya. Saat itu aku sangat
kaget melihat penampilan Naila yang sama sekali diluar dugaanku. “Nanti jemput
aku sore ya. Aku mau ngerjain tugas dulu sama Safia,” ujar Naila mengingatkan.
Laki-laki
disampingnya mengangguk. Ia tersenyum sebagai salam kenal kemudian meninggalkan
aku dan Naila.
“Kamu gak
nyuruh aku masuk Fi,” Naila mengangetkanku.
Aku
mengangguk kemudian menyuruhnya masuk. “Kamu tau gak Nai, kamu lebih anggun
kalau ketemu aku di kampus,” ujarku halus padanya. Aku tidak bermaksud
menyidirnya.
“Aku tau
maksud kamu Fi. Tapi jangan sekarang dulu ya masih butuh waktu,”
Aku duduk
disampingnya, “asal jangan lama-lama,” jawabku.
Naila
tertawa.
Dan mulai
beberapa hari kemudian aku sudah melihat perubahan Naila dengan berlahan.
***
Untuk jodohku.
Untuk jodoh yang belum ku temui. Bolehkan aku mengungkapkan
satu kata saja. Jika nanti aku telah bertemu denganmu, maukah kau menerimaku
dengan ikhlas. Mencintaiku tidak melebihi cintamu pada Robbmu. Menyanyagiku
tidak melebihi sayangmu pada Robbmu. Agar denganmu nanti bertambah keimananku.
Untuk jodohku.
Meskipun kita belum bertemu saat ini. Tapi aku yakin
bahwa Robbku menitipkanmu di tempat yang jauh lebih aman. Agar nanti kau tidak
tersesat menuju jalanmu kepadaku. Agar kita dipertemukan disinggasana yang
tidak ada yang bisa memisahkan kita kecuali maut. Dan aku yakin, kelak
bersamamu aku bisa menemukan surga hakiki itu.
Untuk jodohku.
Aku siap menantimu dengan kerinduanku.
Ku tunggu engkau di belahan jiwaku.
Aku menulis
tanda kecil disudutnya kemudian menempelkan kata-kata tersebut tepat di depan
meja belajarku. Kata-kata itu sengaja ku tulis dan ku tempel disana. Ku putar
pandanganku ke dinding lemari, sebuah tanda tanya itu menguak rahasia yang
dalam. Siapakah sosok yang ingin ibu jodohkan padaku? Apakah dia orang yang
pernah ku temui? Atau mungkin sosok yang lain. Itu masih rahasia dan aku tidak
boleh terlalu larut didalamnya. Ku dekati planing tersebut kemudian menghampus
tanda tanya disana. Ini bukanlah tindakan yang baik. Aku tidak seharusnya
melakukan itu. Baik Bagaimanapun ibu pasti berniat padaku. Aku memutar
pandanganku keseliling kamar.
Wahai jodoh
yang telah di takdirkan untukku, mungkinkah aku melihatmu sebelum hari
pertemuan kita nanti? Duhai hati
percayalah jika engkau sudah siap dia akan hadir dengan sendirinya. Aku menghembuskan
napas, lega. Malam ini aku masih menghabiskannya dengan secangkir susu coklat
bertemankan buku-buku. Tidak ada waktu untuk bermain. Saatnya pintu wisuda
didepan mata.
***
“Kak Safia
kapan mau belajar bareng lagi?” tanya Anna padaku. Pagi sekali ia sudah
menghubungiku.
“Nanti ya di
mesjid. Setelah jam kuliah selesai,” jawabku.
“Kalau nanti
siang kan ada acara santunan anak yatim di mesjid kak. Kakak lupa ya?,” jawab
Anna.
Aku hampir
lupa. “Oh iya, kakak hampir lupa. Kalau gitu lusa gimana?”
“Boleh deh
kak. Kalau gitu entar siang kita ikutan acara santunan aja gimana kak?” ajak
Anna semangat.
“Kakak si
mau tapi kakak gak ada yang ngajak jadi gak enak,” tolakku halus.
“Gak masalah
kak. Aku diajak kok. Entar kita kesana aja ya sekalian aku mau ngenalin kakak
aku sama kak Safia,” ujar Anna. “Dia baru tiga bulan di Jakarta,” jelas Anna
lagi.
“InshaAllah,
nanti kita ketemu di Mesjid ya Na,” jawabku.
“Iya kak,
nanti aku tunggu kakak ya,” ia kemudian mengakhiri panggilaannya.
***
Suasana di
Mesjid begitu ramai. Aku mencari-cari sosok Anna di sana. Barangkali ia
bergabung dengan teman-temannya yang lain. Sepertinya Anna belum datang. Aku keluar
Mesjid kemudian menuju kamar mandi. Aku masih mencari-cari Anna disana namun
sosok Anna belum juga ku temui. Seseorang menyentuh pundakku.
“Safia, kamu
ngapain?” itu Naila, disampingnya ada wanita yang sedang tersenyum manis
padaku.
“Lah, kamu
sendiri?” aku balik bertanya.
Ia
membisikkan sesuatu ditelingaku. “Mama aku mau ngenali calon suami aku Fi
makanya aku datang ke sini. Kebetulan dia ikutan acara santunan yatim.” Senyum
bahagia tersirat diwajah manisnya.
Aku
mengangguk-angguk. Betapa bahagianya Naila saat ini.
“Oya kenalin
Fi, ini kak Ayu sepupu aku. Dia baru
pulang dari Mesir,” Ayu mengulurkan tangannya padaku.
Aku
menyambutnya, “Safia kak,” kenalku. Alangkah anggunya dia. Penampilannya
mencerminkan kepribadian yang begitu indah. Wajah teduhnya menyiratkan ilmu
ketawaduan.
“Kak Safia,”
Anna berdiri tepat dihadapanku. “Aku dari tadi keliling nyariin kakak,”
lanjutnya lagi.
“Kakak juga
dari tadi nyariin kamu emangnya kamu
kemana aja,” tanyaku.
Anna
mendekatiku, “aku nungguin kakak aku yang ikutan acara ini kak. kan semalam aku
bilang sama kakak kalau ada yang ngajakin nah itu kakak aku, hehe..” Anna tertawa.
Ia meraih tanganku.
“Nai,
kenalin ini adek yang pernah aku ceritain yang dekat ama aku. yang sering
ngajak belajar bareng, namanya Anna.” Ingatku pada Naila. Anna mengulurkan
tanggannya pada Naila dan Ayu. Mereka saling berkenalan.
“Wah, kamu
cantik banget Na,” ujar Naila membuat Anna tersipu malu.
“Benerkan
kata aku, dia cantik juga pintar,” lanjutku.
“Kan
pinternya ikut kak Safia,” sambung Anna.
Aku tertawa
diikuti Naila dan Ayu.
“Acaranya
udah mulai, kita masuk yuk,” ajakku pada mereka. Kami memasuki Mesjid lalu
menmgambil barisan yang paling belakang.
“Kak Safia,
aku ke kamar mandi dulu ya. Nanti aku nyusul,” ujar Anna padaku.
Aku
mengangguk.
“Nanti aku
mau liatin calon suami aku sama kamu,” ujar Naila disampingku sambil berbisik
pelan. “Kebetulan calon aku itu temannya kak Ayu waktu kuliah di Mesir dulu,” lanjutnya.
Aku
menatapnya lagi. Sungguh bahagia Naila saat ini.
“Aku yakin
dia pasti sosok yang yang soleh, cakep dan menawan,” Naila tertawa pelan sekali
agar orang-orang di sekelilingnya tidak mendengar.
“Do’akan
saja Nai, kalau kamu yakin inshaAllah segala sesuatu akan terjadi,” yakinku
padanya.
Naila
mengangguk.
“Diharapkan
untuk para tamu dan juga undangan agar segera memasuki ruangan karna acara akan
segera kita mulai,” suara MC menggema keseluruh ruangan. Para tamu juga
undangan yang lain mulia memenuhi Mesjid. Suasana Mesjid dalam beberapa menit
mulai penuh dengan para tamu juga undangan. Beberapa tamu undangan pengisi
acara duduk di depan mengahadap para undangan lainnya.
Aku memperbaiki
posisi dudukku ketika seorang ibu memintaku untuk menggeser tempat dudukku.
Dari tempat dudukku aku bisa melihat siapa saja yang duduk di sana. Mataku
tiba-tiba menatap sosok yang baru masuk ke dalam ruangan. Disampingnya ku lihat
laki-laki yang tidak jauh beda umur dengannya. Ia berbicara sebentar pada sosok
didekatnya kemudian menghadap para tamu. Jantungku terasa berdegup kencang dan
semakin tidak beraturan. Segera ku alihkan pandanganku pada Naila disamping
kananku. Aku bisa merasakan sosok yang di duduk didepan sana. Sosok yang
sekarang yang berhadapanku.
“Subhannallah,
kamu tau gak Fi yang akan di jodohkan sama aku, yang bakal jadi suami aku
nanti. Itu dia orangnya tadi kak Ayu ngasih tau aku waktu dia baru masuk,”
Naila berbisik kemudian menunjuk sosok yang dimaksudnya.
Aku
mengarahkan pandanganku pada sosok itu. Benarkah dia yang dimaksud Naila? Atau
mungkin saja aku yang salah orang. Jika benar sosok itu sungguh beruntung
seorang Naila. Ku alihkan pandangaku pada Naila yang masih memperhatikan sosok
yang dimaksudnya. Matanya tidak beralih sedikitpun, senyum kecil Naila menambah
indah kebahagiannya saat ini. Aku menarik napas. Mencoba menenangkan hatiku
yang mulai berkecambuk. Robbi, adakah yang salah dengan hati ini? Aku hanya
hamba yang lemah, beri aku kekuatan untuk perasaan yang hanya akan mengelabuhi
hatiku. Aku tidak ingin masuk terlalu dalam pada perasaan yang akan
menghanyutkanku. Aku beristigfar berkali-kali untuk menenangkan hati.
“Kamu sangat
beruntung Nai,” ujarku pada Naila. Aku mendo’akan Naila agar apa yang
diharapkannya menjadi kenyataan.
Naila
merangkul tanganku kemudian tersenyum.
“Kak Safia,
itu kak Raihan. Kakak kandung aku yang baru datang dari mesir,” Anna yang baru
datang dari kamar mandi tiba-tiba membuatku kaget. Anna duduk di samping
kiriku. Ia mengulurkan minuman padaku dan yang lainnya. “Kak Raihan mau ngasih
pembukaan sekaligus pengisi acara santunan hari ini kak. Makanya aku di ajak
sama dia sekalian aku ngajakin kakak,” lanjut Anna.
Sosok yang dimaksud Raihan oleh Anna kini berdiri. Ia
tersenyum pada semua orang yang ada di ruangan. Mata kecilku mulai membesar menatap
sosok yang dimaksud Anna. Bukankah dia sosok yang membuat jantungku berdegub
tidak beraturan saat pertama kali melihatnya di Mesjid kampus. Sosok yang ku
temui di ruang perpustakaan kampus dulu dengan sapaan yang halus menanyaiku.
Ternyata sosok itu akan segera menjadi calon imam Naila. Aku tiba-tiba
merasakan dunia kecil disekelilingku berjalan begitu tidak beraturan. Bukankah
Raihan yang dimaksud Anna adalah tunangan Naila?. Raihan yang kuliah di Mesir
dulu juga adalah sahabat Ayu, sepupu Naila. Aku pura-pura menulis sesuatu di
buku kecil yang selalu ku bawa kemanapun untuk menenangkan hatiku. Aku tidak
ingin terbawa perasaan saat ini. Robbi, begitu sempitkah dunia-MU ini? Sehingga
segala sesuatu yang diluar pengetahuanku terjawab hanya dalam satu jam saja.
Safia... Ibu
sudah menjodohkanmu. Lalu untuk apa kamu harus bergelisah hati. Yakinlah Safia,
pilihan ibu dan ayahmu pasti jauh lebih baik. Aku menutup mataku, membatin
dalam hati kecil. Ada apa denganku?.
***
Aku menahan
napas dengan sangat lama. Jantungku berdegup kencang dan semakin kencang lagi.
Sudah hampir dua jam lamanya aku tidak berani melihat kehadapanku. Tidak berani
menatap kesekeliling ruangan. Aku tidak berani menghadapi sipapun untuk saat
ini. Aku terlalu kaku. Ruangan di tempat ini semakin dingin, padahal sebelumnya
aku sudah menyalakan AC dengan suhu yang sedang. Air ditelapak tanganku semakin
banyak mengalir. Keringat dingin mulai bercucuran. Kenapa rasanya hari ini
melebihi sidang wisuda? Lebih menakutkan di banding saat bertemu dengan
dosen-dosen yang menanyaiku disaat sidang skripsi. Bahkan suara jantungku lebih
keras di bandingkan sebelum melihat papan pengumuman nama siapa saja yang
terdaftar yang lulus wisuda. Aku berusaha menenangkan diri.
Ku
perhatikan ayah dan ibu yang sudah beberapa kali menatap jam dinding bergantian.
Ini adalah hari dimana aku menepati janjiku setelah menyelesaikan tugasku di
Jakarta. Ayah dan ibu akan menjodohkanku dengan seseorang yang dianggap oleh
mereka sangat pantas dan baik untukku. Aku yang dari tadi hanya diam kini
mengeluarkan suara. Aku tidak ingin ayah dan ibu terlalu gelisah.
“Sebaiknya
ayah dan ibu tenang dulu. Mungkin saja mereka masih dijalan. Saat ini kita
lebih baik berdo’a agar tidak ada kendala,” ujarku pada ayah dan ibu. Ayah dan
ibu sedang berdiri didepan pintu. Di ruangan ini hanya anggota keluarga kecilku
saja yang hadir.
“Mudah-mudahan
saja,” ibu menghamipiku. Ia kemudian duduk disampingku lalu mengelus pundakku.
Aku menatap
ibu. Ada yang slama ini ingin kutanyakan padanya. Sesuatu yang membuatku sangat
ingin tau. Ku sentuh punggung tangan ibu lembut, “ibu kenapa ingin
menjodohkanku? Apakah ada yang terjadi sebelumnya?” aku menatap ibu dalam.
Sungguh aku tidak ingin terjadi segala sesuatu apapun diluar dugaanku.
Ibu
menggeleng. “Kamu tau Fa. Laki-laki yang ayah dan ibu jodohkan padamu bukanlah
orang yang baru kami kenal. Ayahmu sudah lama mengenalnya semenjak dia kuliah S.1
di Mesir dulu bahkan sampai sekarang ayah sama ibu masih tetap sangat dekat
dengannya. Dia itu mahasiswa yang pintar. Kebetulan dia juga sekarang sedang
menyelesaikan S.2 nya di Jakarta sambil mengajar di Kampus kamu dulu,” jelas
ibu. “Dia itu anak teman ayah waktu masih sekolah sampai kuliah. Ayah dan ibu
menjodohkanmu bukan karna atas paksaan melainkan terlebih dulu mendapatkan persetujuan
darimu,” jelas ibu lagi. “Dan ibu yakin kamu pasti sosok yang beruntung
mendapatkannya.”
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang ibu
bicarakan. Jujur, awalnya aku takut jika perjodohan ini adalah karna segala
sesuatu yang berakibat buruk pada keluargaku. Namun penjelasan ibu kali ini
membuatku lega dan yakin. “Dosen?” tanyaku pada ibu penasaran. Aku belum pernah
mendengar dosen yang ibu maksud. Atau mungkin saja aku yang tidak terlalu ingin
tau tentang segala sesuatu hal yang baru terjadi di kampus.
Ibu
mengangguk. Ia meyakinkanku.
“Alhamdulilah
mereka sudah datang,” ujar ayah padaku dan ibu.
Ibu
menghampiri ayah yang masih berada di depan pintu. Mereka menyambut kedatangan keluarga
tersebut. Aku duduk sendirian di ruang tamu. Aku menutup mata, menarik napas
dalam dan sangat dalam lagi. Aku tidak berani memandang keluar pintu. Sungguh
segala seuatu sekarang menjadi lebih nyata. Aku lebih memilih untuk meremas-remas
tanganku agar rasa gelisahku berkurang. Robb, kuatkan aku dan tenangkan hatiku.
Aku bertakbir berkali-kali didalam hati.
“Maafkan
atas kedatangan kami yang terlambat,” suara itu meminta maaf. Aku yakin beliau
pasti ayah yang tegar dan berwibawa. Aku bisa tau dari cara berbicaranya.
“Bagaimana? Proses pertunangan ini bisa kita lakukan secepatnya. Lebih cepat
lebih baik bukan?” lanjut suara tersebut.
“Itu ide
yang bagus,” jawab ayah di sampingku.
Ku rasakan
tanganku yang menggigil. Ibu memengang pundakku mencoba menenangkan.
“Raihan,
kamu boleh mengajukan pertanyaan pada Safia sekarang, barangkali ada yang ingin
kamu tanyakan sebelum acaranya kita lanjutkan,” tanya ayah. “Dan kamu juga berhak
untuk menanyakan sesuatu pada Raihan nak,” ujar ayah padaku.
Raihan?. Aku seperti pernah mendengar nama yang dipanggil ayah.
Mungkin saja Raihan yang dimaksud ayah adalah orang lain. Aku masih menunduk,
belum terlalu berani menatap siapa saja yang berada di hadapanku saat ini.
Mataku terlalu takut mendapat jawaban sosok siapa disana.
Ku dengar
sosok Raihan menarik napas kemudian menghembuskannya pelan. “Aku tidak akan
menanyakan sesuatu yang memberatkanmu duhai calon bidadariku,” suara itu begitu
lembut dan sangat sopan memanggil namaku.
“Silahkan,
kamu berhak untuk menanyakan apapun itu,” jawabku. Aliran darahku kembali
mengalir deras. Aku tidak merasakan apapun disekitarku kecuali hanya suara
napas satu persatu dari kami.
“Maukah kau
menikah dengaku?” pertanyaan itu membuatku sangat kaget.
Dia tanpa
basa-basi mengatakan hal keseriusannya padaku. Bukankah kata-kata itu tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan untuk mengucapkannya? Namun dengan mudah saja
dia mengucapkannya.
“Jika kau
yakin, lalu untuk apa aku harus menolakmu? Aku tau, inshaAllah kamu akan
menjadi imamku yang slalu patuh pada perintah Robbku.” Ku beranikan mataku
menatap sosoknya. Satu, dua dan dalam tiga detik aku merasakan getaran yang
tidak bisa ku artikan sendiri.
Semua yang
ada di ruangan ini mengucapkan kata hamdalah. Namun aku masih pada pandanganku.
Subhanallah, laki-laki itu. Mungkinkah dia yang dimaksud oleh ibu beberapa
menit yang lalu? Atau mungkin aku yang salah. Bukankah dia sosok yang dimaksud Naila yang akan menjadi calon
imamnya. Tapi kenapa sosok itu yang saat ini berada tepat dihadapanku?. Mana mungkin
aku mau menikah dengan calon suami sahabatku sendiri. Itu hal yang tidak wajar.
“Tapi...
Naila? ” kata-kataku begitu saja keluar. Mana mungkin ini bisa terjadi?. Ku
pandangi sekelilingku. Anna sudah meyambutku dengan senyuman khasnya. Ia duduk
di samping sosok tadi.
“Selamat ya
Fi untuk pertunanganmu. Aku do’aka smoga semuanya lancar. Oya, do’akan aku juga
ya Fi. Minggu depan aku juga mau tunangan sama kak Raffi. Kamu harus datang
ya,” itu pesan singkat Naila.
Ku sempatkan untuk membuka pesan darinya. Rasa
penasaranku sekarang sudah hilang. Robbi, inikah yang telah ENGKAU rahasiakan
slama ini? Tanpa sedikitpun kau izinkan aku tau apa maksud di saat itu. ENGKAU
biarkan aku untuk tetap bersabar dalam penatianku. Maafkan atas apa yang telah
aku lakukan slama ini. Dan syukurku pada-MU tiada hentinya. Aku menyambut sosok
Raihan dalam senyuman.
Duhai calon
imamku, selamat datang dipertapaan hatiku.
***
Duhai engkau belahan jiwa
Awalnya adalah satu pertemuan singkat
Seperti sebuah angka nol yang lambat laun bertemu titik
dan satu
Kemudian berubah menjadi huruf romawi yang tanpa dasar
Trimakasih duhai belahan hati
Kau telah hadiahiku satu sajadah dibelakangmu
Menjadi imamku slama hayat hidupku
Untukmu imam dunia akhiratku
Bersamamu adalah hari-hari bahagiaku
Langganan:
Postingan (Atom)